Kamis, 28 Juni 2018

Kalau Bukan Allah Yang Mempertemukan, Lantas Siapa?


Oleh : Faqih Mubarok

Perjalanan kali ini sungguh tak disangka-sangka dan menakjubkan. Dua hari lalu, saat Inggris membenamkan Panama, aku menyaksikan pembantaian ini di sebuah warung kopi. Namanya @SyiniKopi. Letaknya di Jalan Barokah, Kadipiro, Yogyakarta. Satu lokasi dengan Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib atau Rumah Maiyah, markasnya Cak Nun dan Kiai Kanjeng.

Malam itu, terdengar alunan musik. Rupanya sejumlah personil Kiai Kanjeng tengah latihan. Nampak juga Cak Nun (selanjutnya, aku sebut Mbah Nun), hadir dalam latihan tersebut. Ingin mendekat, tapi tak punya keberanian. Akhirnya, hanya berharap dalam hati, semoga beliau-beliau ini, termasuk Mbah Nun, istirahat dan menuju ke warung untuk sekadar menikmati kopi dan pisang goreng.Sayang sekali, bisa jadi aku yang kurang sabar, sebelum pukul 24:00, aku memutuskan menyelesaikan ritual ngopiku malam itu.

Dua hari berikutnya, tak dinyana-nyana, aku bertemu Mbah Nun di smoking room Bandara Internasional Adisucipto, Yogyakarta. Beliau hendak ke Surabaya untuk mengisi acara di KPUD Surabaya malam harinya, sementara aku, menuju Jakarta.

Begitu duduk di salah satu bangku, dan tak sengaja melihat ada Mbah Nun, jantung ini berdegup begitu kencang. Seperti bertemu dengan kekasih. Beliau sangat sederhana. Meskipun, saat acara-acara di seantero Nusantara yang dijalaninya selalu disambut takdzim dan hormat anak-anak cucunya. 
Pagi itu, Mbah Nun tanpa pendamping, bawa tas dan memesan minumannya sendiri. Jauh berbeda seperti ribetnya protokoler pejabat republik ini pada umumnya. Butuh beberapa menit untuk mengumpulkan keberanian dan menyapa pria yang tak kenal lelah menemani jutaan sedulur-sedulur di banyak tempat di nusantara ini. Aku memperkenalkan diri, termasuk pekerjaanku di dunia pers serta mengaku pernah mengirim pesan yang dibalas langsung oleh beliau. Alhamdulillah, guruku ini mengingatnya. "Wartawan di RM? Masih dipegang Pak MG? Katanya mau maju Bupati Tulungagung. Lawannya kena KPK," ujar beliau mengawali perbincangan. Aku hanya menjawab singkat.

Obrolan pun mengalir. Hanya sesekali aku berani menatap matanya yang meski sudah berumur, masih memancarkan semangat. Aku sangat ikhlas tidak merokok sebatang pun agar dapat duduk menunduk takdzim di depan beliau. Sebab, Mbah Nun saat itu juga sedang tak merokok. Hanya ditemani teh poci panas yang aku menduga sudah mulai hangat terserap dinginnya AC dan cuaca mendung Jogjakarta pagi itu.

Pembicaraan tentang dunia pers, media dan secara umum tentang kondisi masyarakat dan bangsa ini menjadi teman membunuh waktu sembari menunggu boarding. Aku pun sedikit curhat tentang pekerjaanku, tentang betapa sulitnya usaha kerasku untuk tak ikut arus dan tidak terlalu turut menjalankan kemudharatan atas pekerjaanku. "Media dan pers sudah susah (untuk berjuang). Kita ndak ikut kapal. Bikin kapal sendiri. Sulit, bagaimanapun harus begini,"  ujar Mbah Nun.

Suaranya yang terasa sangat murni ini pun kembali terdengar beriringan dengan deru mesin pesawat. Melanjutkan perbincangannya, beliau mengungkapkan betapa sudah tak terkontrolnya sebagian besar perilaku elit dan pelaku-pelaku politik, termasuk insan pers dan media sekarang ini. "Mereka tertutup nuraninya. Kalau mau, kita ini jadi jahat total sekalian. Tapi kan gak bisa mas. Kita ini, saya, untuk berbuat dosa yang orang lain tidak tahu saja, takut betul. Sebab,  Tuhan pasti tahu," sindir beliau kepadaku.

Wejangan dan nasihat beliau selanjutnya menusuk-nusuk qalbu. Mbah Nun menyatakan, memang tak bisa menghindari "bakteri-bakteri" yang ada di sekitar pada masa-masa ini. Yang bisa dilakukan hanya tawakkal dan berusaha terus menghindar, serta tidak ikut menjadi "bakteri" bagi sekitar.

Tak lama, panggilan boarding untuk penerbangan beliau pun menggema. Mbah Nun pun pamit. "Siapa namanya Mas?" tanya beliau. "Faqih Mbah," jawabku. "Masih muda Mas. Insyaallah ada jalan. Kerja apa saja, jadi orang sederhana, jangan malu. Sering kumpul Reboan di Jakarta," ujar Mbah Nun sambil kucium dalam-dalam tangan beliau dan kuhaturkan beribu terimakasih. "Saya seneng sekali Mbah. Matur suwun sanget. Nyuwun pandongane Mbah," pintaku. 

"Iya Mas, iya Mas Faqih. WhatsApp saya jika ada apa-apa. Terimakasih yaa. Terimakasih... Terimakasih," jawab beliau sambil tersenyum dan meninggalkan smooking room. 

Sejumlah orang yang berada di ruangan itu, turut bangkit dan bersalaman dengan beliau. Saat aku kembali ke tempat dudukku semula, tempat sebelum aku bergabung memberanikan diri semeja dengan Mbah Nun, pria tua berusia kepala 50-an, bertopi khas Tino Sidin bertanya. "Mas, siapa itu ya?"