Selasa, 18 Januari 2022

CARA KAMI BAHAGIA

 

Reportase Poci Maiyah

7 Januari 2022

 

CARA KAMI BAHAGIA



Q : Kenal Poci Maiyah dari mana?

A : Dari tadi

 

 

Agaknya sangat kurang dan tidak lengkap, apabila prosesi Sinau Bareng Maiyah tidak memiliki momen ; dimana para pesinaunya bisa tertawa lepas dan saling cekikikan bersama. Bisa jadi, inilah wajah-wajah asli bangsa kita, bangsa Indonesia dalam menerjemahkan segala realita yang dialaminya.

Dan hampir semuanya, pada Sinau Bareng di manapun koordinatnya, orang-orang maiyah memang diajarkan dan dilatih untuk enteng menertawakan dunia. Seperti yang sudah gamblang diketahui oleh siapapun, bahwa sosok Cak Nun atau kerap dipanggil Mbah Nun, yang menjadi pusat awal lahirnya maiyah beserta atmosfir sinau barengnya, sangat pandai berkelakar dan mengangkat hati orang-orang maiyah untuk tertawa bersama dengan canda dan guyonnya.

Hal ini kerap mewarnai pula sinau bareng di Poci Maiyah, dimana pada 7 Januari 2022, Allah seakan telah mengangkat beban di hati lingkar paseduluran itu dengan tang-ting obrolannya yang penuh canda tawa. Seperti ketika salah satu jamaah ditanya ; “kenal poci maiyah dari mana?” dan yang ditanya spontan menjawab dengan wajah datarnya ; “dari tadi.”

Atau saat Kang Lu’ay merespon dengan berapi-apinya atas pemaparan Mas Didik yang menceritakan betapa manusia itu memang biangnya kerusakan dari kisah sebuah film.

“Lhoh? Kata siapa semua manusia itu jahat dan perusak? Nyatanya yang baik juga banyak kok.”

“Dan kata siapa tidak ada pejabat yang jujur dan tidak korupsi? Lhoh??”

“Memang tidak ada” gerrrlah seketika jamaah mendengarnya.

Atau pula saat Mas Ali Hamzah diperkenalkan oleh para Host kita, Mas Azzam dan Mas Ulum, yang sudah cukup piawai untuk meroasting siapa saja yang hadir ;

“Silahkan yang topi merah perkenalkan diri terlebih dulu. Ini dari Kalimantan ini” dan mas Ali Hamzah spontan menjadi panik ketika jamaah sebelahnya bertanya ; “Kalimantannya mana mas?”

“Bukan, bukan, saya bukan dari kalimantan. Nanti takutnya sampean nyari saya di kalimantan kan ga bakal ketemu!” pecah lagi tawa kita semua.

Tawa memiliki dimensi yang sama sekali lain di area society. Tawa bisa menjadi perekat, pengakrab, pemecah kebuntuan serta tolok ukur tingkat kemesraan di sebuah komunitas.

Namun, jika kita menelisik lebih dalam, tawa juga bisa menjadi senjata, bisa menjadi tameng, bisa menjadi pertahanan sempurna dalam menghadapai hiruk-pikuk keadaan perpolitikan bangsa ini. Sebagaimana yang pernah di bacakan Mba Nana (Najwa Sihab.red) pada tayangan Politik Jenakanya ;

Karena tawa berwatak anti-tatanan,

dengan tawa batas-batas dan peraturan bisa dilumerkan

Jika penguasa terobsesi dengan mengendalikan segala sesuatu,

lelucon adalah lawan tangguh penguasa berkepala batu

Bila sekedar tertawa saja dilarang,

berarti kekuasaan sudah terlalu sewenang-wenang

Kebebasan tertawa bisa jadi ukuran,

apakah penguasa sudi menghidupkan keterbukaan

 

Dan tentu saja, diantara himpitan kebutuhan ekonomi yang semakin menjadi-jadi, serta tuntutan peran untuk menjadi bermanfaat yang diluar jangkauan ekspektasi, kami hanya bisa cekikikan dan tertawa menghadapi realita semacam ini. Juga, mungkin inilah cari kami bergembira dan bahagia.

 

*Redaktur Poci Maiyah