Jumat, 01 April 2022

Rejeki Rasa



Mukadimah Poci Maiyah April 2022

Oleh: Rizki Eka Kurniawan


Disadari atau tidak, kita semua pasti pernah mengajukan pertanyaan eksistensial tentang makna dari keberadaan diri kita di dunia.  Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi? Apa tujuanku datang ke dunia? dan di manakah kebahagiaan dapat ditemukan?


Pertanyaan eksistensial ini terlihat sederhana, namun untuk menjawabnya, kita membutuhkan waktu lama, serta kesabaran dan keberanian untuk menjalani hidup yang penuh dengan resiko dan konsekuensi. Pertanyaan semacam ini juga yang membuat diri kita menjadi tertekan, cemas dan bahkan sampai mengalami frustasi.


Tapi, meskipun begitu. Pertanyaan inilah yang akan mengantarkan kita pada “makna hidup” yang sebenarnya. Makna hidup yang akan kita peroleh, yang memberikan kita kebahagiaan dan meningkatkan kualitas hidup kita di dunia.


Dan, untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan tersebut memang sangat sulit dan misterius, tidak bisa ditemukan kecuali dengan mengalaminya sendiri. Tidak juga bisa ditemukan dengan pengetahuan nalar rasional. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial hanya bisa dijawab dengan pengalaman yang melibatkan rasa (dzawq), dalam arti kita harus merasakan sendiri setiap fenomena yang terjadi; rasa sedih, bahagia, cinta, kagum, takut, benci, cemas, marah, dsb. 


Syamsi Tabriz, sang sufi pengembara, guru Maulana Rumi dalam 40 Kidung Cinta (Qawa’id al-'Isyq al-Arba’un) mengubah syair-nya yang begitu indah untuk menjelaskan hal ini:


“Tak ada perbedaan besar antara timur dan barat, utara dan selatan. Ke arah mana pun kau pergi, hendaklah kau pastikan bahwa setiap langkah yang kau jalani adalah perjalanan ke dalam relung hatimu. Manakala demikian, kau dapat menjangkau seluruh dunia bahkan lebih jauh lagi.”


Syair ini menegaskan kepada kita, bahwa hidup hakekatnya adalah sebuah perjalanan ke dalam hati, bukan perjalanan ke luar untuk memperoleh kenikmatan dunia. Rasa yang kita peroleh dari dunia hanyalah sementara, tidak abadi, meskipun kenikmatan tersebut kita dapatkan dari kepemilikan kita sendiri; uang, barang, prestise, dan ego (baca: segala sesuatu yang di luar diri).


Sebagaimana yang pernah Gus Lu’ay sampaikan bahwa uang pada dasarnya tidak dapat membeli kebahagiaan. Uang hanya bisa membeli rasa nyaman untuk mendapatkan fasilitas yang memudahkan urusan kita dalam hidup. Kebahagiaan pada dasarnya tidak bisa dibeli, namun ia bisa dimaknai, dengan kata lain kebahagiaan bisa kita dapatkan ketika kita mampu memaknai (merespons) hidup dengan baik secara subjektif.


Orang punya, memang menikmati rasa aman, tapi sebenarnya ia sedang berada dalam keadaan sangat tidak aman. Ia tidak sadar, yang dilihat hanyalah tampak permukaan. Hal yang paling nyata, harta kita bisa hilang—bersamaan dengan itu, biasanya posisi dan teman-teman kita pun akan hilang. Cepat atau lambat, kita juga akan menua, dan pasti akan mati tanpa membawa apa-apa dari dunia.


Jika aku adalah apa yang kumiliki, dan jika yang kumiliki itu hilang, akan jadi siapakah aku?  Bukan siapa-siapa, selain kesaksian jalan keliru yang menyedihkan, gembos, dan kalah. Ketika kamu terlalu bergantung pada dunia, kamu tidak akan memiliki apa-apa, justru sebaliknya yang kamu miliki adalah perasaan negatif; keras, curiga, cemas, kesepian dan takut kehilangan.


Goethe, pecinta sejati kehidupan, dalam puisinya mengekspresikan kebahagiaan hati dengan sangat bersahaja:  


Aku memang orang papa

Tapi pikiran yang leluasa

Akan mengalir dari jiwaku

Dan setiap rasa bahagia

Yang mencintai Sang Takdir

Dari hati, membawaku bersuka cita


Kebahagiaan hati jauh lebih indah, megah dan abadi daripada kebahagian dunia yang sementara, tidak pasti dan rapuh. 


Yi Fahmi contohnya, salah seorang pegiat Poci Maiyah yang sangat mencintai syair-syair Maulana Rumi. Bagi orang awam, ketika membaca syair Rumi mungkin tidak akan sebahagia Yi Fahmi.


Ketika ia membaca Matsnawi, ia tidak hanya menemukan tulisan, namun juga makna kehidupan, kemegahan perasaan, dan rahasia-rahasia tersembunyi yang disaksikan dalam penghayatan.  



Ia merasakan suatu pengalaman trans, ekstase yang begitu indah dan tinggi. Seakan di hatinya dipenuhi taman bunga, dengan sungai-sungai yang mengalir laksana surga. Atau seperti sedang berada di pusat alam semesta, melihat ribuan bintang bercahaya di galaksi andromeda, terang benarang, penuh ketakjuban!


Begitu indah dan bahagianya, bila seorang muslim mampu menemukan makna dalam hidupnya. Ia tak hidup hanya sekedar hidup. Ia hidup karena kemauannya sendiri, karena keinginannya sendiri untuk menikmati dan menghayati setiap rasa yang ia alami di dunia.


Ketahuilah! bahwa rasa (dzawq) sesungguhnya adalah rezeki paling besar yang diberikan Tuhan kepada insan. Tidak ada satu makhluk pun di muka bumi yang memiliki perasaan semegah manusia, yang bisa menyibak hakikat dan menemukan makna. Manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna, berakal budi dan berhati nurani. 


Saksikan dengan segera segala keindahan yang ada. Jangan kamu abaikan setiap utusan yang datang membawa pesan. Percayalah, angin-angin itu berhembus tidak tanpa tujuan, air hujan turun membawa makna pada setiap tetesan. Seluruh yang ada di semesta, bahkan debu kecil yang berterbangan di udara, tak datang dengan sia-sia. 


Wa maa kholaqnas-samaaa-a wal-ardho wa maa bainahumaa baathilaa (Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia). 


Seperti kata bijak bestari dari Cordoba.


“Tak ada yang berjalan dalam semesta ini tanpa berjalan sebagai utusan dengan pesan. Bahkan cacing, dalam gerak mereka, bergegas dengan pesan bagi orang yang memahaminya” 



R.E

Kuningan, 1 April 2022