Mukodimah Poci Maiyah
Jemuah, 07 September
2018
_________________________________
Siapa Aku?
Kenapa aku membaca tulisan ini? kenapa aku bertanya? kenapa aku bisa berada disini? lho, aku
sedang bertanya kepada siapa? kenapa aku melihat ke depan? kenapa aku tolah-toleh kanan-kiri? tulisan
ini menakutkan, kenapa aku malah takut? Jangan dibaca, tidak perlu di teruskan.
Siapa sebenarnya aku ini?
Kenapa tetap kubaca?
Siapa sebenernya aku?
Kenapa aku dilahirkan sebagai manusia, bukan batu,
kayu, daun, awan, ayam, singa, jin atau apapun selain
manusia? kenapa aku memiliki tubuh lengkap, dengan tak kurang sedikitpun bagian
pada tangan, lengan, kaki, lutut,
hidung, mata, kulit, telinga? Tangan? Menggenggam? Warna kulit?
Apa pula maksud garis-garis tangan di telapakku ini, dengan lengkungannya, tebal,
tipis, garis pijar, ruas
jari-jari? Gila! Setiap detailnya terlalu rumit dan sulit untuk dipahami,
lantas apa yang harus kulakukan dengan tubuh manusia ini?
Dimana aku? kenapa aku bisa disini? Namaku? Keluargaku? Kenapa aku dibesarkan di keluarga
itu? Kenapa aku dilengkapi dengan
memiliki suku, bangsa, bahasa, agama? Apa pula kebiasaan kecilku ini? Apa pula dengan adat-istiadat,
sopan-santun, nilai-nilai, kepercayaan, keyakinan, dan perbedaan-perbedaan antara aku dengan manusia lainnya?
Gila! Setiap detailnya terlalu rumit dan sulit untuk dipahami, lantas apa yang
harus aku perbuat dengan semua personalitas ini?
Kapan aku? Kapan aku mulai bisa memikirkan ini semua? Sejak
kapan aku mulai bisa berfikir? Sejak kapan aku mulai mengetahui berbagai hal
besar yang ternyata kecil, berbagai hal
kecil yang ternyata besar? Kapan aku tahu bahwa itu tahu, kapan aku mengerti bahwa itu mengerti, kapan aku sadar bahwa itu adalah aku? Gila!
Setiap detailnya terlalu rumit dan sulit untuk dipahami, lantas apa yang harus
aku lakukan dengan lintas-aliran waktu ini?
Menyadari?
Sadar?
Apa itu Kesadaran?
____________________________________________________________________
"Wahai
orang-orang yang berselimut,
Bangunlah"
____________________________________________________________________
Bukan, jelas bukan,
tema "Kesadaran Mu'adzin" ini tidak memiliki keterkaitan
dengan isu-isu yang mencuat di Indonesia agustus lalu. Tema ini sudah mulai di
bahas pada tanggal 10 Agustus, Jemuah
kedua di kediaman mas Faras. Walaupun kemudian, sedulur-sedulur Poci Maiyah
sempat melongo, bahwa ujug-ujug ada ramai tentang berita-cerita adzan atau
volume adzan. Tetap tema ini muncul bukan karena hal tersebut. Adapun
ketersambungannya adalah Allah yang merizkikan masyarakat maiyah untuk lebih
mawas.
Tema "Kesadaran Muadzin" murni digelar sebagai
bahan sinau bareng, bukan untuk memberikan judgment atau komentar terhadap
isu-isu itu, namun menelisik lebih dalam
tentang peran para mu'adzin, khususnya di desa-desa, di mushola-mushola kecil, dan di lingkungan
dimana ada roman, ada samudera hikmah, ada misteri, ada nilai spiritual, ada atmosfer mistis tersendiri bagi seorang
muadzin, saat ia berangkat dari rumah menuju mushola untuk mengumandangkan
adzan, dengan semampu-mampu dia, sebisa-bisa dia, disaat yang lain sedang entah kemana semua.
Seorang muadzin memahami tibanya waktu solat, namun tidak mungkin bisa mengintip masa
depan. Para mu'adzin tidak tahu, adakah yang akan terpanggil dari adzannya atau
tidak. Mu'adzin pun tidak tahu, setelah
ia merapikan baju untuk berangkat menuju mushola, apakah sandal di teras depan rumah masih ada
atau hilang, apakah akan ada pemadaman
listrik atau tidak, apakah ia akan benar
menjadi orang yang akan mengumandangkan adzan atau sudah ada yang mendahului.
Muadzin berangkat, tanpa sedikitpun tahu apa yang akan terjadi nanti, entah akan berakhir
menjadi ma'mum, imam, atau sekedar
penyapu mushola, pengisi bak air tempat wudlu, penyenandung puji-pujian karena
ternyata ada yang sudah terlebih dahulu datang. Atau malah menenangkan tangis
anak kecil, atau juga malah menjinjing sarungnya lari pontang-panting mengejar
maling, memadamkan kebakaran, melerai tetangga yang akan bunuh-bunuhan,
atau apapun tidak ada yang tahu, muadzin hanya tahu waktu sholat telah
tiba, dan ia mempersiapkan dirinya untuk
mengumandangkan adzan, hanya itu.
Bahkan siapa pula yang bisa menjamin bahwa orang yang akan
mengumandangkan adzan "pasti-selalu" hafal kalimat-lafadznya?
Faktanya, ada muadzin yang
mengumandangkan kalimah "HAYYAL 'ALA FALAH" dahulu, padahal "hayya 'alassholah" belum di
kumandangkan, setelah itu? hening...
tidak ada suara apa-apa lagi di speaker, Si Bocah yang adzan kabur karena merasa malu. Atau juga sampai ada
siaran ulang semacam;
"Hayaa 'alas
sholaaaah, hayya 'alas shomaaaaad.
Eh...
Maaf SALAH, KAMI ULANGI ADZAN ini sekali lagi."
***
Kesadaran muadzin berangkat dari ia kepada dirinya, dari
dirinya untuk Allah, dari dirinya untuk
orang banyak. Karena semakin dalam kita selami, kita akan menemukan, bahwa kesadaran mu'adzin adalah kesadaran fardlu
kifayah. Kesadaran yang membawa beban berat memikul ribuan nama, ribuan kendala.
Bahwa jika tidak ada satupun manusia yang mengumandangkan adzan di lingkup
tempat tersebut, seluruh penghuninya akan sama saja di timpakan dosa oleh
Allah. Namun ia rela, tidak lebih, tidak kurang, hanya karena cinta.
Maka terlebih dahulu, yang disentuh oleh kesadarannya adalah
ketersediaannya "memenuhi panggilan" di dalam dirinya. Muadzin
bergerak menjemput sangkannya atas waktu yang berparan kepada Sang Maha Pemilik
Waktu, atas sangkannya pada konstelasi matahari, bulan, planet-planet, bergeraknya awan, jatuhnya bayangan dan segala harmoni semesta.
Tanpa terlebih dahulu menjawab panggilan di dalam dirinya, niscaya tidak ada irsyad dan taufik yang akan
membuatnya bangun, berdiri, bersiap
menuju tempat adzan di kumandangkan.
Kesadaran muadzin tidak berangkat dari membangun
negeri, tidak berangkat dari membangun
masyarakat, tidak berangkat dari membangun ekonomi, gedung-gedung, sekretariat, pertokoan, pasar dan hal-hal materi lainnya.
__________________________________________________________________________
"Sami'na
wa atho'na",
Kami
mendengar, dan Kami menaati.
Para
mu'adzin mendengar, dan para mu'adzin menaati.
__________________________________________________________________________
Kesadaran muadzin berangkat dengan kerelaan, keikhlasan,
kegembiraan, dan keteguhan untuk bergerak lebih dahulu.
Membangun spiritualitas, kepercayaan diri, keteguhan tekad, keikhlasan yang tidak diingat.
Untuk QUM (bangun), dengan pertama kali mengumandangkan, bahwa tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di dalam dirinya, tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di negeri dimana ia hidup, dan tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di dalam semesta yang "menyelimutinya."
Membangun spiritualitas, kepercayaan diri, keteguhan tekad, keikhlasan yang tidak diingat.
Untuk QUM (bangun), dengan pertama kali mengumandangkan, bahwa tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di dalam dirinya, tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di negeri dimana ia hidup, dan tidak ada Yang Lebih Akbar, selain Allah di dalam semesta yang "menyelimutinya."