Penduduk Negeri At Takatsur harus giat, harus kuat, harus kreatif, inovatif, profesional dan presisi. Ketidak kompetenan
tidak ditolerir, mereka berjalan seperti air hujan, harus ada jejak
jelas yang membekas pada setiap jalan hidup yang mereka lewati.
Rangking-rangking, peringkat-peringkat adalah
ukuran mereka telah lulus menjadi seorang ubersmench atau tidak. Awards
seremoni mereka gelar besar-besaran untuk memberi titel khusus bagi
pengunggulan-pengunggulan manusia. Tidak ada satupun yang luput, bahkan
sistem rantai makanan di alam semesta tidak boleh ada yang lebih
dominan daripada dominansi mereka sendiri.
Semangatnya adalah kompetisi, gerak langkahnya adalah supremasi, dan konsumsi sehari-harinya adalah keagungan-keagungan diri.
Mereka bebas mengkomoditi apapun selama tujuannya untuk peradaban, padahal peradaban yang dimaksud adalah kemewahan-kemewahan.
Ainul Yaqin mereka bias, mereka menyebut ilmu
tapi yang dimaksud adalah tipu muslihat, mengatakan persaudaraan
manusia tapi yang dimaksud adalah agitasi penguasaan, mereka mengemukan
ide-ide kreatif tapi yang dimaksud adalah eksploitasi, mereka bangun
sekolah tapi yang dimaksud adalah pabrik-pabrik yang melahirkan buruh
bagi kepentingan mereka, mereka dirikan tempat-tempat ibadah megah tapi
yang dimaksud adalah marketing perusahaan-perusahaan material.
Rumah adalah bangunan mewah, kendaraan adalah
prestisius diri, makanan adalah cita rasa elegansi, mentereng, wah, menakjubkan yang bisa disilang-saling pamerkan kepada sesama penduduk
negeri tersebut.
Sedang penduduk yang lemah, yang tidak bisa
mengikuti arus besar itu, semakin terus melemah, terseok pergi
meninggalkan tanah kelahirannya menuju tempat sepi, hutan-hutan yang
belum di jangkau manusia Negri At Takatsur. Para Orang tua itu sama
sekali tidak mengenal apa itu masyarakat marhamah, masyarakat yang
saling menyayangi atau mendengar sekalipun kata pengayoman dari negeri
asalnya.
Kemudian anak-anaknya kehilangan tempat bermain dan
arah tujuan. Putera-puterinya berubah berduyun-duyun di pinggir-pinggir
jalan, diatas trotoar. Menjadi kaum gipsi yang melanglang dari satu
kota menuju kota lainnya berkendara truk-truk kosong pengangkut
mobil-mobil mewah.
Putera-puteri orang tua terasing itu telah pergi
jauh dari negeri mereka, tapi tetap saja mereka tidak terbebas. Padahal wahana bermain anak-anak tersebut selalu meneriakan "kebebasan,
freedom, kemandirian", namun sejatinya itu semua adalah ilusi yang
anak-anak itu ciptakan, akibat dari negeri lama mereka, sebuah pelarian
atas ketidak berdayaan.
Hingga saat ini, anak-anak itu malah tumbuh
menjadi pembenci tanpa mereka sadari. Yang fatalnya kebencian terbesar
mereka justru terhadap dirinya sendiri, benci karena tidak mampu
menjadi seperti para penduduk Negeri AtTakatsur.
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay