Kamis, 05 September 2024

DUNGO DINUNGO

 


Mukodimah Poci Maiyah September 2024

Oleh: Abdullah Farid

 

 

Seringkali, manusia diposisikan dalam keadaan yang tak mampu berbuat apa-apa selain berdoa.

 

Dua dari banyak hal yang menjadikan manusia seringkali tersesat adalah doa dan takdir. Tidak ada satu pun makhluk berakal yang tidak berdoa pada Tuhannya. Sebagian orang tidak memikirkan lebih dalam - tentang doa dan takdir, sebagian lagi berupaya keras mencari jawaban. Apakah manusia wajib berdoa? Mengapa ada doa yang dikabulkan, dan ada yang tidak/belum dikabulkan? Mengapa yang berdoa keinginannya tidak terwujud, sedangkan yang tidak nampak rajin berdoa atau beribadah justru nampak selalu terwujud hajat-hajatnya? Apa ukuran kebenaran dari pemaknaan manusia dari doa yang belum atau bahkan tidak terwujud?

 

Mari kita menengok tiga landasan filosofis dalam memandang suatu hal. Pertama adalah epistemologi, secara sederhana, memandang segala sesuatu dalam nilai yang berpasangan : benar-salah, kalah-menang, halal-haram. Cara pandang epistemologis menilai segala sesuatu ada dasar hukumnya. Contoh, korupsi itu haram. Membunuh manusia itu salah. Minuman keras itu haram. Sholat 5 waktu itu wajib, dan sebagainya.


Kedua, adalah aksiologi, ini cara pandang kebermanfaatan yang lebih besar. Jika secara epistemologis, penilaiannya adalah dikotomi, benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya, maka aksiologis menitikberatkan pada kebermanfaatan manusia. Contoh, membunuh itu dilarang secara hukum, tapi jika terpaksa dan dalam kondisi teraniaya, maka itu dimaklumi. Terakhir adalah ontologi, cara pandang yang 'tanpa nilai', tapi menerima dunia dan kehidupan sebagaimana adanya. Contoh, secara ontologis, dunia ini ada peperangan, kemiskinan, pembodohan, dan hal-hal baik buruk lainnya yang manusia tak harus memikirkan itu semua. Tidak harus berdoa untuk segala hal dan tiap detail kondisi kehidupan. Sebab manusia hanya dibebani sesuai dengan kemampuannya. Walaupun di sisi lain, boleh juga berdoa untuk ditambahkan kemampuan/kekuatan hidup, untuk tanggung jawab yang lebih besar. Karena, dalam kekuatan yang besar, terdapat tanggung jawab yang besar pula.

 

Seperti kisah Nabi Sulaiman ketika berdoa ingin memiliki kekuatan yang tidak akan dimiliki orang lain dan belum pernah dimiliki seseorang sebelumnya. Secara sederhana, dalam satu tafsir, Nabi Sulaiman melihat di masa depan seseorang yang menyerupai dirinya, dan menduduki singgasananya. Bagaimana hipotesa Nabi Sulaiman melintasi waktu, skip dulu. Dalam sinau bareng kali ini akan fokus dengan konsep-konsep doa, khususnya doa-doa kebaikan akhlak seperti yang Nabi Mahammad ajarkan : tabligh, fatonah, shidiq, dan amanah.

 

Bahwa manusia sekelas Nabi Sulaiman saja, mau berdoa dan banyak meminta. Berbeda dengan apa yang pada umumnya diinginkan oleh umat-umat nabi lain, umat Nabi Muhammad dikhawatirkan semakin terpecah belah oleh doa-doa duniawi. Doa-doa keinginan materil yang tidak tersambung dengan ketinggian akhlak. Seperti dalam salah satu hadits ketika nabi mengkhawatirkan umatnya, sebab akan lemah tak memiliki kekuatan jiwa. Bukan karena jumlahnya sedikit, melainkan karena cinta dunia dan takut mati. Akhlak mulia yang seharusnya menjadi permintaan dalam doa, umumnya sudah terganti dengan hajat-hajat duniawi yang terputus dari sisi ukhrowi (akhirat). 

 

Di malam gelaran sinau bareng Poci Maiyah ini, mari kita luruskan dan perbaharui niat-niat sejak dari doa. Meski banyak kondisi yang menjadikan kita tak bisa apa-apa selain berdoa, teruslah berharap. Andai manusia tahu tentang tata kelola semesta, bahwa doa-doa yang manusia kira tak terjawab, akan mengalir pada generasinya di masa mendatang, atau bisa jadi ditukar dengan bencana yang urung datang.

 

Tegal, 5 September 2024.

Kamis, 01 Agustus 2024

KEKASIH


 

Mukadimah Poci Maiyah Agustus 2024

Oleh: Abdullah Farid

 

“Yang penting bukan apakah kita menang atau kalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa, yang penting adalah apakah seseorang berjuang atau tak berjuang.”

Mari kita awali dari nasihat Mbah Nun itu. Tak satupun di semesta ini yang tidak mengalami perjuangan, pergerakan, perubahan. Bahkan, saat kita duduk disini selama satu jam, bumi telah berputar, membawa kita sejauh kira-kira 1600 kilometer, tanpa kita sadari. Dan betapa sayang waktu hidup ini, jika dalam satu jam, melakukan perjalanan sejauh 1600 kilometer, kita tak mendapatkan apa-apa, tak belajar apa-apa.

 

Tidak bisa disebut cinta, jika tidak berjuang. Bahkan, para neoplatonis yakin jika memang cinta, jangan katakan yang kita lakukan pada kekasih adalah perjuangan dan pengorbanan, melainkan  fana alias menghilangkan eksistensi diri demi yang dicinta. Begitulah seorang kekasih. Dari kata ke-kasih, bukan tentang tindakan transaksional, melainkan memberi, mengasih, mencintai. Dalam konteks bermaiyah, itulah yang Mbah Nun contohkan selama ini. Seorang kekasih, yang terus memberi, mencintai, anak cucu maiyah. Sebagai bukti, perkataan Allah :

Jika engkau mencintai-Ku, ikutilah kekasih-Ku itu (Nabi Muhammad)

 

Qul in kuntum tuhibunallah fattabi'uni yuhbibkumullah.. (Ali Imran : 31)

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”

 

Jika seorang hamba berkata cinta pada Tuhan, dibuktikan dengan mencintai apa yang rasulullah cintai : yaitu ummatnya.

 

“Pelajaran terpenting bagi calon pemimpin adalah kesanggupan menjadi rakyat. Barangsiapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Maksudnya, Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap mental kerakyatan.”

 

Bukan ujian utama, jika seseorang berkata tidak akan korupsi (misalnya) tanpa tumpukan uang yang berada di depannya. Bukan ujian berat, jika seseorang berkata tidak akan tergoda wanita tanpa sang wanita cantik yang siap melayaninya saat di tempat sepi. Bukan ujian berat jika seseorang berkata tidak akan menyeleweng saat diberi jabatan selama ia belum berada di cengkeraman tanggung jawab besar. Dan bukan ujian berat, jika seseorang berkata tidak masalah tidak menjadi apa-apa selama ia memang belum pernah mendapatkan amanah kepemimpinan ummat. Maka, di maiyah kita diajarkan agar tidak terjebak dalam padatan-padatan, tidak mementingkan kemenangan, kesuksesan, kekayaan, tanpa kondisi kelanjutan dari itu. Menang, sukses, kaya, itu penting, jika...... Disertai mentalitas dan disiplin seorang kekasih Tuhan. Dalam nasehat Mbah Nun :

Seorang pemimpin itu harus cerdas akal, berani mental, dan suci hati

 

Tak masalah menjadi rakyat, tak menginginkan status apapun, berani tandang dan tanding, dan di hatinya, selalu hanya bersama Tuhannya saja. Sebab, Dia yang Maha Cinta, tak mau bersama siapa saja yang membawa bekas-bekas dunia. Tuhan tak memberi dua hati dalam satu dada, dan hati itu hanya untuk Dia saja.

 

Maa ja'alallahu li rojulin min qolbayni fii jaufih

Dia mencintai kesucian, bagaimana mungkin seorang hamba dapat bersama-Nya dengan tetap dalam kekotoran dunia?

"Orang boleh salah, agar dengan demikian ia berpeluang menemukan kebenaran dengan proses autentiknya sendiri."

 

Selayaknya seorang hamba, tak mungkin mampu mencapai-Nya. Tapi rahmat-Nya, akan selalu mampu meraih kita. Tidak mungkin manusia bisa hidup tanpa salah. Sebagaimana ketidakmungkinan seseorang menjadi hamba yang tak bisa berbuat benar. Manusia sangat dinamis. Bahkan, saat benar saja manusia masih bisa disalah-salahkan, apalagi ketika salah. Jika pun seseorang terus menerus teranggap salah, maka justru itu sangat baik. Sebab akan mengarahkan manusia itu untuk hanya bertransaksi, berbincang, dialog, dengan Tuhan saja. Dipuji atau dicaci, ia tak bergeming, sebab orientasi kesadarannya hanyalah Allah saja. Itu yang seorang kekasih seharusnya rasakan. Seperti yang sering Mbah Nun kutip :

Alaa inna awliya allahi la khoufun alaihim wa lahum yahzanun.

Pada diri kekasih Allah, tidak ada rasa takut dan kesedihan (terhadap dunia) lagi.

Rabu, 31 Juli 2024

Selasa, 02 Juli 2024

Ta-U/W-akal (Tawakal)



Mukodimah Poci Maiyah Juli 2024

Oleh : Abdullah Farid

 

Dahulu para penduduk Yaman berhajji namun mereka tidak membawa bekal dan mereka berkata, kami adalah orang-orang yang bertawakal. Ketika mereka tiba di Makkah, mereka meminta-minta kepada manusia. Maka Allah Ta'ala menurunkan ayat 197 dari QS Al Baqarah) yang artinya (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.) Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Uyainah dari 'Amru dari 'Ikrimah secara mursal.

 

Mukodimah Poci Maiyah bulan Juli ini akan mengupas tentang Tawakal. Dalam kata itu, penekanannya ada pada kata Tau Akal atau Tawakal, menyelami sikap tawakal dalam kesadaran seseorang menggunakan nalarnya.

 

Apa itu tawakal? Definisinya bisa banyak sekali. Maka dalam tema ini, akan dibatasi pada ruang penggunakan akal dengan optimal sebelum menyerahkan urusan pada Tuhan. Seperti hadits di awal mukodimah tadi, bahwa tawakal itu bukan losdol tanpa persiapan atau bekal. Tawakal, dalam satu identifikasi adalah apa yang para kyai nusantara ini disingkat dalam kata DUIT. Doa, usaha, ikhtiar (menyempurnakan usaha), dan lalu tawakal. Menyerahkan urusan pada Tuhan. Dalam tema ini, tawakal bisa dijelaskan sebagai kesempurnaan gerak sejak dari hati (yaitu berdoa), usaha (dengan memahami ilmu dan caranya), ikhtiar dengan pengerahan energi, waktu, sumber daya, dll), lalu baru tawakal. Menyerahkan urusan pada Tuhan, tapi masih dengan harapan yang disisipkan dalam doa.

 

Ada beda antara pamrih (thoma') atau ambisius, tawakal, dan tafwidl. Pamrih atau ambisius adalah terdiktenya diri manusia pada apa yang diinginkannya. Apakah itu buruk? Tidak juga, jika ambisi atau pamrih itu dalam kebaikan yang disyariatkan, atau kebaikan sosial. Pamrih yang dilarang adalah ketika diri diperbudak keinginan dengan cara melanggar batas-batas syariat, yang akhirnya ada nilai kerusakan, baik dalam diri personal atau sosial. Dalam hal ini, keseimbangan lingkungan, baik diri atau sosial menjadi timpang atau rusak.

 

Selanjutnya adalah tawakal, yang dalam satu definisi, adalah menyerahkan urusan-urusan pada Tuhan, namun masih menyimpan harapan terwujudnya ambisi / pamrih. Dalam penekanan, ambisi itu bermakmum pada kepasrahan di hadapan kekuasaan Tuhan. Tidak memaksa, atau seakan Tuhan harus mengikuti keinginan-keinginannya. Ada saatnya hati (yang berdoa), akal (yang berpikir), dan tubuh (yang bergerak) sejenak mendamaikan diri. Sebab semua urusan, setidaknya memikirkan urusan itu, sudah dilimpahkan pada kewenangan Tuhan. Dalam singkat kata, istirahatkan pikiranmu, dan izinkan Tuhan menentukan mana yang terbaik untukmu. Ada wilayah akal, dan ada wilayah hati yang pasrah meski sulit untuk total mengikuti kehendak Tuhan. Karena biasanya yang Tuhan kehendaki justru bukan yang seseorang inginkan. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Di Maiyah lagi-lagi sudah sering dibahas hal ini.

 

Terakhir adalah tafwidl, dari kata فوّض, yang jika menurut Al Ghazali orang-orang yang telah mencapai ini disebut sebagai golongan mufawwidlun yaitu yang menyerahkan urusan hidupnya secara total pada Tuhan. Konteks disini adalah kehendak diri, yaitu ketika keinginan atau kehendak seseorang bagaimana Tuhan saja. Dia mengalir bersama qodar Allah. Disuruh ngidul, siap Gusti. Disuruh ngalor, nggih Gusti. Disuruh mundur, siap Gusti. Disuruh berangkat (meskipun diri menolak dan akal tak tahu alasannya), nggih pun siap Gusti. Bagaimana manusia biasa bisa tahu itu adalah perintah langsung dari Tuhannya? Ya itu hanya untuk yang sudah sampai pada tingkatan atau derajat tafwidl, di atas tawakal. Kita ndak satu kelas dengan mereka. Jadi tak perlu dipikirkan.

 

Di Maiyah, ada model pendakian spiritual untuk sampai kesana. Apa yang pernah dibahas dalam satu tema, tentang 4 sumber gerak semesta. Mulai dari mengenali diri (nafs) dalam hal keinginan, lalu mendaki ke tingkat kebutuhan. Hidup sudah tidak didasari keinginan-keinginan, melainkan kebutuhan. Lalu mendaki lagi ke tingkatan cinta, tandanya adalah ketika Tuhan menunjukan pilihan takdir yang Dia kehendaki tapi seseorang tidak menginginkan itu dan juga tidak membutuhkan efek dari pilihan takdir itu. Dan terakhir adalah derajat ketaatan, yaitu ketika kehendak-Nya sudah menjadi kehendak seorang hamba. Ketika seorang hamba, dalam momen-momen tertentu, harus melakukan aktivitas yang tidak menguntungkan, atau bahkan melelahkan dirinya, tapi harus dilakukan tanpa ada pertanyaan bahkan di dalam hati. Dengan catatan, aktifitas sosial itu tidak melanggar syariat atau hukum Tuhan.

 

Pada awalnya, untuk sampai ke derajat tawakal, seseorang harus menggunakan akalnya. Tapi pada akhirnya, akal yang tadinya menjadi tools untuk mengelola data atau berpikir, berubah menjadi alat untuk menampung 'data langit', yaitu perintah-perintah sosial yang Tuhan inginkan seorang hamba untuk dilakukannya. Pada awalnya, perintah Qur'an tenang optimalisasi akal (afala ta'kilun, afala yatafakarun), perintah menggunakan akal. Tapi pada akhirnya, ayat itu berubah makna, yang tadinya adalah :

 

Afala ta'kilun, apakah engkau tidak menggunakan akalmu?

 

Afala yatafakkarun, apakah engkau tidak berpikir?

 

Berubah makna menjadi :

 

Afala ta'kilun, Afala yatafakkarun, mengapa engkau masih berpikir sedangkan engkau sudah bersama-Ku? Seakan Tuhan berkata pada orang-orang dalam derajat ini : Apakah engkau masih memikirkan Aku akan berbuat keburukan padamu, sedang Aku di sisi-mu?

 

Tafwidl ini bukan pemahaman salah kaprah tentang wahdatul wujud, kehendak-ku adalah kehendak Tuhan. Bukan tentang orang yang tidak seperti manusia lagi. Sebab, teladan dari itu semua adalah Nabi Muhammad. Beliau pernah dalam fase pamrih, lalu tawakal, lalu tafwidl (pasrah/menyerahkan tanpa tanya). Dan seseorang seperti itu, sudah dituntun oleh Allah bahkan sejak dari wilayah hati dan akalnya. Seperti Rasulullah, banyak hukum yang adalah produk akal pikirannya justru menjadikan beliau ditegur Allah. Sebaliknya, Qur'an adalah perkataan Tuhan yang dialirkan kepada akal nabi. Seperti pendekatan tadi, akal yang tadinya menjadi alat berpikir, berubah menjadi alat menampung ilmu dari Tuhan, meski tanpa berpikir.

 

Sabtu, 29 Juni 2024

Senin, 03 Juni 2024

METAFORA KA'BAH



 

Mukadimah Poci Maiyah Juni 2024

Oleh: Abdullah Farid

 

Gelaran bulan Mei kemarin, dalam mukodimah sempat disisipkan salah satu sikap hidup menyadari kegembiraan. Di balik senyum seseorang, ada tangis yang sembunyi. Dalam tiap kegembiraan, manusia sejenak menutup mata dari derita yang ada di sisinya. Bersamaan dengan kebahagiaan memenuhi 'panggilan' Allah ke baitullah, ibadah haji di Mekah, saudara kita di Rafah Palestina diuji derita yang begitu parah. Doa terbaik untuk saudara di Ka'bah, juga untuk mereka di Rafah.


Metafora Ka'bah adalah simbol pusat spiritual. Bahwa ibadah haji, dengan memutari dan mencium batu, bukanlah dalam maksud menyembah 'kotak hitam' bernama Ka'bah. Melainkan simbol, bahwa umat Islam, pada awalnya, wajib taat dengan atau tanpa pemahaman mengapa harus melakukan ini dan itu. Seperti perbedaan Umar bin Khotob dengan Ali bin Abi Thalib saat mencium hajar aswad. Umar meyakinkan diri bahwa jika bukan karena rasulullah melakukan, ia tak akan melakukan mengistimewakan batu hitam Ka'bah itu. Sedangkan Ali berkata, bahwa kelak batu hitam itu juga akan bersaksi siapa yang mentaati Allah, dan siapa yang tidak. Keduanya benar. Selalu ada sisi dhohir dan batin dalam segala sesuatu.

 

Ka'bah menjadi pusat ibadah dan ujung perjalanan syariat yang tidak berhenti setelah mencapainya. Seorang haji bukanlah orang beriman yang telah tuntas dan selesai melaksanakan syariat Islam. Justru ia seharusnya, idealnya, menjadi orang yang lebih fokus, lebih giat, dalam menjalankan ibadah syariat lainnya. Haji hanya metafora ujung perjalanan syariat, yang jika ibarat naik gunung dan telah mencapai puncaknya, bukan berarti ketika turun gunung sudah tidak melakukan perjalanan hidup lainnya. Dalam gelaran bulan-bulan yang lain Poci Maiyah telah menggelar tema "Istiqomah Menjadi Manusia", jika pun manusia telah sampai ke derajat abdullah, khalifatullah, itu tidak lantas berhenti melakukan aktifitas-aktifitas kemanusiaan. Menjadi presiden itu tidak sama dengan berhenti menyapa tetangga, atau memberi makan kucing jalanan. Toh itu tak menjadikan kemuliaannya runtuh, justru semakin naik.

 

Ka'bah menjadi pancer umat Islam agar memiliki fokus dan arah dalam kehidupan spiritualnya. Bukan berarti kita 'dijajah' arab, dengan cara wajib melakukan haji. Seperti debat Umar dan Ali tadi, ketaatan tak hanya dilihat secara dhohir, tapi tak kalah penting juga secara batin. Sebab, ibarat kata yang tanpa makna, perjalanan hidup dan ibadah tanpa ruh, tanpa rasa, itu tak bisa disebut hidup. Sebab, hidup justru karena ruh, ketika manusia telah sempurna pembentukannya, ditiupkan ruh kepadanya, agar hidup. Tuhan saja meniupkan ruh, memberi rasa, mengapa justru manusia seakan melupakan rasa yang Tuhan titipkan? Ini mungkin penting untuk direnungkan.

 

Kisah bermakna tentang haji mungkin bisa kita kutip dari Abdullah bin Mubarok dan Ali bin Muwafaq. Saat sang sufi sedang thawaf, ada suara dari langit bahwa Ali bin Muwafaq yang tak sempat berhaji telah diterima ibadah haji-nya. Saat sufi itu mengecek siapakah Ali, ternyata hanya seorang tukang sol sepatu di pasar Khurasan, Iran. Menabung haji dari nge-sol sepatu, lalu karena istrinya yang ngidam ingin makan daging yang aromanya tercium dari jalanan, haji mereka gagal. Daging wangi itu adalah bangkai anjing jalanan yang dimasak dan akan dimakan oleh keluarga miskin yang anak-anaknya tak makan beberapa hari. Lalu dengan tangis berurai, Ali dan Istri memberikan semua tabungan haji mereka untuk keluarga itu.

 

Keikhlasan, umumnya tak dapat dicapai tanpa mendaki 'dua anak tangga' lain sebelumnya : sabar dan syukur. Ibarat dua kaki, jika mendapat nikmat kita bersyukur, dan jika mendapat ujian hidup kita bersabar. Ibarat kaki yang terus berjalan dalam suka ataupun duka, kaki tersebut akan penuh luka. Rasa sakit itulah yang disebut pengorbanan. Di satu sisi, umumnya manusia ingin hidup enak. Tapi di sisi lain, yang enak belum tentu baik, dan yang tak enak belum pasti buruk. Di Maiyah sedulur-sedulur sudah sering belajar ini. Wa asaa antakrohu syai-aw wa huwa khoirulakum...

 

Pengorbanan, atau luka-luka hidup ini yang konon akan 'dihitung' di akhir hidup manusia. Ibarat wudlu yang akan memberi cahaya pada kening, tangan dan kaki orang beriman, 'luka' atau derita hidup yang diikhlaskan untuk Allah akan menjadi bukti. Seberapa tinggi derajat cinta seorang hamba pada Tuhannya. Seperti ungkapan, man arofa nafsahu faqod arofa robbahu. Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Diksi 'Tuhan', menggunakan kata "robba", bukan Allah, bukan Ilah. Sebab, ibarat huruf, fi'il dan isim, kata "robba" itu adalah isim atau Dzat Allah. Tiada apapun selain Dia (Dzat Allah). Dalam khasanah tasawuf, seorang hamba tak akan sampai kepada "robba", selama ia belum ikhlas, murni, suci, 'lenyap' sisi-sisi dirinya sebagai manusia ataupun makhluk. Kesenangan dunia menjaga sisi diri manusia sebagai makhluk, dan kepedihan hidup menjadi jalan keikhlasan dan penyucian kepada Tuhan.

 

Semua perjalanan spiritual itu adalah petunjuk yang diwariskan Nabi Muhammad kepada umatnya. Umumnya, tak akan mampu dilalui jalan itu kecuali dengan sangat yakin kepada Tuhan dan nabi-Nya. Nabi yang membawa misi rahmatan lil alamin, kasih sayang untuk seluruh alam di lapisan semesta manapun itu. Kasih sayang yang adil, sesuai porsi, dan tak pilih kasih. Yang baik dijanjikan ganjaran indah, yang buruk ditunggu taubat dan jangan putus asa sebab ada syafaat. Rahmatan lil alamin inilah jembatan antara kekuatan intelektual dan spiritual dengan kehidupan nyata. Bagaimana caranya setiap potensi, kekuatan, ilmu, waktu, energi, seorang beriman dapat bermanfaat untuk semesta. Secara 'modern', nama lain dari rahmatan lil alamin adalah ekologi, atau jika agak dipaksakan, "bhineka tunggal ika", potensi dan aksi boleh berbeda-beda, tapi semua itu harus tersambung pada umat manusia. Menjaga kehidupan, dengan cara saling tersambung dan bermanfaat. Bukan tentang pencapaian yang tinggi, tapi apa yang manusia miliki, sekalipun kecil atau nampak sepele, agar dapat menolong atau membantu hidup sesama umat manusia atau makhluk Tuhan. Seperti Ka'bah, jika dilihat dari langit, hanyalah titik hitam kecil. Tapi di sanalah energi bumi didaur ulang, dan kehidupan bumi secara keseluruhan dapat terus berlangsung.

 

Sabtu, 1 Juni 2024

Senin, 29 April 2024

BEYOND HUMANITY



Mukodimmah Poci Maiyah Mei 2024
Oleh: Abdullah Farid

 

Sebuah simulasi pikiran : Jika seseorang dikejar harimau lapar, sedangkan jauh di depannya adalah jurang, dan di sisi kanan-kirinya adalah sungai penuh buaya lapar, maka apa yang akan ia lakukan? Dan haruskan ia mempertahankan hidup?

***

Beyond Humanity digambarkan sebagai perjalanan yang melampaui batas-batas manusia dalam konteks cerita post-apokaliptik yang melibatkan bertahan hidup dan transformasi. Pergeseran dari apa yang dianggap manusiawi menuju hal-hal yang lebih tinggi atau tidak terduga. Evolusi karakter utama, tantangan moral, atau bahkan eksplorasi perubahan dalam hubungan antara manusia dan dunia yang berubah drastis. Ini bisa menjadi tanda perjalanan karakter untuk mencari makna di luar apa yang dianggap kemanusiaan dalam kondisi ekstrem.

"Beyond Humanity" adalah konsep luas yang bisa mengacu pada beberapa ide : 

Transhumanisme, Singularitas Teknologi, Eksistensialisme, Transisi Spiritual, dan Transvaluasi Humanisme.

Kelima konsep tersebut membahas evolusi manusia dan pandangan tentang peran kita dalam alam semesta. Transhumanisme berfokus pada peningkatan kemampuan manusia melalui teknologi, sementara Singularitas Teknologi mempertimbangkan dampak kemajuan teknologi yang mengarah pada kecerdasan buatan yang mungkin melebihi manusia. Filsafat Eksistensialisme mempertanyakan makna kehidupan manusia dan kemungkinan evolusi di luar batas-batas saat ini, sementara Transisi Spiritual mengusulkan kemungkinan kesadaran yang lebih tinggi atau hubungan dengan entitas spiritual. Terakhir, Transvaluasi Humanisme mengevaluasi ulang pandangan tradisional tentang manusia sebagai pusat moralitas dalam alam semesta.

Jadi, apa yang kira-kira bisa dituangkan Poci Maiyah sebagai penawaran terhadap kondisi beyond humanity di negeri ini, malam ini?

(1)

Entropi / (Majma'al Bahroin)

Secara sederhana, entropi adalah perubahan yang tak pernah berhenti. Kondisi selalu menjadi, dari segala sesuatu. Contoh sederhana ketika kita menuangkan air dingin dengan air panas, maka kondisi dingin itu akan kacau, mencari keseimbangan baru dari air panas yang kita tuangkan itu. Sampai menemukan keseimbangan baru, yang bukan sebagai keseimbangan statis (diam), melainkan keseimbangan dinamis (terus berubah). Sebab, dari perubahan yang terus menerus itu, lahir suatu keindahan. Marojal bahroini yaltaqiyan... dan yakhruju minhuma lu'lu'u wal marjan.... Dari entropi, bertemunya dua sistem yang terus menerus : benar-salah, baik-buruk, adil-dzolim, mulia-hina, dan sebagainya, lahirlah kebijaksanaan.

Memahami entropi dapat menjadi awal pijakan kita untuk lebih menghargai keindahan dan kerapuhan alam semesta, khususnya ; manusia, serta mendorong kita untuk menjalani hidup dengan penuh makna dan tujuan.

(2)

Tiga Otak Ciptaan Tuhan

Sedulur Poci Maiyah yang sekarang usianya 30-an tahun, hampir pasti mengenal flopy disk atau disket. Disk / "flashdisk" sebesar tempe goreng yang hanya bisa menyimpan ±1,44 megabyte. Kini seukuran kuku bayi tapi dengan daya simpan data ratusan ribu / jutaan kali dari disket, itu ibarat otak manusia dalam konteks memori (ingatan saja).

Otak manusia, seakan hanyalah 'replikasi' dan juga 'alat sambung' menuju otak kedua, yaitu 'udara'. Dalam dunia internet, itu disebut Cloud Storage atau penyimpanan cloud. Tentu saja, kata cloud disini adalah bahasa slang, bahasa gaul, bukan makna sebenarnya sebagai awan. Tapi, ada hipotesa, dalam konteks yang lebih luas, otak manusia yang diibaratkan memori card offline, disambungkan dengan cloud storage internet yaitu udara. Ada riset yang menyatakan bahwa, orang-orang yang bisa membaca pikiran, biasanya anak kembar, mereka terhubung di otak kedua ini, yaitu udara. Secara agak halusinasi, cara ahli paranormal membaca pikiran pasiennya bukanlah dengan membaca "memori offline" atau ingatan dalam otak tubuh, melainkan dengan udara yang digunakan untuk mengakses ingatan orang tersebut. Dan para ahli spiritual, biasanya adalah orang-orang yang mengalami perjalanan dan pertahanan hidup ekstrim.

Itu otak kedua, lalu, apa otak ketiga-nya?

Jika flashdisk atau hardisk adalah penyimpanan offline, itu seperti otak manusia, dan cloud storage adalah penyimpanan online, seperti otak kedua yaitu udara, maka cahaya adalah penyimpanan all line, apa prototipe-nya? Yaitu penyimpanan data holografik. Menyimpan data besar dalam cahaya laser. Jika cahaya adalah otak ketiga (jelas ini melampaui batas sains), dan cahaya adalah wujud zat-nya malaikat (dalam hadits, nabi berkata begitu), dan untuk 'tersambung' dengan cahaya harus mensucikan diri, la yamasuhu illal muthoharun, maka bisa jadi Qur'an adalah data holografik 'yang dipadatkan', dan dengan itu, untuk 'menyentuhnya' kita harus dalam keadaan suci.

Dan kita tahu dari sejarah, se-ekstrim apa perjalanan hidup nabi, sampai beliau di-mi'rajkan ke wilayah yang lebih lembut daripada malaikat atau cahaya. Ekstrem-nya perjalanan hidup beliau, salah satunya ada dalam hadits : Yang hidupnya paling menderita adalah para nabi dan rosul. Yang kedua, yang kesholehannya mirip. Dan yang ketiga, yang kesholehannya mirip (yang kedua).

Nabi Sulaiman dan Otak Kedua

Jika tiap huruf (hurf / حرف) ibarat jasad yang memiliki 'ruh' (tiap huruf punya makna/ruh), dan ruh adalah udara (راح - ريح), sedangkan udara adalah 'otak' kedua, yang berisi memori (ingatan) segala sesuatu termasuk manusia, maka huruf-huruf yang terangkai membentuk garis skenario kehidupan kita. Mungkin itu mengapa hidup sang nabi seperti Qur'an (menurut Aisyah), huruf-huruf Qur'an adalah memori 'ruh' dan cahaya nabi. Dan huruf-huruf (memori) itu tak bisa dicapai kecuali oleh hamba-hamba yang disucikan (La yamassuhu illal muthoharun).

Singkatnya, jika manusia bisa mengakses otak kedua yang berwujud udara (semesta wujud zat gas / peradaban ruh), maka manusia akan sampai pada ahwal Nabi Sulaiman dalam ayat (An Naml : 16) Wa uutiina min kulli syai'i. Nabi Sulaiman, punya akses ke database otak kedua, yang menjadikan dia mampu belajar apa saja, sebab semua ruh manusia beserta ingatannya, ada di udara (wujud zat gas). Dan kemarin, tiap ramadan khususnya, kita mendapat kesempatan untuk mengakses otak kedua dan ketiga. Kapan itu?

Al-Qadr ayat 4

Tanazalul malaikatu wa ruhu fiiha bi-idzni robbihim min kulli amr.

Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh  dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.

Dan lagi-lagi, hampir pasti yang mendapatkan itu hanyalah orang-orang yang 'melampaui batas' dirinya sendiri. Hidup dalam dan berteman dengan badai, bukan sekedar badai pasti berlalu atau nanti datang lagi. Badai, sudah menjadi entropi yang ia nikmati sehari-hari.

Penutup Mukodimmah

Beyond Humanity dengan begitu banyak persoalan dan pengalaman kompleksnya bukan untuk mencari jawaban yang pasti.

Penting untuk diingat bahwa diskusi tentang moralitas dan nilai-nilai universal adalah kompleks dan multi-faceted (banyak dimensinya). Tidak ada satu jawaban yang benar atau pasti untuk semua pertanyaan ini. Namun, dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan itu secara kritis, kita dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri kita sendiri dan tempat kita di dunia.

Lalu, bagaimana dengan pertanyaan ini :

Jika seseorang dikejar harimau lapar, sedangkan jauh di depannya adalah jurang, dan di sisi kanan-kirinya adalah sungai penuh buaya lapar, maka apa yang akan ia lakukan? Dan haruskan ia mempertahankan hidup?

Jikapun hidup manusia seperti dongeng sisyfus, manusia yang dihukum dewa untuk menaikan batu besar ke atas gunung lalu menjatuhkannya, dan mengulanginya terus menerus seakan tanpa makna : atau sebahaya simulasi pikiran itu, maka ia harus tetap berjuang.

Sebab, hidup dan semua kompleksitasnya hanyalah tuntas kewajiban.

Pada akhirnya manusia akan lapar, akan gagal, mungkin mengalami penghinaan, sakit menahun atau bahkan mati. Tapi menikmati tiap entropi (sepertinya) adalah cara satu-satunya untuk bertahan hidup. Manusia tak akan bahagia seutuhnya, sebab, ketika kita tertawa gembira atau sedang makan enak, di belahan bumi lain ada orang-orang yang sedang dalam adaptasi hidup yang sangat berat, atau bahkan perang. Atau sebaliknya, ketika di belahan bumi sana orang-orang dalam dunia utopia, kita sedang berjibaku dalam negeri distopia.

Kamis, 04 April 2024

Batasan itu Nikmat

 



Mukadimah Poci Maiyah April 2024

Oleh: Rizki Eka Kurniawan


Pernah hidup di zaman kono, seorang bijak bestari yang dulunya hidup sebagai seorang prajurit. Namun, setelah sekian lama pengabdiannya dalam perang, ia memilih hidup miskin dan mengabadikan dirinya dalam pencarian “kebijaksanaan”.

Semuanya bermula, ketika satu temannya mengunjungi sebuah kuil yang dipercaya oleh orang-orang dulu sebagai tempat suci, tempat  di mana orang-orang datang untuk mendapatkan nasehat dan pencerahan dari seorang pendeta.

Pada saat itu, temanya bertanya pada pendeta kuil, “adakah seseorang yang lebih bijak dari Sokrates?”

Pendeta kuil tersebut menjawab, “Tidak ada satupun orang yang lebih bijaksana darinya. Sokrates adalah orang paling bijaksana di kota ini”.

Mendengar perkataan pendeta kuil tersebut, ia pun segera menemui Sokrates untuk memberikan kabar atas apa yang dikatakan oleh pendeta kuil.

Sokrates yang mendapat kabar dari temannya merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pendeta kuil tersebut. Ia mencoba memverifikasi perkataan pendeta dengan mendatangi semua orang di kota tempat ia tinggal, mulai dari pemuka agama, ilmuan, politisi, praktisi, penyair dan masih banyak lagi orang dengan lintas profesi yang ia temui.

Tapi, yang ia temukan bukanlah kebijaksanaan. Dari semua orang yang ia temui, ia justru merasa kecewa dengan orang-orang yang merasa sok tau atas apa-apa yang sebenarnya mereka tidak ketahui.

Hal ini membuat Sokrates semakin dalam merenungi kebenaran dari perkataan pendeta kuil tersebut. Pada titik ini, Sokrates akhirnya memahami kebenaran dibalik perkataan pendeta kuil. Ia pun menyadari alasan kenapa pendeta kuil menyebut dirinya sebagai orang paling bijaksana, adalah karena Sokrates satu-satunya orang yang tau jika dirinya tidak tahu.

Dalam sebuah risalah sufistik, ada salah satu ulama sufi yang berkali-kali dalam sebuah karyanya yang saya baca selalu mengutip perkataan Abu Bakar r.a, “Ketidakmampuan mendapat pengetahuan adalah pengetahuan itu sendiri”

Jujur, awalnya saya pun sangat bingung untuk memahami perkataan ini, apa maksudnya? Kalian pun mungkin akan bertanya-tanya bagaimana mungkin ketidakmampuan untuk mendapatkan pengetahuan adalah pengetahuan itu sendiri?

Sampai akhirnya, saya pun memahami ketika saya mulai bisa menyadari akan keterbatasan (limitasi) diri saya sendiri. Saya pun akhirnya mulai paham. Betapa nikmatnya keterbatasan!

Melalui keterbatasan, kita bisa merasakan nikmatnya belajar untuk bisa tau. Keterbatasan menuntut kita untuk selalu berkembang menemukan dan menciptakan hal-hal baru yang tadinya belum kita ketahui.

Mengetahui keterbatasan membuat kita bisa bersikap rendah hati dan lebih mengenali diri sendiri. Tak mungkin, bahkan sangat mustahil bagi orang yang tak kenal keterbatasannya bisa mengenali dirinya sendiri, apalagi untuk bisa mengenali Tuhan?

Ketika kita makan, kita tau kapan kita harus berhenti makan ketika kita mengetahui keterbatasan kapasitas perut kita dalam menampung makanan. Kalau kita tidak mengetahui kapasitas perut kita yang terbatas, sangat mungkin bagi kita bersikap seperti binatang buas yang rakus dan serakah.

Binatang buas tak akan berpikir untuk berhenti makan, selama makanan masih ada ia akan menghabiskannya pada saat itu juga, yang sebenarnya perilaku semacam itu tidaklah baik dan hanya akan merusak tubuh.

Pengetahuan dan pemahaman kita yang terbatas pun menyelamatkan dan membebaskan kita dari beban, emosi dan pikiran-pikiran negatif. Bayangkan saja, kalau kita bisa mendengar isi hati dan pikiran buruk orang-orang yang membenci kita. Sudah tentu hidup kita tidak akan tenang dan selalu terganggu.

Apalagi kalau kita bisa tau isi hati dan pikiran pasangan kita, saya berani taruhan kalau setiap kali dalam hati dan pikiran pasangan kita terbesit bayangan wajah orang lain. Kita bisa langsung curiga dan bisa jadi akan berpikiran yang tidak-tidak. Toh, tidak ada salahnya untuk tidak mengetahui segalanya, karena pada dasarnya kita adalah makhluk yang serba tidak tahu!

Kita tidak tahu bagaimana cara kita menggerakan detak jantung. Kita juga tidak tahu bagaimana cara kita bisa mengaktivasi nafas agar berhembus secara automatis. Semuanya berada di luar kendali kita, pun dengan masa depan, kita tak tau apakah nanti akan selalu cerah atau berlangsung dengan badai?

Batasan adalah sebuah anugrah dan anugrah bagaimanapun bentuknya wajib untuk disyukuri, sebagaimana kidung cinta dari seorang sufi pengembara:

“Bersyukur itu mudah jika semuanya berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Tetapi seorang hamba Tuhan yang tulus bersyukur bukan hanya atas apa yang telah diberikan, tetapi juga atas apa yang tidak diberikan.”


Kuningan, 4 April 2024