Kamis, 06 September 2018

KESADARAN MU'ADZIN



Mukodimah Poci Maiyah
Jemuah, 07 September 2018
 Oleh: Lingkar Gagang Poci


Jangan lupa basmallah.
_________________________________

Siapa Aku?

Kenapa aku membaca tulisan ini? kenapa aku bertanya? kenapa aku bisa berada disini? lho, aku sedang bertanya kepada siapa? kenapa aku melihat ke depan?  kenapa aku tolah-toleh kanan-kiri? tulisan ini menakutkan, kenapa aku malah takut? Jangan dibaca, tidak perlu di teruskan.


Siapa sebenarnya aku ini?

Kenapa tetap kubaca?

Siapa sebenernya aku?

Kenapa aku dilahirkan sebagai manusia, bukan batu, kayu, daun, awan, ayam, singa, jin atau apapun selain manusia? kenapa aku memiliki tubuh lengkap, dengan tak kurang sedikitpun bagian pada tangan, lengan, kaki, lutut, hidung, mata, kulit, telinga? Tangan? Menggenggam? Warna kulit? Apa pula maksud garis-garis tangan di telapakku ini, dengan lengkungannya, tebal, tipis, garis pijar, ruas jari-jari? Gila! Setiap detailnya terlalu rumit dan sulit untuk dipahami, lantas apa yang harus kulakukan dengan tubuh manusia ini?

Dimana aku? kenapa aku bisa disini? Namaku? Keluargaku? Kenapa aku dibesarkan di keluarga itu?  Kenapa aku dilengkapi dengan memiliki suku, bangsa, bahasa, agama? Apa pula kebiasaan kecilku ini? Apa pula dengan adat-istiadat, sopan-santun, nilai-nilai, kepercayaan, keyakinan, dan perbedaan-perbedaan antara aku dengan manusia lainnya? Gila! Setiap detailnya terlalu rumit dan sulit untuk dipahami, lantas apa yang harus aku perbuat dengan semua personalitas ini?

Kapan aku? Kapan aku mulai bisa memikirkan ini semua? Sejak kapan aku mulai bisa berfikir? Sejak kapan aku mulai mengetahui berbagai hal besar yang ternyata kecil, berbagai hal kecil yang ternyata besar? Kapan aku tahu bahwa itu tahu, kapan aku mengerti bahwa itu mengerti, kapan aku sadar bahwa itu adalah aku? Gila! Setiap detailnya terlalu rumit dan sulit untuk dipahami, lantas apa yang harus aku lakukan dengan lintas-aliran waktu ini?


Menyadari?

Sadar?

Apa itu Kesadaran? 

____________________________________________________________________
"Wahai orang-orang yang berselimut, Bangunlah"
____________________________________________________________________
Bukan, jelas bukan, tema "Kesadaran Mu'adzin" ini tidak memiliki keterkaitan dengan isu-isu yang mencuat di Indonesia agustus lalu. Tema ini sudah mulai di bahas pada tanggal 10 Agustus, Jemuah kedua di kediaman mas Faras. Walaupun kemudian, sedulur-sedulur Poci Maiyah sempat melongo, bahwa ujug-ujug ada ramai tentang berita-cerita adzan atau volume adzan. Tetap tema ini muncul bukan karena hal tersebut. Adapun ketersambungannya adalah Allah yang merizkikan masyarakat maiyah untuk lebih mawas.

Tema "Kesadaran Muadzin" murni digelar sebagai bahan sinau bareng, bukan untuk memberikan judgment atau komentar terhadap isu-isu itu, namun menelisik lebih dalam tentang peran para mu'adzin, khususnya di desa-desa, di mushola-mushola kecil, dan di lingkungan dimana ada roman, ada samudera hikmah, ada misteri, ada nilai spiritual, ada atmosfer mistis tersendiri bagi seorang muadzin, saat ia berangkat dari rumah menuju mushola untuk mengumandangkan adzan, dengan semampu-mampu dia, sebisa-bisa dia, disaat yang lain sedang entah kemana semua.

Seorang muadzin memahami tibanya waktu solat, namun tidak mungkin bisa mengintip masa depan. Para mu'adzin tidak tahu, adakah yang akan terpanggil dari adzannya atau tidak. Mu'adzin pun tidak tahu, setelah ia merapikan baju untuk berangkat menuju mushola, apakah sandal di teras depan rumah masih ada atau hilang, apakah akan ada pemadaman listrik atau tidak, apakah ia akan benar menjadi orang yang akan mengumandangkan adzan atau sudah ada yang mendahului.

Muadzin berangkat, tanpa sedikitpun tahu apa yang akan terjadi nanti, entah akan berakhir menjadi ma'mum, imam, atau sekedar penyapu mushola, pengisi bak air tempat wudlu, penyenandung puji-pujian karena ternyata ada yang sudah terlebih dahulu datang. Atau malah menenangkan tangis anak kecil, atau juga malah menjinjing sarungnya lari pontang-panting mengejar maling, memadamkan kebakaran, melerai tetangga yang akan bunuh-bunuhan, atau apapun tidak ada yang tahu, muadzin hanya tahu waktu sholat telah tiba, dan ia mempersiapkan dirinya untuk mengumandangkan adzan, hanya itu.

Bahkan siapa pula yang bisa menjamin bahwa orang yang akan mengumandangkan adzan "pasti-selalu" hafal kalimat-lafadznya? Faktanya, ada muadzin yang mengumandangkan kalimah "HAYYAL 'ALA FALAH" dahulu,  padahal "hayya 'alassholah" belum di kumandangkan, setelah itu? hening... tidak ada suara apa-apa lagi di speaker, Si Bocah yang adzan kabur karena merasa malu. Atau juga sampai ada siaran ulang semacam;

"Hayaa 'alas sholaaaah,  hayya 'alas shomaaaaad.

Eh... 

Maaf  SALAH, KAMI ULANGI ADZAN ini sekali lagi."


***
Kesadaran muadzin berangkat dari ia kepada dirinya, dari dirinya untuk Allah, dari dirinya untuk orang banyak. Karena semakin dalam kita selami, kita akan menemukan, bahwa kesadaran mu'adzin adalah kesadaran fardlu kifayah. Kesadaran yang membawa beban berat memikul ribuan nama, ribuan kendala. Bahwa jika tidak ada satupun manusia yang mengumandangkan adzan di lingkup tempat tersebut, seluruh penghuninya akan sama saja di timpakan dosa oleh Allah. Namun ia rela, tidak lebih, tidak kurang, hanya karena cinta.

Maka terlebih dahulu, yang disentuh oleh kesadarannya adalah ketersediaannya "memenuhi panggilan" di dalam dirinya. Muadzin bergerak menjemput sangkannya atas waktu yang berparan kepada Sang Maha Pemilik Waktu, atas sangkannya pada konstelasi matahari, bulan, planet-planet,  bergeraknya awan, jatuhnya bayangan dan segala harmoni semesta. Tanpa terlebih dahulu menjawab panggilan di dalam dirinya, niscaya tidak ada irsyad dan taufik yang akan membuatnya bangun,   berdiri, bersiap menuju tempat adzan di kumandangkan.

Kesadaran muadzin tidak berangkat dari membangun negeri, tidak berangkat dari membangun masyarakat, tidak berangkat dari membangun ekonomi, gedung-gedung, sekretariat, pertokoan, pasar dan hal-hal materi lainnya.
__________________________________________________________________________
"Sami'na wa atho'na",
Kami mendengar, dan Kami menaati.
Para mu'adzin mendengar, dan para mu'adzin menaati.
__________________________________________________________________________

Kesadaran muadzin berangkat dengan kerelaan, keikhlasan, kegembiraan, dan keteguhan untuk bergerak lebih dahulu.

Membangun spiritualitas, kepercayaan diri, keteguhan tekad, keikhlasan yang tidak diingat.

Untuk QUM (bangun), dengan pertama kali mengumandangkan, bahwa tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di dalam dirinya, tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di negeri dimana ia hidup, dan tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di dalam semesta yang "menyelimutinya."