Rabu, 03 Februari 2021

4MEMUJI



Mukadimah Poci Maiyah Februari 2021

Oleh:  Moh. Azam Khoeruman

 

Membela hak yang lemah adalah kebenaran tapi besar merasa akan pembelaan adalah kelemahan.

 

Manusia lahir dari ketidaktahuan menjadi tahu. Ketidakberdayaan menjadi berdaya. Dalam sisi lain, manusia berjalan pada ritme masing-masing. Menggali konsep ideal yang melingkari dalam pemikirannya. Setiap sisi memiliki multi tafsir dan keberagaman bahasa. Di sanalah puncak manusia beradaptasi. Saling bersilaturahmi agar senantiasa terjadi kepekaan yang tajam. Hulu-hilir yang terjadi pada situasi pandemi, kurang lebih satu tahun ini menjadi bingkai baru. Artinya, perlu adanya refleksi diri dalam meneliti kembali pada hembusan makna-makna yang selama ini tak disapa dan tersentuh. Yah, kembali kepada rumah berhati. Rumah yang sejuk untuk didiami. Rumah yang memiliki ketepatan beristirahat. Di sinilah awal pertemuan dengan amemuji. Rasa syukur yang patut dirasakan dalam kebersamaan dan teliti dalam diri.

Pada setiap puisi, ada bunyi yang melahirkan ekspresi. Tak terkira seberapa lama kita memertahankan pertanyaan-pertanyaan dan melakukan uji studi sebuah jawaban. Padahal terkadang keduanya merasuk pada langkah perjalanan. Baik secara sadar maupun tidak, lupa atau ingat. Terkadang juga terlalu berputar balik pada sesuatu yang membuat kita tak lagi percaya diri hanya karena beberapa efek samping luar semata. Padahal kita sendiri tahu betul, dunia mana yang tidak salah? Dunia mana yang tidak hina? Atau sebaliknya, dunia mana yang tidak benar? Dan dunia mana yang tidak baik? Benturan memang diperlukan tapi apakah benturan akan menjadi gesekan yang memunculkan api dan mendinginkan pikiran? Atau justru membakar jiwa sampai kita tak lagi merasakan apa-apa?

Ingsun amemuji asma ing Allah: Tak ada hal yang kutahu selain keterbatasan diri atau batasan-batasan yang ditemukan dari kebebasan. Aku terselimuti ruang dan waktu, bagai panah tak terkendali. Arah mana yang ditujui atau dari mana asal muasal diri. Dalam sepi kurapalkan nama Sang Maha, dalam hening kuajak suara duduk bersua, dalam sunyi kuajak hati menerima, dan dalam keramaian kusaksikan ketidakberdayaan diri dalam segala urusan. Muncul lah sebuah pertanyaan, apa yang membedakan antara melarikan diri dalam kesendirian karena tak bertanggung jawab akan sesuatu dan diamnya manusia yang refleksi dalam upaya mencari beberapa solusi-solusi yang dimantapkan hati? Ciri dan identifikasinya seperti apa? Yah, pastinya ini semua tidak untuk meramal sesama tapi agar lebih berwaspada dari nafsu diri. Mungkin hal ini akan jadi awal kalimat sedulur membersamai dalam tanpa meninggalkan kerendah-hatian.

Kang welas ing dunya, asih ing akhirat: Dalam arus kehidupan yang keras dan lunak ini, fenomena-fenomena yang tak kurang lebih dan beberapa sifat yang ditemui, tidak lain karena sifat Tuhan selalu memberi dalam pancaran kasih dan sayangnya. Terlepas dari bahasa dan makna. Keyakinan seorang penerima dari Tuan-nya tak akan pudar. Karena tak mungkin kebencian dan kegelapan menjadi penghalang sifat kasih sayang Tuhannya. Kesadaran akan keberlangsungan Tuhan yang tak henti-henti dalam memberi, pastinya tidak gampang kita atas namakan untuk diri sendiri. Karena Tuhan tidak etis diperlakukan untuk kepentingan belaka, tanpa pengecualian. Lalu bagaimana cara kita membedakan atau merasakan getaran panggilan-Nya agar tersadar dan mau menerima segala yang ditakdir-Nya? Apa yang ditanamkan para kekasih-Nya agar kita memiliki bekal dan harapan? Dan pastinya sedulur-sedulur akan meresponnya. Enggak fair dong kalau asupan Tuhan hanya untuk beberapa saja? Katanya menyeluruh? Mari bincangkan dengan kelapangan.

Sembah sujud kulo mugi paring rido: Pandemi ini (mungkin) membuat beberapa dari kita tidak lagi mengenal bahasa bersama maknanya. Tidak mengenal mana yang murni bersama hikmahnya. Entah karena kahanannya memang sedang digodog agar kita matang dan tanek. Entahlah, karena memang tidak ada sesuatu yang membuatku merasa memiliki. Dari kesemua itu tidak lain pemberian semata. Tidak ada hal yang kutemui kecuali manusia yang sedang mencari rido Tuhannya. Atau tidak ada bahasa lagi pemaknaanku tentang bagaimana Tuhan memberikan haknya kepada makhluknya. Terbantah oleh ratusan kejadian dan membumi pada setiap hakikatnya. Namun, ini semua tidak membuat diri ini terpedaya pada logika sinonim. Artinya menyamakan sesuatu yang berbeda, dimana tidak lagi adanya interaksi penyambung rasa antar sesama agar sinau bareng lagi. Dan dalam logika sinonim, seperti halnya dua orang menceritakan tentang pengalamannya secara bersamaan atau melapalkan Tuhan secara bersamaan tapi telinga kita lebih setuju pada salah satu dari mereka? Apakah ini tentang rasa atau ini juga ini tergantung pola serap pendengaran kita? Atau karena kita tahu beberapa aplikatif dari keduanya? Sebenarnya, seberapa berhak kita manafsirkan sesuatu dan bagaimana cara kita merefleksikannya pada kehidupan? Memang hidup ini terkadang seperti layang-layang yang perlu ditekuk agar hembusan angin tidak membuat kita goyah dan tetap stabil dalam melayangnya. Pastinya dalam arus pandemi ini, dulur-dulur menemukan hikayat kehidupan yang telah dilaluinya. Bagaimana mungkin saya tahu, sedangkan puzzle-puzzle tersebut ada pada kalian? Mari kita bincangkan dengan kejujuran. Karena setahu saya manusia sangat sigap dalam respon pembacaan di luar dirinya dan menyinergikan apa yang telah ditemuinya, agar kita saling mengingatkan dalam kebaikan. Menempatkan sesuatu pada haknya.

Katahe duso nyuwun pangapuro: Pada setiap lembaran terdapat kecacatan. Pada setiap takdir terselimuti keniscayaan. Sedang rembulan menemani pada setiap rintik do’a. Matahari menerangi jiwa yang mulia. Tuhan bersemayaman di mana-mana. Gunakanlah akal sehat dan hati legawa dalam memaknainya, karena terperinci belum tentu kau mengenalnya. Bukankah kamu lebih tau Dia apa dan siapa di balik wujudmu? Dengarkanlah bunyi pada setiap malam yang disampaikan gelap kepada fajar. Jangan kau lakukan yang membuat dirimu ragu dan lakukan apa yang bisa kau lakukan bersama peniadaan pencarian.

 “Ada apa gerangan? Kenapa kau tundukkan kepala sambil menyembunyikan lebam kedua matamu?” Tanya ro’sun. “Aku tak tahu, benar-benar tak tahu. Adakah hal yang lebih jujur daripada kesunyian? Adakah sesuatu yang menghangatkan ruang dan waktu kecuali cahaya? Adakah ruang yang membuatku tidak menceritakan kelemahan pada Sang Maha? Adakah dimensi yang lebih indah daripada berdo’a? Dan apakah di zaman ini tidak diperbolehkan mempelajari kehidupan Rosul Muhammad sebagaimana aku melihat sosok penerusnya yang selalu optimal dan membumi dalam membersamai? Apakah harus kusimpan dalam-dalam nikmat bersholawat sedangkan air mata berhak untuk mengungkapkanya? lanjutnya.Tak benar kau seperti itu, segala sesuatu yang bersifat kejujuran tak boleh kau selingkuhi hanya pada hening dan terpendam pada diri sendiri saja. Keluarkan saja… Bukankah itu semua tak pernah kau kira? Bincangan mesra antara dirimu dan sesuatu yang membuatmu rindu itu?  Karena saat kau mengekspresikannya, beberapa  kemungkinan akan menghampiri dan menumbuhkan rasa rindumu pada siapa yang sejati dan apa yang sebenarnya kita harus juga wajar dilakukan,” respon shudrun. “Baiklah, Maukah malam ini, dulur-dulur mendendangkan nada syair yang populer? Pinta ro’sun . “Apa itu?” tanya Shodrun. “Syair I’tirof yang dikenal dari Abu Nawas.”