Kamis, 09 November 2017

Negeri At Takatsur #2

Penduduk Negeri At Takatsur harus giat, harus kuat, harus kreatif, inovatif, profesional dan presisi. Ketidak kompetenan tidak ditolerir, mereka berjalan seperti air hujan, harus ada jejak jelas yang membekas pada setiap jalan hidup yang mereka lewati.

Rangking-rangking, peringkat-peringkat adalah ukuran mereka telah lulus menjadi seorang ubersmench atau tidak. Awards seremoni mereka gelar besar-besaran untuk memberi titel khusus bagi pengunggulan-pengunggulan manusia. Tidak ada satupun yang luput, bahkan sistem rantai makanan di alam semesta tidak boleh ada yang lebih dominan daripada dominansi mereka sendiri.

Semangatnya adalah kompetisi, gerak langkahnya adalah supremasi, dan konsumsi sehari-harinya adalah keagungan-keagungan diri.

Mereka bebas mengkomoditi apapun selama tujuannya untuk peradaban, padahal peradaban yang dimaksud adalah kemewahan-kemewahan.

Ainul Yaqin mereka bias, mereka menyebut ilmu tapi yang dimaksud adalah tipu muslihat, mengatakan persaudaraan manusia tapi yang dimaksud adalah agitasi penguasaan, mereka mengemukan ide-ide kreatif tapi yang dimaksud adalah eksploitasi, mereka bangun sekolah tapi yang dimaksud adalah pabrik-pabrik yang melahirkan buruh bagi kepentingan mereka, mereka dirikan tempat-tempat ibadah megah tapi yang dimaksud adalah marketing perusahaan-perusahaan material.

Rumah adalah bangunan mewah, kendaraan adalah prestisius diri, makanan adalah cita rasa elegansi, mentereng, wah, menakjubkan yang bisa disilang-saling pamerkan kepada sesama penduduk negeri tersebut.

Sedang penduduk yang lemah, yang tidak bisa mengikuti arus besar itu, semakin terus melemah, terseok pergi meninggalkan tanah kelahirannya menuju tempat sepi, hutan-hutan yang belum di jangkau manusia Negri At Takatsur. Para Orang tua itu sama sekali tidak mengenal apa itu masyarakat marhamah, masyarakat yang saling menyayangi atau mendengar sekalipun kata pengayoman dari negeri asalnya.

Kemudian anak-anaknya kehilangan tempat bermain dan arah tujuan. Putera-puterinya berubah berduyun-duyun di pinggir-pinggir jalan, diatas trotoar. Menjadi kaum gipsi yang melanglang dari satu kota menuju kota lainnya berkendara truk-truk kosong pengangkut mobil-mobil mewah.

Putera-puteri orang tua terasing itu telah pergi jauh dari negeri mereka, tapi tetap saja mereka tidak terbebas. Padahal wahana bermain anak-anak tersebut selalu meneriakan "kebebasan, freedom, kemandirian", namun sejatinya itu semua adalah ilusi yang anak-anak itu ciptakan, akibat dari negeri lama mereka, sebuah pelarian atas ketidak berdayaan.

Hingga saat ini, anak-anak itu malah tumbuh menjadi pembenci tanpa mereka sadari. Yang fatalnya kebencian terbesar mereka justru terhadap dirinya sendiri, benci karena tidak mampu menjadi seperti para penduduk Negeri AtTakatsur.


*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay