Selasa, 03 Juli 2018

KACA!?%



Mukadimah Poci Maiyah Juli 2018 
Oleh : Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay


Bismillah ArRohman ArRohiym. 

Semoga Tuhan mengajarkan kita untuk menunduk lebih rendah, menghijrah jauh lebih dalam kesanubari kesadaran, serta memenuhi hati kita dengan cinta dan mencahayai akal kita dengan Qur'an Sucinya.

“1) Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. 2) Dan siang apabila menampakkannya. 3) Dan malam apabila menutupinya.4) Dan langit serta pembinaannya. 5) Dan bumi serta penghamparannya. 6) Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). 7) Maka Allah ilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 8) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. 9)Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (Suroh Asy Syams)

Orang-orang jawa, Tegal khususnya menyebutkan kata kaca sebagai pemaknaannya atas cermin. Sebuah benda atau sesuatu yang mampu memantulkan bayangan dengan sempurna,  dan tidak melulu harus terbuat dari glass (inggris.read) yang dilapisi oleh Alumunium. Ambil contoh Cermin obsidian yang ditemukan di Anatolia (kini Turki), berumur sekitar 6000 SM, cermin batu mengkilap dari Amerika tengah dan selatan berumur sekitar 2000 SM, cermin dari tembaga yang mengkilap telah dibuat di Mesopotamia pada 4000 SM dan di Mesir purba pada 3000 SM, dan di China, cermin dari perunggu dibuat pada 2000 SM. Entah apa yang digunakan pertama kali untuk penduduk Jawa Kuno sebagai cermin, namun orang-orang jawa yang telah kehilangan sejarah tuanya sepertinya telah melampui fungsi Kaca itu sendiri menjadi sangat filosofis, spiritual dan mistis. Terlihat dari pepatah-peribahasanya yang kebanyakan memiliki dua sisi atau memantul;  "nrimo ing pandum" , "becik kethitik olo kethoro", "desk mowo toto negoro mowo coro", "urip iku urup" dan sebagainya.

Maka kemudian Poci Maiyah edisi Kali ini menggelar Tema Kaca!?% untuk menelisik lebih dalam tentang wahana, realitas, ilusi, cahaya dan sejatinya apakah kita ada atau apa yang sebenarnya membuat kita bisa disebut ada, kitalah manusia di depan kaca atau malah kitalah yang didalamnya.
Seringkali manusia cenderung kehilangan titik koordinatnya, semisal saat ia mencoba membenarkan sesuatu dengan penuh nafsu, atau ekspresi memaksa, atau ekspresi amarah, dengan segala keyakinan atas benarnya itu kepada orang lain. Padahal ia sebagaimana sedang memunggungi sebuah cermin, bahwa bisa jadi ia tidak melihat wajahnya sendiri, namun cermin di belakangnyalah yang menggambarkan sejatinya pantulan dirinya. Dicermin itu, terlihat wajah-wajah yang melas, ngeri,  benci, sedih, terpukau, heran, kagum orang-orang dihadapannya, dan hanya wajahnya sendiri yang tak ada.

Lantas, kita tarik mundur kebelakang, adakah sesuatu yang bisa kita kenali, ketahui, identifikasi lewat mata tanpa adanya cahaya? Jika dalam teori optik apa yang kita lihat, tidak lebih adalah pantulan bayangan benda yang dicahayai, ditangkap oleh mata dan diceriterakan di dalam otak kita. Disinilah konsepsi, konstruksi kebenaran kita di uji, apakah isi fikiran, prasangka, penafsiran kita itu nyata atau sebenarnya itu hanya ilusi?

Ambil contoh sederhana (pernah disampaikan oleh Sabrang MDP), Anda bayangkan sebuah bunga, kebenaran setangkai mawar seumpama. Jika ada 10 orang memotret bunga tersebut akankah sama hasilnya? jelas akan berbeda karena memiliki sisi yang berbeda pula, siapa yang benar? semua benar sesuai ukuran mereka masing-masing.

Baiklah, sekarang 10 orang tersebut mengambil dari angle yang sama, namun propertinya berbeda,  ada yang menggunakan kamera ponsel mitho, asus, samsung, kamera digital dan DSLR, apakah hasilnya sama? sekali lagi pasti berbeda, siapa yang benar? semua benar, hanya saja ada ukuran kejelasan dan ketidak jelasan disitu. Lanjut!!! 10 orang tersebut menggunakan properti yang sama, sama-sama kamera super canggih untuk memotret setangkai mawar itu, apakah potretnya bisa menjelaskan kebenaran setangkai mawar itu? pasti tidak, wong cuma gambar. Terus!!! Jadilah kau bunga, setelah kau jadi setangkai mawar apakah kemudian kau akan mengetahui kebenaran tentang setangkai mawar?

"Maka kita yang sekarang sedang membaca ini, dirimu sekarang berletak dimana, di dalam cermin,  atau di luar cermin!?% Dirimu sesungguhnya itu, apakah kau ini yang mengenakan pakaian lengkapmu, duduk bersila, duduk bebas, menyeduh kopi, menikmati kopi, mendengar riuh rendah suara, memandang-dipandang, menggenggam microphone atau tidak, menyimak atau mengabaikan, meremehkan atau memuji, menghargai atau membenci, merasa adil atau merasa berlaku dzolim, lengkap berbalut daging, tulang, darah atau malah sebenarnya itu semua bukan juga dirimu!?% Tempatmu selama belasan tahun, puluhan tahun kau menganggapnya hidup di dalamnya, dimana engkau hanyalah seorang pengganti berdurasi minimal 63 tahun dan sudah ada seratus, seribu, sejuta nama yang juga pernah menempati posisimu, kedudukanmu, dan mereka sekarang kau gantikan dan kau juga akan digantikan lainnya, benarkah nyata tempat ini?"

Dari semua keawaman, ketidak tahuan, kemalasan, kebodohan, kesombongan kita, bahkan jika pandaimu kita bawa ke hadapan Allah, saktinya kita, kita bawa ke hadapan Allah, adakah kesemua itu layak? Padahal hal yang mendasari semuanya adalah cinta, bukan pandaimu membaca al qur'an,  bukan detailnya dirimu menceritakan siapa Rosulullah, atah bukan betapa luasnya diri kita mejabarkan Tuhan Sang Maha. Namun cintamu atas qur'an, cintamu atas Kanjeng Nabi, Cinta-Ikhlasmu atas Allahlah satu-satunya yang bisa kau persembahkan.

Sekacau apapapun Negri yang kita tempati, sengeri apapun dunia yang kau duduki, separah apapun fitnah-fitnah yang kita jumpai, atau sepelik apapun urusan-urusan rumah tangga, pencarian jati diri, atau semiris apapun penderitaan mendera kita, kita tetap bisa memilih untuk tidak merasa menderita meski penderitaan itu ada, kita tetap bisa memilih untuk condong kepada arah cahaya meski gelap terlalu pekat atau kita bisa memilih untuk tetap mencinta agar Tuhan tidak marah ke kita meski ridloNya tidak sekalipun kita peroleh.

Lalu, sudahkah kita mendengar bisikan "wal akhirotu laka minal uwla?"

Sekian.

wAllahua'am bishowab wa bil murodli.