Rabu, 03 Oktober 2018

Maiyah dan Perahu Nuh

Mukadimah Poci Maiyah Oktober 2018

Oleh: Muhammad Nursamad Kamba


Sejarah umat manusia kini memasuki era perkembangan yang sudah hampir mencapai level puncak kejayaan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Kepercayaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya
disebabkan oleh kemampuan ilmiah memberi penjelasan-penjelasan persuasif atas berbagai pertanyaan manusia yang pelik, melainkan juga dan terutama karena hasil pencapaian teknologi telah memberi dan menyediakan berbagai fasilitas dan kemudahan yang dinikmati oleh manusia bahkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Mulai dari perumahan, transportasi, sandang, pangan dan apa saja yang menjadi kebutuhuan primer dan sekunder terpenuhi dengan sangat mudah. Perjalanan yang dulu di tempuh dengan sangat sulit dan melelahkan selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan kini bisa ditempuh dengan sangat mudah dan menyenangkan dalam hitungan menit dan jam. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menemukan cara yang membuat pesawat bisa terbang dengan kecepatan tinggi. Bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mampu merakit pesawat untuk menjelajahi ruang angkasa. Empat belas abad yang lalu, manusia hanya bisa percaya pada cerita penjelajahan ruang angkasa jika terjadi pada diri seorang nabi.

Jika suasana kehidupan masa kini yang sudah serba terfasilitasi dikisahkan kepada orang-orang yang hidup empat belas abad yang lalu, pasti bayangannya orang-orang sekarang sudah hidup di surga. Menaiki gedung tinggi cukup tekan tombol tetiba sudah sampai di lantai paling atas. Duduk di warung cukup pesan langsung tersaji. Dari rumah cukup halo-halo makanan yang dipesan langsung datang. Apa yang kurang? Kebutuhan seksual? Bidadarinya mana? Wildannya, brondongnya mana? Datanglah ke Bar dan dugem maka engkau akan temukan bidadari atau brondongmu. Apakah manusia puas? Tidak, masih terus mecari dan mencari yang lebih menjanjikan. Dan ilmu pengetahuan dan teknologinya akan tetap menjanjikan pelayanan yang diharapkan itu.

Mungkin Tuhan sedang berbangga campur bersedih melihat spesies ciptaanNya yang paling spesial ini. Berbangga karena manusia ternyata memiliki kompetensi menjadi co-worker Tuhan dalam mengatur jalannya kehidupan di bumi. Bersedih karena manusia telah terbawa oleh kebanggaannya itu untuk melupakan dirinya sendiri. Tapi intinya, manusia telah membangun kepercayaan pada diri sendiri dan tidak membutuhkan kekuasaan atau otoritas lain yang mengarahkan hidupnya.
Kumpulan pesan-pesan dari Tuhan yang mengklaim membawa arahan dan petunjuk dari Tuhan pun dihadapkan pada pengukuran ilmu pengetahuan apakah dapat diterima atau tidak. Bahkan, mempertanyakan keberadaan Tuhan sendiri. Imajinasi yang dikembangkannya justru mengasumsikan jangan-jangan ide mengenai Tuhan hanya percikan khayalan yang tertangkap oleh pikiran dan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang riil. Ini terjadi pada saat manusia menyadari betul bahwa ia tidak mampu menahan kebutuhan perutnya, baik untuk memasukkan makanan/minuman maupun untuk mengeluarkan. Bahkan, manusia sangat menyadari bahwa ia tidak mampu memastikan apakah di hari esok masih memiliki kekuasaan dan kemampuan yang dinikmati sekarang.

Syahdan, ilmu pengetahuan dan teknologi menderap langkah yang lebih maju dalam bidang komunikasi dan informasi. Era baru dan surga baru di antara surga-surga yang sudah ada. Mereka menyadari kemudian bahwa agama telah menghalangi manusia selama berabad-abad untuk memenuhi suatu kenikmatan yang paling dibutuhkan manusia, yakni kenikmatan bergosip ria. Teknologi informasi dan komunikasi telah menyediakan sarana dan prasarana pergosipan yang begitu nyaman dan mudah. Tidak perlu menguras tenaga untuk bertemu di suatu tempat, tapi cukup memainkan jempol maka kesenangan itu telah terpenuhi secara sempurna. Saking sempurnanya tidak perlu harus bertemu untuk tertawa bersama-sama tapi cukup di kamar sendiri dan tertawa sendiri-sendiri. Lambat laun gelombang informasi menerpa silih berganti dan kemudian menjadi arus yang semakin deras dan keras hingga akhirnya menjadi badai-topan yang tak terbendung lagi oleh kekuatan apapun.

Apakah ini isyarat kepada badai-topannya Nabi Nuh As? Ya reid, kata orang Mesir, masih mending badai-topan yang sifatnya mengancam akan menciptakan kerusakan-kerusakan fisik. Gedung-gedung yang runtuh, pohon-pohon yang tumbang, sawah ladang yang rusak, kebun-kebun dan taman-taman yang berantakan, rumah-rumah runtuh-rantah dan lain sebagainya itu semua adalah mudah untuk menemukan gantinya. Yang tak tergantikan adalah jika manusianya yang rusak dan hancur. Ya reid kehancurannya terbatas pada fisiknya, lha kalau yang rusak jiwanya? Bagaimana bisa bangkit lagi?
Boleh jadi, atas rahmat dan kasih-sayang Tuhan, Nuh sedang bangkit kembali dalam bentuknya yang menuruti asal kata dari mana namanya diambil. Nâha yanûhu nowhan wa nûhan. Ratapan dan rintihan nurani manusia. Nuh sedang bangkit merepresentasikan rintihan nurani manusia dan menjalankan dakwahnya mengajak manusia untuk kembali kepada Tuhan. Jika tidak mau menggunakan istilah Tuhan, berhubung sudah mengalami degradasi makna dan manipulasi maka setidaknya kembalilah kepada nurani. “Inilah perahu yang akan menyelamatkan kita dari badai topan yang akan menghancurkan itu”. Demikian Nuh menjelaskan dengan penuh semangat bahkan berulang-ulang hingga suaranya agak serak.

Mungkin sudah nasib bagi Nuh bahwa ajakannya selalu memperoleh respons yang minim, alih-alih diterima malah diolok-olok. Lha salah sendiri tidak bisa move on. Tidak bisa mengikuti arus perubahan. Orang sudah lebih gampang menumpuk kekayaan hanya dengan menjadi buzzer, Nuh masih tetap pada pendiriannya bahwa kekayaan yang berkah adalah yang diperoleh dengan ikhtiar dan kerja keras serta dengan keringat sendiri. Orang-orang bahkan sudah menggunakan dan mengendarai agama untuk menjadi kelompok pendukung atau anti penguasa, Nuh malah menjaga netralitasnya. Ketika Nuh sesekali mengingatkan, “wahai manusia sebarkanlah kasih sayang di antara kalian dan janganlah memakan bangkai saudaramu yang kalian bantai bersama-sama setiap saat”; tapi tak mendapat respons kecuali bersifat olok-olok: ah karena kamu tidak banyak pengikut saja lantas mencari pengikut dengan cara sok kasih sayang.

Dalam suatu kesempatan diskusi Forum Pengingat Ibu-ibu, Nuh sekali lagi menjelaskan bahaya yang mengancam keutuhan negara jika ibu-ibu sebagai pilar utama keluarga tak lagi ada peluang memperhatikan dapur dan anak-anak karena sibuk bermedsos.

“Hei Nuh”, kata mereka setengah menghardik, “tidak usah mengurus negara, urus saja dirimu sendiri; apakah engkau tidak menyadari bahwa banyak pengikutmu balik haluan gegara terkesan membela orang-orang yang hak konstitusionalnya dicabut? Tidak usah mengurus negara sebab negara sudah ada yang empunya. Konstitusi apa? Konstitusi ialah apa yang menurut penguasa dan para hulu balangnya sudah benar maka benarlah”.

“Lihatlah,” lanjut mereka, “para pemimpin agama beserta ormas-ormas dan otoritasnya sudah pada mengamini penguasa. Ini sudah mayoritas”, pungkas mereka. Tapi Nuh tetap berpegang teguh kepada prinsip yang selama ini menjadi pedomannya: betapa banyak kelompok minoritas mengungguli kelompok mayoritas. Kami memang kalah dalam kuantitas tapi belum tentu terungguli dalam kualitas.

Akhirnya Nuh berkesimpulan bahwa keadaan memang sudah demikian genting tapi tetap tidak perlu Perppu, gumamnya. Bagaimana dengan do’a pamungkas?: “Tuhan jangan biarkan bumi ini dihuni para pengecut yang tertutup hatinya; jika Engkau biarkan maka mereka hanya akan menyesatkan dan tak akan ada yang lahir dari mereka kecuali pengecut”. Tidak, tidak perlu do’a. Mungkin sudah terlambat memang, sebab banjir kini sedang melanda. Banjir informasi bergelombang bak tsunami datang silih berganti. Yang dilakukan sekarang adalah mengajak anak-anakku menumpang di atas perahu ini.

Tapi mereka tetap menolak. “Tidaaaak”, teriak mereka, “kami akan berlindung di atas bukit Mayoritas dan gunung Arus-utama yang akan menjadi benteng kami.”
“Tidak anak-anakku,” suara Nuh terdengar sayup-sayup di tengah gemuruh ombak, “tak ada yang dapat membendung ketetapan Tuhan, wahai anak-anakku.”

Mereka kemudian tertelan oleh ombak dan tamat. Mereka tenggelam. (https://www.caknun.com/2017/maiyah-dan-perahu-nuh/)