Jumat, 06 November 2020

MBATIN





Mukadimah Poci Maiyah November 2020

Oleh : Lingkar Gagang Poci

 

“Kemanapun aku pergi, kubiarkan ruhaniku digembalai oleh Nabi. Muhammad adalah pengembalaku. Tubuh dan ruh ini hanyalah domba yang akan Ia hantarkan ke hadirat Yang Kuasa.”

 

 

Nyong wis mbatin, bakalen kaya kiye. Pernahkan kita membatin begitu?

Bolehkah manusia berprasangka? Memprediksi apa yang akan terjadi, lalu akhirnya membuat diri sendiri merasa kecewa? Bolehkah menyesali sesuatu yang telah terjadi, padahal itulah takdir Allah yang memang kita pilih? Jadi, kita yang menentukan takdir, atau memilihnya?

Nyong wis mbatin. Apa yang menjadikan manusia merasa mampu menggenggam masa depan? Sedangkan semenit ke depan kita masih hidup atau tidak sebenarnya di luar kendali kita?

Indera manusia didesain hanya untuk mengumpulkan data. Pikiran, akal, yang tidak terlalu penting, lama-lama memperdebatkan definisinya—adalah alat untuk mengolah data itu. Jika di dalam pikiranmu terjadi rasan-rasan, pertimbangan, pertempuran argumentasi, itu tandanya sedang terjadi proses olah data. Namun hati, tetap menjadi sang pengambil keputusan. Nafsu adalah budak, akal adalah perdana menteri, dan hati adalah rajanya. Jika seseorang sudah gagal dari dalam pikirannya, maka kenyataan hidupnya pun tak akan jauh dari itu. Rasan-rasan yang orang lakukan, entah itu di dalam diri sendiri atau bahkan bersama orang lain, selama akal tak benar memproses data inderanya, maka hasilnya adalah prasangka, dzon, yang seringkali justru membuatnya kecewa.

Manusia membuat ukuran-ukuran kehidupannya sendiri, lalu ketika itu membuatnya kecewa, mereka menyalahkan Tuhan. Manusia menciptakan ketakutan-ketakutannya sendiri. Membayangkan khayalan-khayalan sendiri. Menjatuhkan diri dalam jurang keputusasaan. Pesimis, lalu mengobatinya sendiri dengan keoptimisan—keberanian melawan pikirannya sendiri. Manusia menciptakan musuh, yang nantinya dia kalahkan sendiri. Hidup kok (kelihatan) repot begitu ya. Nyong wis mbatin.

Ketika Abdul Muthalib, kakek nabi tercinta, Muhammad sholallahu alaihi wa salam, mendatangi Abrahah untuk meminta kambing-kambing yang dirampas, apakah ia membatin, memprediksi apa yang akan terjadi? Hingga Abrahah heran, mengapa orang se-terhormat beliau tidak memintanya agar jangan menyerang Ka'bah, melainkan, seakan lebih penting kambing-kambing itu daripada rumah Tuhan.

Ketika Sang Nabi tercinta dipanggil Abu Lahab, saat pura-pura sakit, apakah hati beliau membatin? Sekalipun Jibril sudah mengingatkan bahwa itu adalah jebakan, agar tak jadi mendatanginya? Di kisah lain, apakah Rasulullah membatin, ketika Umar bin Khottob menyatakan masuk islam: jangan-jangan itu hanya rekayasa? Ketika disajikan daging kaki kambing setelah penaklukan Khaibar, melawan para yahudi yang keras kepala?Apakah Rasulullah membatin, dalam daging itu telah ditaburi racun? Yaamuqolibalqulb tsabitqolbi ala dinnika. Prasangka lahir dari ketiadaan ilmu yang memadai, keterburu-buruan pikiran memutuskan, lalu menjadi kesimpulan yang final, dan rasa cukup untuk tidak mengoreksi apa yang pernah dipikirkannya itu. Sedangkan, bahkan sinau bareng seperti ini pun bukan untuk mencari kesimpulan yang final, harga mati, melainkan terus belajar dan berani untuk mengubah apa-apa yang kemarin kita pahami sebagai 'kebenaran'. Dan hati Rasulullah, layamasuhuillalmuthoharun, hati yang suci. Ia mampu menembus sidratul muntaha, yang bahkan Jibril tak mampu sekadar menatap gerbangnya.

Hati yang telah kholas, selesai dengan keruwetan dunia. Hati yang telah total menundukan akal dan nafsu. Hati yang damai, tak ada pertentangan lagi di dalamnya. Tidak ada lagi rasan-rasan tentang sesuatu tanpa ilmu yang jelas. Hati yang suci, tidak terikat pada apapun selain Tuhan. Karena di akhirat nanti, tak ada harta atau anak yang mampu menyelamatkan manusia, selain hati yang damai—yang telah selesai urusannya terhadap segala apapun kompetisi keduniaan. Illa manataallahabiqolbin salim. Dunia ini milik-Nya, mengapa manusia repot memikirkannya? Surga tak dapat dimasuki tanpa syafaat sang Nabi, mengapa manusia merasa mampu menguasai?

Jadi, apa yang menjadikan manusia membatin? Apakah sebuah keburukan jika terlalu banyak membatin?Dalam presisi yang bagaimana membatin itu dibutuhkan?

Nyong wis mbatin akan sampai pada pertanyaan itu.

Kerap kali manusia memang suka mbatin akan keadaan yang dialaminya. Terutama pada keadaan yang mengganggu urusannya.Seakan-akan ia tak menerima keadaan tersebut secara apa adanya sehingga pikiran mereka menjangkau masa depan. Mencoba menghindari masa sekarang, membayangkan dunia yang lebih baik dan menyenangkan. Namun, mereka sendiri lupa untuk menikmati hidup di masa sekarang. Banyak orang yang mampu memikirkan hidup di masa depan. Namun sedikit orang yang mampu menjalani hidup di masa sekarang.

Apalagi di masa pandemi saat ini, orang-orang mulai putus asa dan kehilangan harapan. Hatinya dipenuhi kecemasan dan ketakukan. Mbatin mereka tak jauh-jauh dari prasangka buruk. Keadaan lingkungan sekitar memang sangat memengaruhi kondisi batin seseorang. Jika lingkungannya dalam keadaan buruk, seseorang tersebut akan mbatin yang buruk-buruk begitu pula sebaliknya. Kita perlu menciptakan lingkungan yang baik, agar kondisi batin kita juga ikut baik.

Dunia sedang mengalami hardreset besar-besaran seperti pasca air bah di zaman Nabi Nuh. Di tengah wabah virus ini manusia diberi tiga pilihan pertama. Diam sekadar mbatin saja untuk menerima keadaan. Kedua, meninggalkan tempat yang telah tercemar virus agar terselamatkan. Ketiga, menerima segala sesuatu secara apa adanya dan berusaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik.

Jika memiliki cinta kepada tanah kelahiran kita, maka yang dipilih adalah pilihan ketiga. Adanya penderitaan atau suatu masalah, merupakan suatu peluang untuk seseorang berjuang melakukan perubahan. Hanya saja untuk mengubah kehidupan kita tak bisa melakukannya hanya dengan mbatin saja, meskipun mbatin merupakan awal dari segala penciptaan. Ketika seseorang mbatin, maka ia akan berniat dengan kata-kata sebagai perantara. Niat adalah awal dari segala tindakan, dan kata-kata merupakan awal dari segala penciptaan. Ketika Allah berkata kunfayakun, maka alam semesta mulai tercipta.

Orang-orang yang telah selesai dengan dirinya, harus segera memenuhi tanggung jawabnya sebagai pengelola alam semesta (kholifatulfilardh). Jangan hanya berhenti pada ketenangan hati. Ketenangan hati bisa menjadi semacam egoisme untuk memertahankan kebahagiaan sendiri tanpa memerdulikan kebahagiaan orang lain. Ketika Nabi Muhammad miraj ke atas langit menemui Tuhannya. Ia tak melepaskan seluruh tanggung jawabnya sebagai Nabi di dunia, padahal dirinya telah bertemu dengan Allah. Menyaksikan langsung kehadiran-Nya. Saat kita telah melihat Tuhan, maka adakah keinginan lain yang ingin kita wujudkan? Pertemuan dengan Tuhan adalah puncak dari segala pencapaian, hingga ada seorang sufi besar berkata “Andaikan aku yang miraj ke sana dan bertemu dengan Allah, pastilah aku akan menetap di sana dan tidak akan kembali lagi di dunia”. Nabi Muhammad memilih untuk kembali ke dunia, karena rasa belas kasihannya kepada umat manusia. Ia tak mementingkan dirinya sendiri agar terselamatkan dari kehidupan dunia dan akhirat. Ia turun kembali ke dunia sebagai seorang penyelamat. Manempatkan dirinya sebagai seorang sahabat yang selalu ada menemani sepanjang perjalanan umatnya. Nabi Muhammad selalu memerhatikan kita dan kasih sayangnya selalu tercurah sebanyak curahan shalawat yang dilantunkan padanya.

Kaum muslimin bagaikan satu tubuh. Apabila dalam tubuh tersebut ada bagian yang sedang sakit, maka sakitlah semuanya. Kita selalu terikat dengan cinta dan kasih sayang. Kebebasan yang kita nikmati sendiri, akan terasa sepi. Kita perlu merajut hati orang-orang mukmin untuk melangkah bersama di kehidupan dunia menuju akhirat. Hati manusia selalu terhubung satu sama lain. Namun, seringkali pertalian itu terputus karena kita lebih memilih untuk berjuang sendiri-sendiri dan sibuk dengan urusan masing-masing. Jika terus begitu maka kehidupan dunia rasanya akan sama seperti kehidupan akhirat. Dimana orang-orang telah sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak bisa meyelamatkan orang lain. Padahal suatu hari nanti di surga, kita akan membangun negeri bersama. Seorang anak yang telah masuk surga, akan memanggil-manggil ayah dan ibunya. Jika ternyata di surga tidak ada, maka ia akan mencarinya di neraka. Apabila ia menemuinya di neraka, ia akan mengajaknya masuk ke surga dan berdoa kepada Tuhan melalui perantara Nabi Muhammad agar diwujudkan permintaannya. Surga terlalu luas untuk dinikmati sendirian. Hidup adalah kebersamaan. Kesendirian adalahkematian yang sesungguhnya. Sudahkah kita mbatin akan hal ini? Jangan sampai nanti kalian kesepian ketika masuk surga dan mbatin “Lho kok disurga sepi, terus gimana aku bisa menikmatinya kalau hidup sendiran tanpa seorang teman?”

Nyong ora pengin mbatin kaya kuwe...

Meskipun kemungkinan hal tersebut tidak akan terjadi, karena proses masuknya kaum muslim ke surga akan lebih dulu melalui syafaat Nabi. Pada saat Nabi sedang mensyafaati, bukankah saat itu kita sedang berkumpul bersama? Menunggu waktu untuk membuka pintu surga bersama orang-orang tercinta. Akhir kehidupan adalah kebersamaan (maiyah) maka jangan berjalan sendirian!