Jumat, 28 Desember 2018

Sedulur Poci Maiyah Bertambah

Tak terasa gelap pun jatuh di penghujung senja. Warna kuning kemerahan langit menyulut pikiran kalau Jumat terakhir bulan Desember maiyah on the road (mother) yang semestinya dilaksanakan di Gubug Shalawat Talang lukir dirumah Sedulur Razaq sekaligus syukuran pernikahan.

Berangkat dari Semarang sebagai warga yang mendukung program menggunakan transportasi umum, saya merasa didholimi karena ternyata semua kursi kereta dan bus penuh tanpa sisa. Mau tak mau, kuda besi buatan Yamaha menjadi alternatif terakhir.

Dari Semarang melewati alas Roban jalanan mulus. Setelah shalat maghrib sekaligus isya di daerah Batang, perjalanan dilanjutkan menempuh 70 km tersisa. Tepat jam 9 malam, perjalanan berakhir dan langsung disambut sedulur-sedulur yang sudah hadir lebih awal.

Ritual keagamaan yang melekat pada jiwa Poci Maiyah menjadi acara pembuka, diawali tawasul dan diakhiri doa oleh Kang Luay selaku sesepuh, berharap kebaikan akan terus mengiringi Razaq dan istri dalam menjalani kehidupan mendatang.



Karena ini adalah Jumat terakhir, artinya Jumat depan ada Majelis Masyarakat Miayah di monumen GBN. Sisa pertemuan malam itupun dihabiskan untuk membahas persiapan gelaran rutin melingkar bulanan. Kebimbangan dengan cuaca yang tak menentu menjadi bahasan hangat, antara ingin menyewa tarub atau berpindah tempat.

Tapi tetap saja, dalam suasana menggembirakan ada yang nyeletuk "sampai kapan kamu mau menangis dan meratapi kesendirian?" Sungguh perbuatan tercela yang dilakukan Gus Luay padahal masih jomblo meski sudah pasang lowongan di koran.

Apa yang terjadi setelahnya? Saya tidak bisa menyimak banyak, biarlah ini menjadi misteri sampai ada yang mau menulis setiap perjalanan Poci Maiyah.

Sebagai penutup, selamat kepada Kang Razaq dan istri. Selamat Poci Maiyah, karena bertambah sedulur baru, Ibu Latif ar-Razaq. Semoga nilai-nilai maiyah semakin luas menyebar. Atas nama cinta, saya tutup cerita ini.