Senin, 13 Juli 2020

A Million Light Years Search of Truth




Reportase Poci Maiyah Juni 2020
Oleh: Lingkar Gagang Poci

If a heart is filled with heart, if will guide you the truth.” — Ibnu Arabi

Sudah berapa lama waktu tak mempertemukan kita? Sepekan? Dua pekan? Satu, dua, tiga bulan? Memang, kita sudah lama tidak berkumpul untuk maiyahan seperti bulan-bulan biasanya. Pandemi corona tidak memungkinkan bersua. Demi menjaga keselamatan bersama, masyarakat diharuskan mengikuti protokol yang telah ditetapkan pemerintah. Pun sesuai dengan pernyataan Mbah Nun bahwa setiap simpul maiyah akan mengikuti himbauan pemerintah selagi itu untuk kebaikan banyak bersama. Namun apakah para jama’ah maiyah hanya diam saja? Menanti datangnya kembali hari yang cerah untuk bisa maiyahan?

Tidak demikian, jama’ah maiyah telah terlatih akal dan kesiapan mentalnnya untuk menghadapi perubahan. Mereka segara berinisiatif untuk melangsungkan maiyahan virtual yang dilangsukan secara online. Masing-masing orang menempatkan diri sesuai fadilahnya. Ada yang bertugas mencarikan tempat untuk live streaming, mengatur jaringan internet, sebagai operator dan kameramen, menyeting sound dan mempersiapkan microphone. Tak tertinggal juga rencang pawon yang selalu setia menyeduhkan kopi. Dengan begitu organisme dari jama’ah maiyah benar-benar membangun ekosistem yang sesuai dengan ketetapan-Nya. Sebagaimana hadist Nabi “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu”. Jama’ah maiyah malam itu benar-benar dituntun untuk bisa mengenal dirinya sehingga bisa menepatkan diri sesuai dengan posisinya. Tuhan memperjalankan mereka untuk menyelami makna hadis Nabi agar pemahaman mereka benar-benar haqqul yakin. Sebab kebenaran sejati ada pada pengalaman bukan dalam pikiran.

Waktu pun menjadi saksi temu. Meski hanya lewat layar kaca, kebahagiaan berjumpa akan selalu ada. Maiyahan virtual pun akhirnya dimulai secara online pada streaming facebook. Yi Fahmi dan Mbah Nahar memulai pembasahan terutama mengeni salah satu tulisan Mas Sabrang yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan bahkan sampai membuat Buya Syakur memanggilnya untuk berdiskusi di chanel youtube. Tulisan Mas Sabrang itu yakni berjudul “Mempertanyakan Kebenaran Real World Science dan Pengkhianatan Matematika.” Sebuah tulisan yang menjabarkan bahwasanya sains tidak pernah benar-benar mengungkap kebenaran sejati. Mas Sabrang mengatakan sebagai real world, bahkan dengan tegasnya Mas Sabrang menulis, “Sepemahaman saya, Sains tidak pernah menawarkan kebenaran real world. Apalagi bertugas mencari hakikat kenyataannya. Hal yang dihasilkan Sains adalah narrative reality. Dia menciptakan model realitas. Tapi korelasi one-on-one antara pengetahuan yang ditawarkan Sains dengan real world tak bisa dijamin ada.  Begitu pula dengan kebenarannya. Sains bahkan tak mampu menjamin konsistensi dirinya. Kesimpulan itu semua, menurut model Sains sendiri.”

Di Poci Maiyah sendiri kita telah belajar untuk mentadaburi René Descartes dan al-Ghazali yang menawarkan pemahaman akan kebenaran. René Descartes menyatakan bahwa, “Cogito ergo sum” yang artinya, “Aku berfikir maka aku ada.Kebenaran yang ditawarkan René Descartes adalah kebenaran berdasarkan pikiran. Ketika seseorang berpikir, maka kebenaran itu ada padanya. Namun pada kenyataannya kebenaran yang dimiliki manusia hanyalah kebenaran sementara yang bisa terbantahkan. Segala sesuatu yang kita anggap benar melalui pikiran, tidak tentu benar di realita. Contohnya dahulu orang-orang memercayai jika bumi itu datar berbentuk piringan. Namun berjalannya zaman kebenaran akan bumi datar dibantahkan dengan kenyataan bahwa dunia itu bulat. Bahkan bulatnya bumi pun bisa terbantahkan lagi atau makin berkembang kebenarannya.

Bahkan di zaman ini manusia sudah mulai menghitung berapa diameter bumi, namun bisakah manusia menghiting diameter bumi tersebut secara presisi? Sampai pada satuan angka terkecil berupa yektometer bahkan mungkin ada satuan terkecil lagi setelah itu. Sebagaimana yang pernah Ricard Dawkins tuliskan pada bukunya yang berjudul The Magic of Reality, “Atom-atom selalu ada dari dulu, namun belum lama ini kita mengetahui keberadaan atom dengan pasti, dan mungkin keturunan kita akan mengetahui jauh lebih banyak hal yang kini belum kita ketahui. Itulah ajaib dan serunya sains: sains terus-menerus menyingkapkan hal-hal baru. Ini tidak berarti kita harus mempercayai apa saja yang mungkin dikhayalkan manusia: ada jutaan hal yang bisa kita bayangkan namun kecil sekali kemungkinannya nyata—peri dan hobgoblin, leprechaun dan hippogrif. Kita harus selalu berpikiran terbuka, namun satu-satunya alasan bagus untuk mempercayai bahwa sesuatu itu ada adalah bila ditemukan bukti nyata mengenai keberadaannya.” Seorang astronom sekaligus penulis sains popular terkenal Carl Sagan menyatakan bahwasanya kita hanya mengetahui beberapa, sains tidak akan pernah bisa mengungkapkan semua kebenaran yang ada di alam semesta. Pembahasan akan ranah kebenaran jika ditarik ulur akan panjang dan akan menuai benang merahnya jika digabungkan dari beberapa disiplin ilmu salah satunya adalah filsafat.

Suatu hari Plato pernah ditanya oleh para muridnya tentang, “Apa itu manusia?” lalu ia menjawab, “Manusia adalah mahluk hidup berkaki dua dan yang berbulu.” atau bahasa kerennya : featherless biped, namun filsuf lain bernama Diogones datang membawa ayam yang telah dicabuti bulunya dan berkata, “Inilah manusia, mahluk berkaki dua yang tak berbulu.” Hingga lebih dari 2.200 tahun pemikiran tentang manusia terus dikembangkan hingga sampai kepada profesor asal Jerman bernama Martin Heiddegger yang mengubah pemikiran tentang manusia yang menggunakan sudut pandang luar (outsider) menjadi menggunakan sudut pandang diri sendiri sebagai manusia (insider). Namun pembahasan tentang manusia tidak akan benar-benar pasti mencapai titik kebenaran akhir. Hal ini diperkuat oleh pernyatan Imanuel Kant bahwasanya tidak ada manusia yang memandang segala sesuatu dengan apa adanya. Manusia selalu menggunakan perspektif dalam memang sesuatu. Ia menyebut perbedaan antara ‘Sesuatu apa adanya’ dan ‘Sesuatu menurutku.’ Menurutnya sesuatu apa adanya tidak pernah kita temukan. Segala sesuatu yang kita pandang selalu sesuatu menurutku, setauku, sengertiku, sekarepku! Semua orang selalu menggunakan perspektif dalam memaknai sesuatu, lalu Wa ma huwa perspektif? Bagaimana kita bisa mendapat kebenaran jika semua orang memiliki perspektif yang berbeda-beda?

Angin mulai menyejuk dingin. Matahari yang jatuh, kian mengheningkan pandang mereka yang menitipkan senja pada mata. Menitip mata kepada senja. Membiarkan langit, menjadi kertas kado terindahnya. Sebelum membahas kepada pernyataan al-Ghazali, ada sebuah kisah dari seorang tokoh sufi Suhrahwardi al-Maqtul. Pencetus filsafat cahaya (Filsafat Illuminasi), jadi dulu ia membaca buku-buku filsafat paripatetik. Sebuah ilmu filsafat yang lebih memfokuskan logika rasio untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia malah menjadi sumpek, bingung dan tak paham dengan buku yang ia baca. Dari kesumpekannya memahami isi buku tersebut, tak sengaja ia tertidur.

Dalam tidurnya ia bermimpi salah satu tokoh filsafat paropatetik besar dunia, bapaknya ilmu logika ialah Aristoteles. Ia bertanya pada Aristoteles, “Hay Aristoteles, aku bingung apa yang tentang kebenaran ilmu pengetahuan?” Namun Aristoteles malah menjawab, “Tanyakan itu pada dirimu sendiri.” Setelah itu ia terbangun, berfikir berulangkali tentang apa maksud dari mimpinya hingga ia menemukan bahwasanya kebenaran sejati adalah kebenaran yang masuk kedalam bukan kebenaran yang keluar. Maksudnya kebenaran sejati adalah kebenaran yang kita alami sendiri, hal ini disebut dengan beragam sebutan, yaitu, al-ru’yah al-mubashirah, pengalaman langsung, al-‘ilm al-khuduri, preverbal knowledge, kas’yaf, laduni dan lain-lain.

Jika dikaitan dengan pernyataan al-Ghazali, pernyataan dari René Descartes itu terbantah. Al-Ghazali menyatakan, “Aku mengalami maka aku ada.” Karena pengalaman adalah satu-satunya dasar terpenting dari pengetahuan. Tanpa pengalaman, kebenaran tidak bisa diakui sebagai kebenaran. Kesaksian akan pengalaman adalah bukti nyata suatu pengetahuan. Meskipun pengalaman manusia hanya bisa menjangkau setetes air dari luasnya samudera kebenaran. Oleh sebab itu, manusia harus memberi ruang besar bagi keyakinan dalam dirinya. Karena ada terlalu banyak hal yang tidak kita ketahui secara pasti, agama adalah satu-satunya yang menawarkan keyakinan sebagai suatu jalan untuk menuju kebenaran. Kebenaran yang sejati, Cahaya Maha Cahaya yang akan membuka takbir alam semesta.

Kalau kata Gus Luay, “Daripada energimu habis untuk mencari kebenaran alangkah baiknya kamu menggunakan energimu untuk berbuat kebaikan.