Rabu, 31 Juli 2019

LAGUNING URIP



Mukadimah Poci Maiyah Agustus 2019
Oleh : Muhammad Fathul Barry Lu’ay



#PMAgustus #Mukadimah #SedulurMaiyah
In the name of Allah, the Entirely Merciful, the Especially Merciful.

Dengan hati yang Engkau anugerahkan Duhai Robb, semoga apa-apa yang kami ikhtiyarkan tak mengundang Amarah-Mu, atau dihinakan kami di hadapan-Mu, atau disempurnakan kebodohan dan kejahatan kami di Bumi-Mu. Karena iman tak kunjung kami mengerti, islam semakin rumit kami pahami di zaman ini, dan ihsan bebal kami rasai. Kami Tunduk dan berpasrah diri, agar terus Kau Perjalankan kami untuk belajar mencintai-Mu dan Muhammad-Mu dalam kesadaran, dalam kemurnian, dalam keindahan Subbuhun Quddusun Robbuna Wa Robbul Malaikati warRuh.

***
Sekarang pikirkan kata “Keluarga”. Lima, Empat, Tiga, Dua, Satu. Oke cukup. Apa maknanya? Bagaimana kita menjiwainya? Apa yang bisa kita munculkan dari satu kata tersebut? Atau hanya keterasingan yang muncul, blank, nothing, embuh? Atau lebih tragis lagi, hanya ingatan-ingatan tentang konflik yang hadir, sampai adegan-adegan berantem kita dengan orang tua, suami dengan istri, kakak dengan adiknya, atau episode-episode sinetron konyol keluarga dan FTV Adzab juga terlintas dalam ingatan kita? Baik, kita kesampingkan dulu hidangan utama sinau bareng kita itu, untuk nanti. Nanti kapan? Brisik, biar diperjalankan saja. Nderek Gusti Allah sama Kanjeng Rosul saja udah. 

***
Syahdan, kepada hati sendiri saja kita sulit mengenali, belum dengan sesuatu di luar diri. Baik apa yang ia bisikan, firasati, cerminkan, atau entah penyakit dan kebusukan apa yang bersemayam di dalamnya tidak pernah kita waspadai. Itu berlangsung berhari-hari, berlarut-larut, dari satu peristiwa menuju seratus peristiwa lainnya, hingga umur berganti namun tetap saja masih sering kita abaikan, tak pernah ada silah komunikasi to rohiym untuk merekat-mengakurkannya.

Yang mawas berbahagia, yang lalai semakin merajalela. Bergembiralah mereka yang dipertemukan kesejatian akhirat, dan sedih prihatin bagi yang mengcover/kufur/tutup diri dari cinta dan kebaikan. Ia yang mengabaikan semakin kebas, pekat, lalu hilang kemurnian hatinya. Entahlah, sudah sedari kapan manusia semakin jauh dari hakiki penciptaannya. Terlebih di zaman yang semakin tak kenal dengan martabat, rasa malu, kedaulatan, atau kerja keras, semuanya semakin menjadi-jadi, tinggal ke-Aku-an yang terlalu di besar-besarkan, tanpa sadar konsekwensi yang mengikuti untuk di tanggungnya. Dan hal tersebut terus mewabah atas diri individu, keluarga, koloni, komunal, ummat, masyarakat, bangsa hingga hampir menjangkit ke seluruh penduduk dunia. 

***
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap a’izzah terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (554)

***
No, no, no, jangan bertanya kenapa ayat tersebut di munculkan di tulisan ini tanpa penjelasan tertulisnya juga, atau menanyakan secara tertulis perbedaan “Alladziyna” dengan “Man”, atau kenapa ayat tersebut menggunakan عَنْ دِينِهِ bukan “min diynihi”, atau “Ya’tillaahu biqoumin”  (Allah akan mendatangkan suatu kaum) bukan “Ya’ti qoumun,” (akan datang suatu kaum), jangan. Karena Al Qur’an tetaplah Al Qur’an tanpa itu di munculkan di muqodimmah ini, dan ayat 5:54 itu tetap istimewa tanpa kita semua ada untuk menjelaskannya. Pun, pengetahuan Mbah Nahar, Yi Fahmi di kali seribu sedulur maiyah di dunia tidak akan bisa menyamai kekuatan satu huruf Al Qur’an. Show Your Respect! Dan kejarlah dengan cinta saja.

Tapi bertanyalah kepada diri kita sendiri ; Siapakah diantara kita semua yang sudah menjadi seorang  pendamai tanpa pamrih, pendengar yang baik tanpa mengadili, penyemangat di kala semua berantakan, penggembira di saat suram, pengakur bagi yang berserakan, pemersatu bagi yang terpecah-belah,  pejalan yang memilih tidak menambah-nambah masalah dengan mengerti perasaan orang lain, atau penempuh jalan istiqomah di waktu yang lain pergi dan seterusnya?

Atau jangan-jangan kita menganggap diri kita terlalu spesial/istimewa, sehingga menganggap kebenaran adalah “Aku” , dan memandang  lainnya sebagai makhluk yang  bodoh, tidak paham, keliru, salah, lemot, bebal, kolot, sesat? Bukankah ini yang terjadi hari ini? Kita semakin asing dengan bangsa kita, ummah kita, tetangga kita, bahkan asing dengan keluarga kita sendiri. Berapa banyak anak laki-laki yang menghipnotis dirinya sendiri bahwa dia lebih paham dan lebih unggul ketimbang orang tuanya, atau anak perempuan yang semakin mengimani kecantikan adalah kegiatan yang harus dipamer-pamerkan, atau suami-isteri yang selalu berebut kebenaran Tuhan dengan meributkan hak-hak dan kewajiban? Terus mensiklus membentuk peradaban pemalas dan mudah menuding-nuding orang lain dengan tabiat “Kamu harus A, harus B, harus C dan seterusnya.” bukan malah merasa mawas dan malu menyadari “Harusnya aku A, baiknya aku B, indahnya aku C”. 

Inikah wajah kita hari ini? Masihkah kita memiliki huma untuk “pulang”, atau hari ini, sebidang tanah dan sebangun tempat yang di sebut rumah itu tak berbeda dengan terminal untuk singgah dan pergi? Semua menjadi fals, sumbang, annoying, tak berlagu. 

Fraktalnya, semua orang menikmati musik, entah yang etnic atau modern, yang tabuh macam rebana atau gesek seperti biola. Namun, dalam urip, dalam hidup, kita seolah kehilangan ritme, partitur, kepekaan, kenikmatan, kepercayaan untuk menerima kebaikan agar diperjalankan sanggup menyusun nada-nada peristiwa hidup itu menjadi sebuah harmoni, simfoni, Lagu. Menjadi sebuah orchestra semesta bernama laguning urip. Come On!!! Cuaca apa yang sebenarnya mengungkung kita setiap harinya?

Baiklah, Baiklah, ini yang terakhir ; jika iya Allah memang sedang mendatangkan suatu kaum yang baru untuk menggantikan kaum yang lama, kita ini, menjadi bagian yang menggantikan, atau yang digantikan?