Rabu, 06 September 2017

Kepuncal-puncal Caraku Memahami Tulisan Cak Nun



Mengikuti tulisan CN dan simpul simpul maiyah, keteteran, kerepotan, kewalahan dipahami sebagai ketinggalan dibelakang, tidak kuat mengejar. Misalnya bahasa kelahiran Ibuku di Bumijawa - Tegal, keteteran sama dengan kepuncal puncal, kedongsok dongsok, kepaduk paduk, "angger ora ati-ati nemen ya bisa keplarak trus sirahe kepentog lingire kramik trus bocor trus geger otak, trus pingsan trus di gawa rumah sakit trus dirawat". "HOOOOB itu terlalu lebay ah!'


Yang aku rasakan adalah, belum selesai membaca satu tulisan sudah muncul tulisan baru, itu baru tahap membaca belum sampai tahap untuk memahami, menyelami, merenungi, dan mungkin di kalangan teman teman maiyah pun sepertinya merasakan apa aku rasakan. Hatiku pun terkadang merasa berontak, dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala setiap kali membaca tiap kata, tiap kalimat, bahkan lebih detail lagi membaca tiap tanda baca, peletakan titik koma nya. Itu membuat otak dikepala ku terasa berputar pusing melebihi pusing nya efek secangkir anggur kolesem. Tapi dimaiyah tidak ada keterikatan paksaan untuk benar-benar mehamami, tapi itu tidak lantas membuat perilakunya seenak hatinya, aku berdaulat atas diriku sendiri untuk terus membaca atau berhenti meninggalkan maiyah itu sendiri.

- Daur 1.13
Jika itu mengganggumu atau bahkan menyiksamu, berhentilah membaca dan tinggalkan tulisan ini. Jauhilah aku dan Maiyah, sebab aku dan Maiyah tidak mengikat siapapun. Aku dan Maiyah tidak harus ada dalam kehidupan ini. Aku dan Maiyah belum tentu disyukuri adanya, dan memang sama sekali tidak harus. Aku dan Maiyah pun tidak ditangisi oleh siapapun tiadanya. - Emha Aninun Nadjib

Tapi hati kecilku berbisik, kalau boleh meminjam logat bahasa istriku yang orang medan itu, "aaaah sok paten kali kau ini, udah lah kau nikmati saja tulisan-tulisan Cak Nun, tak harus paham dan mengerti betul saat itu juga, Taddaburi saja, cukup selama itu membuatmu menjadi lebih baik, dan menambah wawasan cara berpikirmu."

- Daur 1.59
Kalau ada kata-kata atau kalimat-kalimat yang masuk ke otak kita, sifatnya berbeda-beda. Ada yang langsung bisa dinikmati. Ada yang seperti rumput, nunggu dua tiga hari baru tumbuh maknanya. Ada yang tiga empat bulan baru berbuah seperti jagung. Ada yang bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, seperti pohon jati, baru orang yang dimasuki kata-kata itu menemukan maknanya.
- Emha Aninun Nadjib




Hatiku makin terus berontak. "Toh kalau kamu merasa mengerti dan paham tulisan-tulisan Cak Nun lantas perilaku mu menjadi angkuh dan sombong seolah-olah kau sendiri yang paling mengerti, buat apa? Copas copas, mengedit lalu dijadikan bahan untuk membenturkan dengan yang lainya, berjalan dengan membusungkan dada berbicara sana sini tapi masih menurut Cak Nun begini begitu, lantas mana hasil yang kau pelajari dari tulisan Cak Nun itu? Mana pemikiran pemikiran baru mu itu?"

- Daur 1.13
Kalau ada yang mencurangi tulisan-tulisanku untuk anak cucuku ini, misalnya melemparkannya keluar Maiyah, memotong-motongnya, atau meletakkannya pada alam pikiran umum yang tidak tepat untuk itu, atau apapun bentuk pencurangannya — tidak akan berurusan denganku. Tidak akan mendapat akibat apapun secara langsung dariku. Juga tidak diidentifikasi atau didata apapun yang menjadi akibat dari pendhaliman itu. Tidak diamati, apalagi disyukuri atau disesali. 
- Emha Aninun Nadjib



 
***

Apabila ada yang menjahati tulisan-tulisan buat anak cucuku ini, termasuk tulisan dan karya apapun dariku, sudah ada yang mengurusinya. Kejahatan itu dilakukan oleh siapapun, yang mencintai atau yang membenci, dari segmen apapun, dari level yang manapun, termasuk jika itu dilakukan oleh anak-anak cucu-cucuku sendiri di Maiyah — hanya akan memperoleh akibat, entah berupa penghargaan atau pembalasan, entah pahala atau adzab, yang berasal dari asal usul tulisan-tulisan ini sendiri. Yakni yang bukan aku.
- Emha Aninun Nadjib




Aku mendadak terdiam dan mencoba terus membaca berulang-ulang.

*Herman Syah