Kamis, 04 November 2021

Al-Mutahabbina Fillah

 


Mukadimah Poci Maiyah November 2021

Oleh: Rizki Eka Kurniawan

 

 

Kami berlarian di sela-sela air hujan

Kami menari-nari di kebun-kebun rahasia

Di antara ruang dan waktu

 

— Emha Ainun Nadjib

 

*

 

Dalam setiap kesempatan, setiap kali kita bertemu, entah dalam gelaran Sinau Bareng Poci Maiyah, Mother (Maiyah on The Road) di rumah para pegiat ataupun Gubug Sholawat, pun saat kita bersama mensinauni kitab Matsnawi di Saung Rumi Institute.

 

Kita selalu sepakat jika tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Kita pun menyetujui bersama jika kebahagiaan sifatnya subjektif. Tidak terpengaruh oleh sesuatu di luar diri kita dan hanya bisa diperoleh dari dalam diri kita sendiri.

 

Tetapi, ada satu hal yang seringkali luput dari pembicaraan, diskusi, penalaran dan pemahaman kita terhadap kebahagiaan—sebagaimana hidup, kebahagiaan juga bertingkat-tingkat.

 

Selama ini, pembahasan kita terfokus pada kebahagian level individu yang sifatnya personal-subjektif, namun jarang sekali kita membahas kebahagiaan level sosial yang sifatnya sosio-objektif.

 

Kebahagiaan sosial ini pun masih bertingkat-tingkat lagi, mulai dari level al-Ijtima'  al-fadil (kebahagiaan level kelompok masyarakat), al-madinah al-fadilah (kebahagiaan level kota), al-ma'murah al-fadilah (kebahagiaan level negara) hingga seterusnya sampai pada kebahagiaan level dunia bahkan sampai pada kebahagiaan level alam semesta. Kebahagiaan tak akan pernah habis diproduksi oleh manusia, maka seharusnya, semakin besar jumlah kebahagiaan, semakin besar pula skala yang dijangkaunya.

 

Kebahagiaan level sosial tidak bisa kita peroleh dengan mengandalkan diri sendiri. Kebahagiaan level sosial hanya bisa dicapai dengan bantuan orang lain—kebahagiaan sosial ini akan menjadi sumber kebahagiaan bagi kebahagiaan individu, begitu juga sebaliknya. Tanpa kebahagiaan sosial, kebahagiaan individu tak akan sempurna dan tanpa kebahagiaan individu, kebahagiaan sosial tak akan pernah ada.

 

Keduanya saling terikat dan mempengaruhi satu sama lain. Jika ingin mendapatkan keduanya, kita perlu saling bekerja sama demi memperoleh kebahagiaan bersama. Salah satu jalan untuk bisa mewujudkannya adalah dengan membangun masyarakat al-mutahabbina fillah—masyarakat yang di dalamnya saling mencintai satu sama lain semata-mata karena Allah, mereka membangun ikatan tali persaudaraan bukan karena hubungan darah, kesamaan golongan ataupun motivasi untuk mendapatkan kekuasaan dan kesenangan dunia.

 

Masyarakat al-mutahabbina fillah adalah masyarakat yang berkesadaran meta—kesadaran untuk terus melampaui kehidupan. Diri mereka bagaikan pohon yang tumbuh di taman-taman spiritual; di mana ranting-ranting, dahan, dan buahnya menyebar ke berbagai tempat.

 

Keberadaan mereka tidak hanya diperuntukan untuk dunia spiritual, sebab mereka dianugerahi telapak kaki Nabi Khidir; di mana saat mereka berjalan, rerumputan hijau akan selalu tumbuh pada setiap jejak yang mereka tinggalkan.

 

Masyarakat al-mutahabbina fillah tak akan melupakan teman-temannya, sebab keringat, darah dan air mata mereka telah menyatu dalam medan pertempuran. Mereka adalah masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai solidaritas, altruisme dan berpegang teguh pada jama'ah, karena mereka sadar secara penuh bahwa sesungguhnya serigala hanya menerkam mangsa yang terpisah dari kumpulannya.

 

Tujuan masyarakat al-mutahabbina fillah adalah membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk perkembangan potensi yang dimiliki manusia; akal budi, rasa cinta dan daya kreatifitas.

 

Masyarakat al-mutahabbina fillah berkerja sama untuk membebaskan manusia dari keterasingan. Keteguhan hati mereka menuntunnya untuk selalu berjuang agar setiap manusia bisa mengenali dan mengembangkan seluruh potensi yang ia miliki.

 

Dalam relasi anatar sesama, masyarakat al-mutahabbina fillah tidak boleh menjadikan manusia lainnya sebagai alat untuk mecapai tujuannya sendiri. Dengan alasan apapun, tak ada seorang pun yang boleh menundukkan dirinya pada orang lain.  wa maaa adrooka mal-'aqobah, fakku roqobah (Jalan sukar adalah melepaskan perbudakan)

 

Mereka adalah masayakat yang wa tawaashou bish-shobri wa tawaashou bil-mar-hamah (saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang), selalu menjaga dan merawat persaudaraan fid-dunya wal-akhirah. Jiwa mereka terikat di alam keabadiaan dan masing-masing diri mereka adalah aku bagi yang lainnya.

 

*

 

Tangan kekuasaan Allah ada dalam bersatunya jama'ah

Saat seseorang menegakkan agama bersatu dalam jama'ah

Tak ada satu pun musuh yang bisa mengalahkan mereka.

 

Begitu pula saat seorang memadukan jama'ah pertolongan iman dan bisikan kebaikan malaikat

Saat menegaskan agama dalam dirinya niscaya tidak ada satu pun syaitan dari golongan jin dan manusia yang mampu menggoda dan menguasainya.