Jumat, 22 Juni 2018

Perjamuan Kudus Bungah Kepanggih

Oleh : Mohamad Ilmi Alhakim

“Selesai lebaran, berlanjut dengan sungkeman yang ditaburi bumbu tangisan dan sesenggukan. Termasuk ketika para jamaah Poci Maiyah bertemu dengan sedulur perantauan. Hidup memang penuh dengan drama.”

Datang menggunakan pakaian khas lebaran terbaik, membawa makanan ringan yang jumlahnya tidak karuan meski hanya turbo (turahan bodo) alias sisa lebaran, saling duduk rapi melingkar bersalaman. Hal semacam ini membuat kita berandai, apakah mungkin suasana Lebaran kerajaan Mataram Kuno juga seperti ini?

Semua yang hadir pada malam itu mendapat keberuntungan, baru saja duduk sudah disuguhi kopi. Uniknya, sang barista, Masinu, begitu sebutan local people pada sosok Wisnu Prawoto terlihat santai tanpa khawatir jumlah sedulur yang datang membludak, ia terus saja menyeduh dan mengantarkan satu persatu. Mungkin sudah biasa melakukan perbuatan baik tanpa berharap dipuji atau mendapat keuntungan materi. Lelah, tapi banyak pahala.

Sambil menyeruput kopi, para jamaah dengan seksama mendengarkan para narasumber. Satu yang menjadi perhatian adalah pemilihan nama "Bungah Kepanggih" yang berarti bahagia bertemu, karena mereka yakin perjumpaan yang didasari atas kebahagiaan hasilnya jauh lebih baik daripada kebahagiaan yang didapat dari perjumpaan. Keder? Cekelan, Lur!

Malam itu dihadiri para perantauan yang mudik dari berbagai daerah, baik yang jamaah maupun pegiat simpul lain, seperti; Mas Yudi dari Kenduri Cinta, Mas Ali fatkhan dari Gambang Syafaat, Mudrik dari Mocopat Syafaat. Serta simpul tetangga, Galuh Kinasih Bumiayu juga turut hadir.

Catatan pentingnya adalah semua persiapan dan acara disiapkan bukan dari para perantau, melainkan para bumiputra. Tentu ini menjadi eksklusifitas tersendiri bagi Poci Maiyah. Dimana komunitas pada umumnya mereka yang pulang kampung saling urunan untuk mengadakan acara bagi penduduk asal, ini kebalikan, bumiputra justru disibukan dengan konsep, peralatan, atribut dan buah tangan acara Bungah Kepanggih. Sungguh ke-asu-an yang haqiqi!

Terlebih banyak hal-hal baru malam itu, mulai sambung rasa, silaturohman, babad sejarah, hingga klenik. Mbah Nahar, menyimpulkan klenik pada sesuatu yang sifatnya disembunyikan, ahh kita sepakat jika klenik adalah istilah lain penyebutan adegan dewasa. Ncuukk!

Salah satu jamaah menambahkan prinsip klenik adalah 'eling lan waspada'. Mungkin maksudnya eling selingkuhan, waspada istri pertama. Berawal dari ini kita harus menyadari, begitu tulusnya mereka yang memberikan sumbangsih pengetahuan kepada sesama sebagai penguatan jati diri bangsa.

Boleh jadi, Bungah Kepanggih bukan lagi sebagai seremoni tahunan, namun semacam ritus permujaan di sekte maiyah. Ada rapalan mantra yang diucapkan dalam setiap sruputan kopi, ada puja-puji di tiap hisapan rokok, ada butir-butir bahagia gigitan jajan turbo.

Dan saat perjamuan kudus hampir paripurna, masih ada ruang untuk bersyukur mengakhiri Bungah Kepanggih, mereka saling salam salim -penuh haru dan tangis palsu- sambil sesekali berucap; "Sugeng riyadi", "Minal aidin wal faizin", "Mohon maaf lahir dan batin", "Kapan nikah, Mblo?".