Selasa, 15 Agustus 2017

Tawuran Reportase "Al baqiyyat al baaqiyah POCI"

Manakala bagian-bagian luar dari suatu pusaran telah hancur dan yang tersisa hanya pusat porosnya maka yang tersisa disebut “al baqiyyat al baaqiyah”. Apabila daun-daun, ranting dan cabang-cabang suatu pohon telah berguguran dan yang tinggal hanya akar-akarnya maka yang tinggal disebut “al baqiyyat al baaqiyah”. Ketika para sahabat Nabi Muhammad SAW telah pada kembali ke pangkuan illahi maka sahabat yang masih hidup disebut pula “al baqiyyat al baaqiyah”. (Muhammad Nursamad Kamba : Maiyah Sebagai al baqiyyat al baaqiyah bagi Indonesia. Caknun.com)


Teriakanmu takkan pernah terdengar ketika kamu dianggap bukan siapa-siapa, apa lagi berbisik, sangat sulit kemungkinannya, kata kata yang kamu ucapkan bisa didengar apa lagi dimengerti/dipahami oleh orang lain. Di maiyah bisa berteriak, bisa berbisik dan orang lain tetap bisa saling mendengarkan dengan level masing-masing untuk bisa memahami dan mengerti, saling menggali tahu ku dan tahu mu, saling menyadari keterbatasan pengetahuan Ilmu. Eksistensi yang tumbuh bukan kepentingan untuk menjadi populer, siapa aku,siapa kamu, tapi apa yang bisa kita diskusikan bersama.

Malam itu seolah POCI kali ini menunjukan kekeramatan-kekeramatan lainnya, seluruh jama'ah yang hadir dengan segala skenario yang mereka siapkan dipatahkan dengan terlalu mudah. Kesaktian-kesaktian yang biasanya mereka tempa di tempat lain habis terlucuti dengan paksa tanpa mereka sadar. Tidak ada yang lebih unggul pengetahuannya selain Nabiyullah Adam Alaihissalam, dan jama'ah poci dipaksa tunduk terlebih dahulu dihadapan ketawadhuan tanah liat sakti berwujud poci, agar mereka sadar bahwa tanahlah tempat mereka dibawah. Baru kemudian simpul-simpul kejanggalan dibukakan kepada mereka disaat mereka putus asa. Hadirlah satu penjaga manusia di negri Selawe. Kemudian datang penjaga sejati berikutnya, satu penjaga bintang-bintang (dzurriyah) yang bahkan einstein tak akan bisa menghitung-hitung fibonacci irodahnya, mensirna kertaning bumi dari wukul mewujud poci, dan diakhiri dengan hujan, ditutup dengan rahmat.

"Ari njenengan mau njagong nang majlis mungkin bakal ngarasakna apa sing diraksana dulur-dulur liyane; monoton, angel munggahna tempo diskusine, berasa hambar tanpa atsar apa-apa, bahkan seolah ditampar dengan bisik-bisik kalimat: "sebesar apa maiyahmu? Apakah itu jauh lebih besar tinimbang kebesaran hatimu?" padahal simbahmu selalu membesarkan hati-hatimu dan mereka yang  berjumpa dengannya. 

Maka Kang Peppi Al Ikhtikhomi menambahi catatan yang ditulis oleh NurSamad Kamba tentang  Maiyah: "Mawlaana Muhammad Ainun Nadjib dikaruniai oleh Allah pengetahuan dan kemampuan untuk menjabarkan konsep Maiyah dan menerapkan aplikasinya dalam bentuk cinta segitiga Allah — Rasulullah — Manusia. Mengapa Maiyah terikat oleh cinta, karena hubungan yang intim dengan Allah dan RasulNya mustahil terbentuk tanpa ketulusan, keikhlasan dan kemurnian jiwa. Ruh tidak bisa eksis dalam jiwa yang selalu pamrih, riya, dan munafik sedangkan Ruh adalah jembatan kebersamaan dengan Allah. Tetapi tidak dengan bergabung dalam komunitas-komunitas Maiyah lantas seseorang terjamin maiyahnya, yakni cinta segitiganya. Namun Halaqah Maiyah merupakan titik-titik air yang menyebarkan riak-riak ke wilayah sekitarnya untuk tetap bergerak ke arah gelombang yang lebih besar, atau titik-titik cahaya yang menyinari alam sekitarnya untuk tetap mampu memandang segala hal secara proporsional.

Salikul-maiyah dalam proses mi’raj menuju Allah jatuh bangun melampaui ujian demi ujian hingga akhirnya meraih Cahaya Allah." Pada akhirnya tema "Ketuhanan di Semak Belukar Indonesia" telah berhasil jama'ah Maiyah Poci bedah, tidak dari lewat diskusi-diskusinya, tulisan-tulisannya, tapi dari ketersesatan bahwa kami masih terjebak didalam semak belukar diri kami sendiri. Yang tidak bisa membedakan mana duri mana dahan, mana utara mana selatan, mana poros mana penyeimbang. Masih tergugup-gugup, tergopoh-gopoh dikegelapan semak belukar yang kami hadapi untuk berusaha keluar dari kerungsepan-kerungsepan itu semua, dan itulah yang kemudian diteriakan terus oleh mas Wisnu; "CAHAYAAAAA, CAHAYAAA, CAHAYAAAAAA"

Selama berada di maiyah mereka duduk melingkar, sehingga terserah orang lain seperti Mas Jaelani dan Pak polisi Yulianto yang bergabung akan menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya ataupun tidak. Mereka hanya bernyanyi, bersholawatan, berwirid, membaca puisi atau apapun. Tetapi yang ada dihadapan mata kesadaran mereka adalah Allah SWT. Maka pada kebanyakan momentum selama bermaiyah, hampir tak seorangpun diantara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele; materi, benda-benda, gedung-gedung, lembaran-lembaran yotro/arto/duit dalam kurung uang, kecantikan wanita, kegantengan lelaki, dan semua itu bersifat sementara serta sangat mudah musnah.

Jama'ah Poci maiyah sampai serak suaranya untuk Allah SWT, sampai habis bunyinya untuk mencintaiNya. Bernyanyi, membunyikan alat musik (sing kemringet ya ana) untuk memelihara hubungan baik dengan Allah SWT. Karena Allah sebagai pengasuh, penyantun dan tempat bergantung, tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tengtala/tentara, mentri, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang di Tuhankan oleh kebanyakan orang.

Disusun Oleh: Lingkar Gagang Poci Maiyah