Oleh : Faqih Mubarok
Perjalanan kali ini sungguh tak disangka-sangka dan
menakjubkan. Dua hari lalu, saat Inggris membenamkan Panama, aku
menyaksikan pembantaian ini di sebuah warung kopi. Namanya @SyiniKopi.
Letaknya di Jalan Barokah, Kadipiro, Yogyakarta. Satu lokasi dengan
Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib atau Rumah Maiyah, markasnya Cak Nun dan
Kiai Kanjeng.
Malam itu,
terdengar alunan musik. Rupanya sejumlah personil Kiai Kanjeng tengah
latihan. Nampak juga Cak Nun (selanjutnya, aku sebut Mbah Nun), hadir
dalam latihan tersebut. Ingin mendekat, tapi tak punya keberanian. Akhirnya,
hanya berharap dalam hati, semoga beliau-beliau ini, termasuk Mbah Nun,
istirahat dan menuju ke warung untuk sekadar menikmati kopi dan pisang
goreng.Sayang sekali, bisa jadi aku yang kurang sabar, sebelum pukul
24:00, aku memutuskan menyelesaikan ritual ngopiku malam itu.
Dua
hari berikutnya, tak dinyana-nyana, aku bertemu Mbah Nun di smoking
room Bandara Internasional Adisucipto, Yogyakarta. Beliau hendak ke
Surabaya untuk mengisi acara di KPUD Surabaya malam harinya, sementara
aku, menuju Jakarta.
Begitu
duduk di salah satu bangku, dan tak sengaja melihat ada Mbah Nun,
jantung ini berdegup begitu kencang. Seperti bertemu dengan kekasih.
Beliau sangat sederhana. Meskipun, saat acara-acara di seantero
Nusantara yang dijalaninya selalu disambut takdzim dan hormat anak-anak
cucunya.
Pagi itu, Mbah Nun tanpa pendamping, bawa tas dan memesan
minumannya sendiri. Jauh berbeda seperti ribetnya protokoler pejabat
republik ini pada umumnya. Butuh
beberapa menit untuk mengumpulkan keberanian dan menyapa pria yang tak
kenal lelah menemani jutaan sedulur-sedulur di banyak tempat di
nusantara ini. Aku memperkenalkan diri, termasuk pekerjaanku di dunia
pers serta mengaku pernah mengirim pesan yang dibalas langsung oleh
beliau. Alhamdulillah, guruku ini mengingatnya. "Wartawan di RM? Masih
dipegang Pak MG? Katanya mau maju Bupati Tulungagung. Lawannya kena
KPK," ujar beliau mengawali perbincangan. Aku hanya menjawab singkat.
Obrolan
pun mengalir. Hanya sesekali aku berani menatap matanya yang meski
sudah berumur, masih memancarkan semangat. Aku sangat ikhlas tidak
merokok sebatang pun agar dapat duduk menunduk takdzim di depan beliau.
Sebab, Mbah Nun saat itu juga sedang tak merokok. Hanya ditemani teh
poci panas yang aku menduga sudah mulai hangat terserap dinginnya AC dan
cuaca mendung Jogjakarta pagi itu.
Pembicaraan
tentang dunia pers, media dan secara umum tentang kondisi masyarakat
dan bangsa ini menjadi teman membunuh waktu sembari menunggu boarding.
Aku pun sedikit curhat tentang pekerjaanku, tentang betapa sulitnya
usaha kerasku untuk tak ikut arus dan tidak terlalu turut menjalankan
kemudharatan atas pekerjaanku. "Media dan pers sudah susah (untuk
berjuang). Kita ndak ikut kapal. Bikin kapal sendiri. Sulit,
bagaimanapun harus begini," ujar Mbah Nun.
Suaranya
yang terasa sangat murni ini pun kembali terdengar beriringan dengan
deru mesin pesawat. Melanjutkan perbincangannya, beliau mengungkapkan
betapa sudah tak terkontrolnya sebagian besar perilaku elit dan
pelaku-pelaku politik, termasuk insan pers dan media sekarang ini.
"Mereka tertutup nuraninya. Kalau mau, kita ini jadi jahat total
sekalian. Tapi kan gak bisa mas. Kita ini, saya, untuk berbuat dosa yang
orang lain tidak tahu saja, takut betul. Sebab, Tuhan pasti tahu,"
sindir beliau kepadaku.
Wejangan
dan nasihat beliau selanjutnya menusuk-nusuk qalbu. Mbah Nun
menyatakan, memang tak bisa menghindari "bakteri-bakteri" yang ada di
sekitar pada masa-masa ini. Yang bisa dilakukan hanya tawakkal dan
berusaha terus menghindar, serta tidak ikut menjadi "bakteri" bagi
sekitar.
Tak lama,
panggilan boarding untuk penerbangan beliau pun menggema. Mbah Nun pun
pamit. "Siapa namanya Mas?" tanya beliau. "Faqih Mbah," jawabku. "Masih
muda Mas. Insyaallah ada jalan. Kerja apa saja, jadi orang sederhana,
jangan malu. Sering kumpul Reboan di Jakarta," ujar Mbah Nun sambil
kucium dalam-dalam tangan beliau dan kuhaturkan beribu terimakasih.
"Saya seneng sekali Mbah. Matur suwun sanget. Nyuwun pandongane Mbah,"
pintaku.
"Iya Mas, iya
Mas Faqih. WhatsApp saya jika ada apa-apa. Terimakasih yaa.
Terimakasih... Terimakasih," jawab beliau sambil tersenyum dan
meninggalkan smooking room.
Sejumlah
orang yang berada di ruangan itu, turut bangkit dan bersalaman dengan
beliau. Saat aku kembali ke tempat dudukku semula, tempat sebelum aku
bergabung memberanikan diri semeja dengan Mbah Nun, pria tua berusia
kepala 50-an, bertopi khas Tino Sidin bertanya. "Mas, siapa itu ya?"