Jumat, 03 Desember 2021

Mengkhusyu’i Hamdalah



Mukadimah Poci Maiyah Desember 2021

Oleh: Rizki Eka Kurniawan

Cinta adalah yang terbaik ketika dicampur kesedihan. Di kota kami, kami tidak akan menyebutmu kekasih jika kau bisa menaklukan rasa sakit.

—Maulana Rumi

 

Tidak semua penderitaan itu tragis dan tak semua tangisan itu menyedihkan. Manusia butuh tekanan untuk bisa terus berkembang dan menemukan makna dalam hidupnya.


Tanpa tekanan, kita akan merasa bosan dan stagnan. Karena ketiadaan tekanan berarti sama halnya dengan ketiadaan tantangan (ujian) yang membuat semua hasrat, adrenalin, cita-cita, harapan dan semangat yang ada dalam diri kita menjadi padam.


Namun, kita sebagai manusia seringkali menolak ujian yang diberikan Tuhan. Kita lebih memilih “mencari aman” daripada harus menemukan “makna” dibalik ujian yang sedang dihadapi.


فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ 

"Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar." (QS. Al-Balad 90:11)

 

Padahal, setiap ujian diberikan tidak tanpa tujuan. Setiap ujian ditunjukan demi menaikan kualitas hidup diri kita.

 

Ada pun bila kamu merasa depresi, kesepian, takut dan cemas, itu terjadi karena kurangnya pengetahuan terhadap dirimu sendiri. Orang-orang yang telah mengenal dirinya sendiri tak akan pernah merasa bersedih hati, bahkan di setiap penderitaan yang mereka rasakan, mereka anggap sebagai rahmat Tuhan yang patut untuk disyukuri.

 

Ibn Hazm al-Andalusia Radhiyallahu Anhu berkata: “Telah aku lihat orang yang berjuang demi akhirat selalu diuji dengan nasib buruk namun dia tetap tegar; sebaliknya dia malah bergembira, sebab ujian yang tengah dihadapinya justru membangkitkan harapan, yang membantu dirinya dalam berjuang dan menetapkannya di jalan lurus menuju cita-citanya yang sejati.”

 

Al-Hallaj, seorang sufi terkenal dari kota Thur adalah saksi penyiksaan terkejam dalam sejarah peradaban Islam. Pengaruhnya yang besar dalam kehidupan politik dan sosial membuat dirinya berada dalam posisi yang berseberangan dengan kalangan penguasa.

 

Ajarannya yang kontroversi dijadikan dalih untuk memenjarakannya selama hampir sembilan tahun. Ia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Sebelum  dieksekusi ia dipukuli, dicambuk seribu kali, tubuhnya disayat-sayat dan dimutilasi, kemudian diikat dengan rantai di tiang gantungan.

 

Meskipun dengan keadaan yang telah berlumur darah, dengan tubuh dirantai di atas tiang gantungan, serta tangan dan kakinya yang telah lepas dari tubuhnya, Al-Hallaj tak kunjung meninggal, hingga esok harinya kepalanya dipenggal dan Al-Hallaj pun menghembuskan nafas terakhirnya.

 

Setelah ia meninggal, kepala Al-Hallaj di kirim ke Khurasan, tepat para pengikut setianya berada. Tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Abu jenazahnya diterbangkan di atas menara agar terbawa angin dan jatuh di aliran sungai Tigris.

 

Tapi, yang paling mengesankan dari kisah tragisnya adalah keberaniannya dalam menerima takdir. Al-Hallaj sebenarnya bisa saja pergi dari penjara, karena salah satu penjaga penjara adalah pengikutnya setianya. Tapi, ia menolak kesempatan untuk pergi meninggalkan penjara. Seluruh nafasnya telah ia pasrahkan kepada Yang Kuasa hingga tidak ada lagi kecemasan dan penderitaan yang ia rasa. Meskipun takdir telah berkata bahwa kematian telah ada di depan mata, dirinya tetap berbahagia.

 

Bahkan, sesaat sebelum Al-Hallaj menghembuskan nafas terakhirnya, raut wajahnya tidak menunjukan ketakutan sama sekali walaupun maut telah ada dihadapannya. Ia justru memperlihatkan wajah bahagia, dan bukannya membenci orang-orang yang telah memfitnah dan menghukumnya. Al-Hallaj malah mendo’akan mereka semua. Dalam do’anya yang begitu indah, bak puisi yang memikat hati Kekasih, Al-Hallaj berdo’a:

 

Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul.

 

Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu.

 

Oh Tuhan, ampuni dan kasihi mereka.

 

Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku.

 

Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari wajah-wajah mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini.

 

Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.

  

Kisah Al-Hallaj hanyalah contoh kecil dari banyaknya kisah-kisah tentang penderitaan yang dialami oleh para kekasih Allah, para Nabi dan para Auliya. Bilamana aku tuliskan semua derita orang-orang beriman yang menetapkan hatinya di jalan Tuhan. Maka sungguh, setiap tetes air mata mereka bagaikan lautan yang begitu luas dan memberikan tempat kehidupan bagi ikan-ikan dan terumbu karang. Aku tak akan bisa, dan tiada hentinya bila terus menuliskannya. Setiap tetes air mata dari kekasih menyimpan ribuan makna yang tersembunyi.

 

Di mukadimah ini saya hanya bisa berkata, jangan pernah mencoba untuk menaklukan kesedihan, karena semakin engkau melawan dirimu akan semakin kesakitan. Bagai orang yang meletakan duri di bawah ekor keledai, keledai tak tahu bagaimana caranya mengeluarkan duri itu. Semakin berusaha keledai mengeluarkan duri dengan lompatannya, hanya akan membuat duri menancap ke dalam. (Matsnawi, Kitab I, Bait 154 - 155)

 

Kesedihan datang bukan untuk dilawan, melainkan untuk diterima sebagai tamu kehidupan. Jika engkau telah mempunyai keberanian untuk menerima kesedihan. Seluruh penderitaanmu akan sirna. Air mata akan menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya. Sebab para kekasih Allah adalah orang-orang yang sering menangis, namun tidak pernah bersedih hati.

 

Saat penderitaan sina, rasa cemas dan takut akan meniada. Hatimu akan tenang, sehingga bisa kembali mengkhusyu’i kehidupan. Jiwamu akan menjadi seperti air yang tak bergeming, tiap tetesan akan terasa, gelombang kecil akan menyamudera.

 

Dan, pada saat itu, ucapkanlah Alhamdullah sebagai bentuk rasa syukurmu pada Tuhan. Maka engkau akan memperoleh kebaikan sebagaimana yang Dia katakan:


 اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗ وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِ نَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖ

“Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS. Luqman 31:12)

 

Al-Fatehah...

 

Kuningan, 2 Desember 2021 (22:30)