Jumat, 24 November 2017

Negeri At Takatsur #5

Simbah mendapati, masyarakat kecil membawa semacam kartu miskin, berbondong-bondong pukul tiga pagi berkerumun disebuah bank.

Dari kerumunan itu ia melihat perempuan tua seumurannya.

"Siweg nopo mbak yu?"
"Antri ini mbah,  mau nitip nama untuk dikasihkan ke pak satpam agar bisa masuk antrian 50 hari ini."
"Antrian 50?"
"Iya, pemerintah membuat program yutro buat anak-anak sekolah, kemarin sudah antri dari jam sepuluh pagi, sudah ambil nomor antrian juga kulo. Padahal dari pagi belum sarapan, sudah bedug mau pergi makan tapi takut nanti namanya dipanggil, akhirnya tetep nunggu kulo mbah, dan pas ashar ternyata pegawai bank bilang hanya dibatasi 50 orang saja. Lumayan buat cucu mbah, buat tambah-tambah biaya sekolah".

Wajah simbah merah padam, ada dengan pemerintahan Negeri ini? Kenapa harus menambah kesengsaraan lainnya? Apa sebegtunya mereka ingin mengikuti Negeri AtTakatsur, tapi simbah memilih diam.

"Hari ini sampun supe dahar geh mbah"
"Enggeh"

Perempuan tua tersebut tersenyum.

Belum selesai melangkah keluar dari  bank tersebut, pria muda menerobos kerumunan menuju satpam, membuat orang-orang disekitarnya geram, konflikpun tak terhindarkan.

Simbah tanpa pikir panjang menarik kerah pemuda tersebut.

"Apa yang membuatmu sebegitu beringasnya nak? Mereka orang-orang susah, bahkan ada yang sudah sepuh, harusnya kamu malu!"

Pemuda tersebut tertegun, entah apa yang sedang ia lihat didepannya, tapi ia mendapatkan dirinya menjadi tenang.

"Kulo bekas guru mbah?"
"Lantas?"
"Setidaknya kemarin saya masih jadi guru sebuah sekolahan, tapi mboten hari ini. Saya memilih keluar, padahal anak saya juga masih sekolah."
"Terus? Itu jadi alasanmu kehilangan harga diri dan sifat malumu sebagai manusia?"
"Tiga bulan kulo tahan mbah,  kulo mpun sabar, tiga bulan"

Simbah mengerenyit menangkap apa yang akan disampaikan pemuda tersebut.

"Hanya karena saya ingin jujur, tidak ingin berpura-pura, tidak juga frontal, saya cuma memilih menghindar."
"Lanjutkan."

"Tapi pemilik sekolah tersebut dengan sangat keji mengurangi jam mengajar saya. Yang asalnya 20 jam menjadi 10 jam, 10 jam menjadi 0 jam. Saya bolak-balik ke sekolah selama tiga bulan, tidak mengajar, tidak juga diberikan tanggung jawab bidang apapun,padahal itu semua adalah ikhtiar saya untuk menafkahi keluarga, hanya uang transport yang tidak seberapa. Tiga bulan mbah, tiga bulan."

Simbah terdiam, dan tanpa sadar air matanya menetes, perih didadanya semakin tidak karuan melihat kondisi dunia yang semakin mengerikan seperti ini.
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay