Rabu, 01 Agustus 2018

Ilmu "Kayaknya"


Oleh: Emha Ainun Nadjib

DAUR-II • 031

Ilmu “Kayaknya

Secara khusus mereka merencanakan rembug mendalam dan tuntas tentang “perang malam hari”. Tetapi hari itu
Tarmihim mencairkannya dengan mengingatkan anak-anak itu bahwa di antara orang-orang tua itu, justru Sundusin yang sedikit punya latar belakang pembelajaran Islam dan Al-Qur`an. Memang bukan santri beneran, tapi sekurang-kurangnya di kampungnya dulu ia bagian dari komunitas Langgar alias Surau, atau yang sekarang disebut Musholla. Jam terbang Iqra`nya lumayan.

Di Negeri ini, tempat Ibadah yang besar disebut Masjid, yang kecil disebut Musholla. Padahal, pertama, fungsinya sama. Kedua, kalau diisengi lewat arti harfiahnya: Masjid itu tempat bersujud, sedangkan Musholla itu tempat shalat. Kalau berpikir denotatif, lebih lengkap shalat dibanding hanya sujud. Artinya, Musholla lebih sempurna dibanding Masjid.


Untunglah sejak awal tempat ibadah itu disebut Masjid. Dan lagi masyarakat Negeri ini dalam banyak hal memang lebih nyaman hidup dalam konotasi daripada denotasi. Dalam kebudayaan informasi dan media, pembuat berita maupun pembacanya terbiasa menggunakan kata “sepertinya”, “kayaknya”, “terkesan”: konotatif semua.

Kalau memasuki ranah pemahaman yang lebih serius: banyak Ummat Islam yang secara tak sengaja atau setengah sadar menyamakan antara tafsir atas ayat Qur`an dengan ayat itu sendiri. Banyak tokoh atau aktivis yang sangat yakin dengan kalimat“Ini kita harus kembali ke Al-Qur`an”. Padahal yang ia maksud Al-Qur`an di situ adalah penafsirannya. Mereka tidak bisa menemukan jarak nilai antara ayat Al-Qur`an dengan lapisan pemahaman atas ayat itu di memori otak mereka.

Beribu-ribu orang memaknai “Alif Lam Mim” (Al-Baqarah: 1), dan menyangka Alif-Lam-Mim adalah pemahamannya itu. (https://www.caknun.com/2017/ilmu-kayaknya/)



DAUR-I • 31 
Allah Bertajalli Padamu

Untungnya empat puluh anak-anak teman-teman orang-orang itu sudah terdidik di Universitas Patangpuluhan untuk melihat sesama manusia tidak berdasarkan sukses gagalnya, kaya miskinnya, pejabat bukannya.


Yang utama adalah cinta mereka kepada Markesot. Sejarah kasih sayang dan komitmen batin di antara mereka, setelah bertahun-tahun berinteraksi di Patangpuluhan.


Mereka menyepakati satu hari di tengah “liburan panjang akhir minggu”. Tidak mudah menemukan satu hari bersama itu, tapi juga tidak sulit-sulit amat. Sebagian mereka yang sebenarnya tidak bisa, akhirnya bisa hadir, dengan cara “memanjang-manjangkan liburan akhir minggu”.


Tempat pertemuan mereka di kampus pembelajaran mereka dulu, yakni markas rumah hitam Patangpuluhan. Meskipun banyak dari mereka adalah sarjana berbagai Universitas, tapi mereka menyebut Patangpuluhan juga Universitas. Kalau ditulis, pakai ‘…’ tanda petik, supaya tidak menyombongkan diri. Tapi mereka mengalami bahwa di Universitas formal tempat kuliah, mereka menghimpun pengetahuan plus sedikit metodologi. Sementara di Patangpuluhan mereka mengembarai ilmu.


Mempelajari ilmu dan belajar menghidupkan ilmu. Mereka menghormati Ilmu Sekolahan di Universitas, tapi menyempurnakan prosesnya dengan melatih Ilmu Kehidupan di Patangpuluhan. Di kampus mereka mendalami suatu pembidangan pengetahuan fakultatif, di Patangpuluhan mereka melatih praksis ilmu komprehensif.


Di Patangpuluhan mereka mengalami pengetahuan dan ilmu, data-data dan fakta, keadaan dan situasi, kenyataan dan nuansa, garis-garis resmi dan kemungkinan dimensi-dimensi. Di Patangpuluhan mereka bergaul hanya dengan buku, lembaran kertas dan huruf-huruf. Melainkan mempelajari kehidupan secara darah daging, ‘nggetih’, ngaw-ruh. Tidak hanya mengukur panjang lebar, tapi menyelam. Tidak hanya menghitung jumlah orang miskin, tapi menangis dan marah. Tidak hanya mentransfer statistik data keuangan negara dan rakyat, tapi mengelola amarah, rasa geram, mungkin juga dendam. Tapi apapun itu yang didalami dan dialami, tetap diletakkan pada landasan cinta sejati kepada bangsanya, ummat manusia, jagat raya dan terutama Maha Penciptanya.




***
Empat puluh orang yang berkumpul di markas Patangpuluhan itu disebut anak-anak ya bisa, karena lepas dari perbedaan usia, mereka memang seperti anak-anak Markesot yang tinggal bersama di rumah hitam Patangpuluhan tiga era sebelum sekarang. Mereka tidak hanya duduk di depan meja membalik-balik lembaran buku-buku, tapi juga mempelajari kegembiraan dan kesedihan, menyelami bayangan kebahagiaan dan fakta kesengsaraan.


Disebut orang-orang, karena mereka sekarang memang sudah “menjadi orang”, sesudah di Patangpuluhan dulu belajar dan berlatih menjadi orang. Apakah ketika itu mereka belum orang? Sudah, tetapi belum orang yang mampu melihat hewan di dalam dirinya. Belum orang yang sanggup menemukan semacam dimensi malaikat di dalam jiwanya. Belum orang yang memiliki Peta Ilmu Diri untuk mengidentifikasi ragam himpunan potensi di dalam dirinya.


Kalau pembelajaran tentang potensi jasadiyah mungkin tidak terlalu sulit. Apa yang padatan, yang cairan, yang uapan, yang kosongan, yang hampaan. Atau yang tanahan, kayuan, logaman, airan. Atau bumian, gunungan, angkasaan, langitan. Serta berbagai termonologi lainnya. Itupun masing-masing satuan masih terus bisa diperdalam, didetail, dimikrokan dinanokan. Hingga ke ada yang terkecil. Ke ada yang tiada. Kemudian takjub kepada tiada yang sejatinya ada.


Itu baru jasadiyah. Belum yang uluhiyah dengan keindahan mikro mulukiyah-nya dan makro rububiyah-nya. Orang-orang Patangpuluhan menikmati syair-syair ekstra indah tajallullah atau lirik-lirik dendang lagu Allah yang ber-tajalli.


Orang patangpuluhan belajar mengidentifikasi diri-nafsiyah, diri-ruhiyah, diri-fikriyah, diri-sirriyah atau diri-wujudiyah. Orang Patangpuluhan bercengkerama dan bercanda dengan aku-badan aku-mental aku-sukma aku-nyawa aku-jiwa, bahkan aku-roso aku-tan-ono aku-sirno aku-mukswo. Sampai samar-samar tampak Aku Tan Kinoyo Ngopo Aku Tan Keno Kiniro.


Tuhan menyatakan bahwa manusia Ia beri hidayah, Ia pinjamkan kaki-Nya kepada orang itu untuk berjalan. Ia pinjamkan tangan-Nya untuk bekerja. Ia pinjamkan mripat-Nya untuk melihat dan telinga-Nya untuk mendengar.


Maka si manusia meletakkan dirinya terus menerus di jalan pembelajaran, mengasah kepekaan, memperhalus kewaskitaan tentang kapan Allah seolah-olah ber-tajalli padanya. Maka kepada semua engkau, amati momentum tatkala Allah ber-tajalli padamu.
Nanti pemetaan itu akan bergambar-gambar hingga tak tampak gambar. Berwajah-wajah sampai tak berwajah. Berbagan-bagan seolah bukan bagan. Langit dan Bumi berganti, diri dan Diri berseliweran dalam kesadaran dan peran.




***
Di Universitas Patangpuluhan kata ‘orang’ disebut dengan disiplin yang tinggi untuk secara dinamis dan irama cepat tempo tinggi menyetiai batas-batas yang tak terkira antara orang benar atau orang-orangan, manusia sejati atau kepalsuan dan pemalsuan, antara denotasi yang didera oleh konotasi, hingga ke konotasi yang justru memproses pematangan denotasi berikutnya.


Markesot mempersiapkan orang-orang Patangpuluhan untuk berdialektika dalam fungsi Dzat, Sifat, Isim dan Jasad, yang keseluruhannya merupakan Af’al. Kinerja agung selama pengelolaan diri di alam semesta. Tuhan fa’-‘alun lima yurid. Allah maha bekerja melaksanakan kehendak-Nya. Manusia bekerja meresonansi kinerja Allah itu pada posisi cipratan, pantulan, gema dan gelombang.


Markesot mempersiapkan itu semua di Universitas Patangpuluhan dengan hanya membukakan pintunya kemudian melempar sejumlah kode dan simbol-simbol  arah di tepian jalan, di pepohonan, di bebauan dan atmosfir sepanjang perjalanan anak-anak Patangpuluhan.
Markesot bukan guru yang hidup dengan murid-muridnya. Bukan Kiai dengan santri-santrinya. Mereka semua di Patangpuluhan maupun di terminal Suluk, terminal Shirath, terminal Syari’, terminal Thariq, serta berbagai terminal berikutnya sampai hari ini, adalah teman-temannya, sahabat-sahabatnya. Yang ia temani berproses menjalani pendidikan dan kehidupan yang diselenggarakan oleh Tuhan.


Dan akhirnya, ketika anak-anak itu, orang-orang itu, teman-temannya itu, berkumpul di Patangpuluhan di hari akhir minggu yang dipanjang-panjangkan, Markesot ternyata menemukan sangat banyak kegagalan di era Universitas Patangpuluhan.


Sehingga dia melepas cambuk dari pinggang di balik bajunya dan ber-acting seperti orang gila.


Mereka yang menyayangi Markesot mengatakan, “Markesot keluar jadzab-nya”. Bahkan ada yang ngawur berkhayal, “tunggu saja nanti kambuh Wali-nya”. Padahal itu perilaku yang meskipun tidak lazim tapi tetap ada penjelasan rasionalnya.


Sebenarnya Markesot sedang mengaduh. Sebenarnya itu rintihan, tapi ditutupi dengan kegagahan suara ledakan cambuk. Sebenarnya Markesot sedang merasa kesakitan, karena jiwanya terluka. (https://www.caknun.com/2016/allah-bertajalli-padamu/)