#PMAgustus #Mukadimah #SedulurMaiyah
In the name of Allah, the Entirely Merciful, the
Especially Merciful.
Dengan hati yang Engkau anugerahkan Duhai Robb, semoga
apa-apa yang kami ikhtiyarkan tak mengundang Amarah-Mu, atau dihinakan kami di
hadapan-Mu, atau disempurnakan kebodohan dan kejahatan kami di Bumi-Mu. Karena
iman tak kunjung kami mengerti, islam semakin rumit kami pahami di zaman ini,
dan ihsan bebal kami rasai. Kami Tunduk dan berpasrah diri, agar terus Kau
Perjalankan kami untuk belajar mencintai-Mu dan Muhammad-Mu dalam kesadaran,
dalam kemurnian, dalam keindahan Subbuhun Quddusun Robbuna Wa Robbul
Malaikati warRuh.
***
Sekarang pikirkan kata “Keluarga”. Lima, Empat, Tiga,
Dua, Satu. Oke cukup. Apa maknanya? Bagaimana kita menjiwainya? Apa yang bisa
kita munculkan dari satu kata tersebut? Atau hanya keterasingan yang muncul,
blank, nothing, embuh? Atau lebih tragis lagi, hanya ingatan-ingatan tentang
konflik yang hadir, sampai adegan-adegan berantem kita dengan orang tua, suami
dengan istri, kakak dengan adiknya, atau episode-episode sinetron konyol
keluarga dan FTV Adzab juga terlintas dalam ingatan kita? Baik, kita
kesampingkan dulu hidangan utama sinau bareng kita itu, untuk nanti. Nanti
kapan? Brisik, biar diperjalankan saja. Nderek Gusti Allah sama Kanjeng Rosul
saja udah.
***
Syahdan, kepada hati sendiri saja kita sulit
mengenali, belum dengan sesuatu di luar diri. Baik apa yang ia bisikan,
firasati, cerminkan, atau entah penyakit dan kebusukan apa yang bersemayam di
dalamnya tidak pernah kita waspadai. Itu berlangsung berhari-hari,
berlarut-larut, dari satu peristiwa menuju seratus peristiwa lainnya, hingga
umur berganti namun tetap saja masih sering kita abaikan, tak pernah ada silah
komunikasi to rohiym untuk merekat-mengakurkannya.
Yang mawas berbahagia, yang lalai semakin merajalela. Bergembiralah
mereka yang dipertemukan kesejatian akhirat, dan sedih prihatin bagi yang
mengcover/kufur/tutup diri dari cinta dan kebaikan. Ia yang mengabaikan semakin
kebas, pekat, lalu hilang kemurnian hatinya. Entahlah, sudah sedari kapan
manusia semakin jauh dari hakiki penciptaannya. Terlebih di zaman yang semakin
tak kenal dengan martabat, rasa malu, kedaulatan, atau kerja keras, semuanya
semakin menjadi-jadi, tinggal ke-Aku-an yang terlalu di besar-besarkan, tanpa
sadar konsekwensi yang mengikuti untuk di tanggungnya. Dan hal tersebut terus
mewabah atas diri individu, keluarga, koloni, komunal, ummat, masyarakat,
bangsa hingga hampir menjangkit ke seluruh penduduk dunia.
***
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap a’izzah terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (554)
***
No, no, no, jangan bertanya kenapa ayat tersebut di
munculkan di tulisan ini tanpa penjelasan tertulisnya juga, atau menanyakan secara
tertulis perbedaan “Alladziyna” dengan “Man”, atau kenapa ayat tersebut menggunakan
عَنْ دِينِهِ
bukan “min diynihi”, atau “Ya’tillaahu biqoumin” (Allah akan mendatangkan
suatu kaum) bukan “Ya’ti qoumun,” (akan datang suatu kaum), jangan. Karena
Al Qur’an tetaplah Al Qur’an tanpa itu di munculkan di muqodimmah ini, dan ayat
5:54 itu tetap istimewa tanpa kita semua ada untuk menjelaskannya. Pun,
pengetahuan Mbah Nahar, Yi Fahmi di kali seribu sedulur maiyah di dunia tidak
akan bisa menyamai kekuatan satu huruf Al Qur’an. Show Your Respect! Dan
kejarlah dengan cinta saja.
Tapi bertanyalah kepada diri kita sendiri ; Siapakah
diantara kita semua yang sudah menjadi seorang
pendamai tanpa pamrih, pendengar yang baik tanpa mengadili, penyemangat
di kala semua berantakan, penggembira di saat suram, pengakur bagi yang
berserakan, pemersatu bagi yang terpecah-belah, pejalan yang memilih tidak menambah-nambah
masalah dengan mengerti perasaan orang lain, atau penempuh jalan istiqomah di
waktu yang lain pergi dan seterusnya?
Atau jangan-jangan kita menganggap diri kita terlalu
spesial/istimewa, sehingga menganggap kebenaran adalah “Aku” , dan
memandang lainnya sebagai makhluk yang bodoh, tidak paham, keliru, salah, lemot,
bebal, kolot, sesat? Bukankah ini yang terjadi hari ini? Kita semakin asing
dengan bangsa kita, ummah kita, tetangga kita, bahkan asing dengan keluarga kita sendiri. Berapa banyak
anak laki-laki yang menghipnotis dirinya sendiri bahwa dia lebih paham dan lebih
unggul ketimbang orang tuanya, atau anak perempuan yang semakin mengimani kecantikan
adalah kegiatan yang harus dipamer-pamerkan, atau suami-isteri yang selalu berebut
kebenaran Tuhan dengan meributkan hak-hak dan kewajiban? Terus mensiklus
membentuk peradaban pemalas dan mudah menuding-nuding orang lain dengan tabiat
“Kamu harus A, harus B, harus C dan seterusnya.” bukan malah merasa mawas dan malu
menyadari “Harusnya aku A, baiknya aku B, indahnya aku C”.
Inikah wajah kita hari ini? Masihkah kita memiliki
huma untuk “pulang”, atau hari ini, sebidang tanah dan sebangun tempat yang di
sebut rumah itu tak berbeda dengan terminal untuk singgah dan pergi? Semua
menjadi fals, sumbang, annoying, tak berlagu.
Fraktalnya, semua orang menikmati musik, entah yang etnic atau
modern, yang tabuh macam rebana atau gesek seperti biola. Namun, dalam urip,
dalam hidup, kita seolah kehilangan ritme, partitur, kepekaan, kenikmatan,
kepercayaan untuk menerima kebaikan agar diperjalankan sanggup menyusun
nada-nada peristiwa hidup itu menjadi sebuah harmoni, simfoni, Lagu. Menjadi
sebuah orchestra semesta bernama laguning urip. Come On!!! Cuaca apa yang
sebenarnya mengungkung kita setiap harinya?
Baiklah, Baiklah, ini yang terakhir ; jika iya Allah
memang sedang mendatangkan suatu kaum yang baru untuk menggantikan kaum yang
lama, kita ini, menjadi bagian yang menggantikan, atau yang digantikan?