Kamis, 07 Juni 2018

"...istanniy"

Reportase Poci Maiyah Juni 2018 - GUMOH


“… Menunggu beliau bubuk …”

Kalimat pertama itu mengguncangku, sederhana tapi menggelitik, terkesan sepele namun bisa membuka cakrawala seluruh mushaf ayat-ayat kitab suci dari Daud atas Zaburnya, sampai pecahan taurat yang digenggam Musa, ataupula Injil yang dipeluk oleh Isa Sang Al Masih (Pengusap) bahkan Qur’an Sang Kalam Tuhan. Bagaimana tidak? Kita bisa melihat susunan kalimatnya, kata per-kata. Ketika sebuah kata bertajuk “beliau’ disandingkan dengan diksi “bubuk”, bisakah ditemukan ketersambungannya, malah justru sangat tidak berterima. Dalam disiplin ilmu gramatika apapun, terkhusus sub bab masalah politeness/kesopanan tidak akan bertemu dua kata itu. 

Demikianlah Maiyah, tidak ada yang tidak mungkin. Bahkan sebatang rokokpun bisa menjadi guyon mesra untuk bernegoisasi dengan Mikail ‘alaihissalam untuk barang sebentar menunda rizki hujannya di atas tlatah GBN jemuah 21 Juni malam itu. Lho ko paragraf ini tidak nyambung dengan penjelasan dalam sebelumnya?. “Yo ben toh, sing nulis aku ko kono sing protes?” Kita jeda sebentar dulu,  tentang apa yang terjadi sebenarnya di kubah dimensi malam tersebut, termasuk kenapa kalimat  “menunggu beliau bubuk” dijadikan opening reportase ini.

Jeda ini akan mengajak untuk kenapa lagi-lagi Poci Maiyah seringkali digambarkan kemistikannya, tidak sesederhana atau sekomersil brand-brand teh dalam rak-rak toko, serius ini! Ndak maen-maen!. Bahkan saking seriusnya justru ini adalah bagian dari permainannya. Ambil satu point tentang bagaimana tema “Gumoh” diusung, saking konyolnya malam itu para pegiat Poci Maiyah tidak sesiap seperti bagaimana tema-tema sebelumnya dibahas. Malam itu masih banyak ternyata para pegiat PM (Poci Maiyah) yang blur, bias, mblunder, bahkan pelang-peleng untuk sekadar menemukan perbedaan antara kata muntah dan gumoh, alias tidak setuntas menemukan terminology redaksi untuk tema disbanding pertemuan-pertemuan yang telah lalu.

Namun, disitulah ajaibnya, justru para hadirin wal hadirat malam itu, yang penuh kebingungan, mubeng-mubeng, bahkan sampai si moderator terkesan agresif nyecer mas Ali Fatkhan untuk membedah makna katalis dan katarsis apakah memang bisa disandingkan dalam menerjemahkan kata Gumoh atau tidak, sesungguhnya sedang (insya Allah) diajarkan untuk merasakan Gumoh secara langsung dalam usia aqil baligh itu. Apa maksudnya?

Jika Bu Sukeju menyampaikan ;“Gumoh itu biasanya karena kekenyangan, tapi para sesepuh juga bilang kalau gumoh itu menyehatkan, bikin bayi gemuk” , atau mas Fatkhul Ulum Nuzuly yang menggunakan analogi gelas menjelaskan ; “Semisal saja gelas ini bayi, maka setiap gelas memiliki kapasitasnya tersendiri. Maka Gumoh adalah proses ketika gelas ini telah diisi air yang berlebih, luberan air itu bukannya mubazir atau terbuang, namun justru membasuh tubuh luar gelas tersebut agar semakin cemerlang pula dirinya”. Kemudian di iya-kan oleh para janntaul maiyah yang hadir malam tersebut, bahwa Gumoh adalah sesuatu yang baik, yang awalnya dilakukan dengan niat yang baik, dengan cara yang benar namun karena ketidak-berdayaan mutlak dalam diri bayi, justru Allahlah yang menyelamatkannya langsung ketika ada sedikit proses yang tidak menunjukan hal-hal awal yang baik untuk menuju kebaikan pula.  

SubhanAllah, bukankah ini temuan yang sangat luar biasa, betapa sangat luasnya Rahman-Rohim Allah, sebagaimana niat 300 pasukan muslim Perang Badar. Dengan niat baiknya, tekad bagusnya, cara baiknya namun tidak berdaya ditengah-tengah proses menghadapi 1000 pasukan quraisy yang dipimpin langsung oleh Abu Jahal, justru ALLAH GUMOHKAN 300 prajurit muslim itu dengan dihadirkan ribuan malaikat dari langit untuk menolong mereka, dan berakhirlah kemenangan pada kubu kaum muslimin. So, it’s not a just abot your mind, but it’s about faith, it’s about how your heart fulfill with your fullness of love to Rosulallah, to Allah.        

Maka “… Menunggu beliau bubuk …” disampaikan oleh Kang Ali Fatkhan malam itu, yang Allah hadirkan langsung dari Lingkar Simpul Maiyah Gambang Syafa’at untuk menggema keblunderan para jamaah, langsung disampaikan kepada seorang bocah berusia 8 tahunan sebagai wujud Gumoh malam itu. Bocah laki-laki berpeci merah-putih, diapit oleh kedua orang tua yang mengasihinhya, untuk mengajar langsung kepada para jama'ah, tentang bahwa mungkin bocah itu belum sepandai yang lain dalam beretorika, belum searif yang lain dalam urusan ilmu, belum memiliki jabatan apapaun, pengalaman apapaun, senioritas manapun. Namun ia, bocah laki-laki putra Mas Priyo itu, bisa jadi justru lebih maiyah dalam kebeliauannya, lebih islam dalam bubuknyna, daripada kita.





-Lingkar Gagang Poci Maiyah