Senin, 03 Juni 2024

METAFORA KA'BAH



 

Mukadimah Poci Maiyah Juni 2024

Oleh: Abdullah Farid

 

Gelaran bulan Mei kemarin, dalam mukodimah sempat disisipkan salah satu sikap hidup menyadari kegembiraan. Di balik senyum seseorang, ada tangis yang sembunyi. Dalam tiap kegembiraan, manusia sejenak menutup mata dari derita yang ada di sisinya. Bersamaan dengan kebahagiaan memenuhi 'panggilan' Allah ke baitullah, ibadah haji di Mekah, saudara kita di Rafah Palestina diuji derita yang begitu parah. Doa terbaik untuk saudara di Ka'bah, juga untuk mereka di Rafah.


Metafora Ka'bah adalah simbol pusat spiritual. Bahwa ibadah haji, dengan memutari dan mencium batu, bukanlah dalam maksud menyembah 'kotak hitam' bernama Ka'bah. Melainkan simbol, bahwa umat Islam, pada awalnya, wajib taat dengan atau tanpa pemahaman mengapa harus melakukan ini dan itu. Seperti perbedaan Umar bin Khotob dengan Ali bin Abi Thalib saat mencium hajar aswad. Umar meyakinkan diri bahwa jika bukan karena rasulullah melakukan, ia tak akan melakukan mengistimewakan batu hitam Ka'bah itu. Sedangkan Ali berkata, bahwa kelak batu hitam itu juga akan bersaksi siapa yang mentaati Allah, dan siapa yang tidak. Keduanya benar. Selalu ada sisi dhohir dan batin dalam segala sesuatu.

 

Ka'bah menjadi pusat ibadah dan ujung perjalanan syariat yang tidak berhenti setelah mencapainya. Seorang haji bukanlah orang beriman yang telah tuntas dan selesai melaksanakan syariat Islam. Justru ia seharusnya, idealnya, menjadi orang yang lebih fokus, lebih giat, dalam menjalankan ibadah syariat lainnya. Haji hanya metafora ujung perjalanan syariat, yang jika ibarat naik gunung dan telah mencapai puncaknya, bukan berarti ketika turun gunung sudah tidak melakukan perjalanan hidup lainnya. Dalam gelaran bulan-bulan yang lain Poci Maiyah telah menggelar tema "Istiqomah Menjadi Manusia", jika pun manusia telah sampai ke derajat abdullah, khalifatullah, itu tidak lantas berhenti melakukan aktifitas-aktifitas kemanusiaan. Menjadi presiden itu tidak sama dengan berhenti menyapa tetangga, atau memberi makan kucing jalanan. Toh itu tak menjadikan kemuliaannya runtuh, justru semakin naik.

 

Ka'bah menjadi pancer umat Islam agar memiliki fokus dan arah dalam kehidupan spiritualnya. Bukan berarti kita 'dijajah' arab, dengan cara wajib melakukan haji. Seperti debat Umar dan Ali tadi, ketaatan tak hanya dilihat secara dhohir, tapi tak kalah penting juga secara batin. Sebab, ibarat kata yang tanpa makna, perjalanan hidup dan ibadah tanpa ruh, tanpa rasa, itu tak bisa disebut hidup. Sebab, hidup justru karena ruh, ketika manusia telah sempurna pembentukannya, ditiupkan ruh kepadanya, agar hidup. Tuhan saja meniupkan ruh, memberi rasa, mengapa justru manusia seakan melupakan rasa yang Tuhan titipkan? Ini mungkin penting untuk direnungkan.

 

Kisah bermakna tentang haji mungkin bisa kita kutip dari Abdullah bin Mubarok dan Ali bin Muwafaq. Saat sang sufi sedang thawaf, ada suara dari langit bahwa Ali bin Muwafaq yang tak sempat berhaji telah diterima ibadah haji-nya. Saat sufi itu mengecek siapakah Ali, ternyata hanya seorang tukang sol sepatu di pasar Khurasan, Iran. Menabung haji dari nge-sol sepatu, lalu karena istrinya yang ngidam ingin makan daging yang aromanya tercium dari jalanan, haji mereka gagal. Daging wangi itu adalah bangkai anjing jalanan yang dimasak dan akan dimakan oleh keluarga miskin yang anak-anaknya tak makan beberapa hari. Lalu dengan tangis berurai, Ali dan Istri memberikan semua tabungan haji mereka untuk keluarga itu.

 

Keikhlasan, umumnya tak dapat dicapai tanpa mendaki 'dua anak tangga' lain sebelumnya : sabar dan syukur. Ibarat dua kaki, jika mendapat nikmat kita bersyukur, dan jika mendapat ujian hidup kita bersabar. Ibarat kaki yang terus berjalan dalam suka ataupun duka, kaki tersebut akan penuh luka. Rasa sakit itulah yang disebut pengorbanan. Di satu sisi, umumnya manusia ingin hidup enak. Tapi di sisi lain, yang enak belum tentu baik, dan yang tak enak belum pasti buruk. Di Maiyah sedulur-sedulur sudah sering belajar ini. Wa asaa antakrohu syai-aw wa huwa khoirulakum...

 

Pengorbanan, atau luka-luka hidup ini yang konon akan 'dihitung' di akhir hidup manusia. Ibarat wudlu yang akan memberi cahaya pada kening, tangan dan kaki orang beriman, 'luka' atau derita hidup yang diikhlaskan untuk Allah akan menjadi bukti. Seberapa tinggi derajat cinta seorang hamba pada Tuhannya. Seperti ungkapan, man arofa nafsahu faqod arofa robbahu. Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Diksi 'Tuhan', menggunakan kata "robba", bukan Allah, bukan Ilah. Sebab, ibarat huruf, fi'il dan isim, kata "robba" itu adalah isim atau Dzat Allah. Tiada apapun selain Dia (Dzat Allah). Dalam khasanah tasawuf, seorang hamba tak akan sampai kepada "robba", selama ia belum ikhlas, murni, suci, 'lenyap' sisi-sisi dirinya sebagai manusia ataupun makhluk. Kesenangan dunia menjaga sisi diri manusia sebagai makhluk, dan kepedihan hidup menjadi jalan keikhlasan dan penyucian kepada Tuhan.

 

Semua perjalanan spiritual itu adalah petunjuk yang diwariskan Nabi Muhammad kepada umatnya. Umumnya, tak akan mampu dilalui jalan itu kecuali dengan sangat yakin kepada Tuhan dan nabi-Nya. Nabi yang membawa misi rahmatan lil alamin, kasih sayang untuk seluruh alam di lapisan semesta manapun itu. Kasih sayang yang adil, sesuai porsi, dan tak pilih kasih. Yang baik dijanjikan ganjaran indah, yang buruk ditunggu taubat dan jangan putus asa sebab ada syafaat. Rahmatan lil alamin inilah jembatan antara kekuatan intelektual dan spiritual dengan kehidupan nyata. Bagaimana caranya setiap potensi, kekuatan, ilmu, waktu, energi, seorang beriman dapat bermanfaat untuk semesta. Secara 'modern', nama lain dari rahmatan lil alamin adalah ekologi, atau jika agak dipaksakan, "bhineka tunggal ika", potensi dan aksi boleh berbeda-beda, tapi semua itu harus tersambung pada umat manusia. Menjaga kehidupan, dengan cara saling tersambung dan bermanfaat. Bukan tentang pencapaian yang tinggi, tapi apa yang manusia miliki, sekalipun kecil atau nampak sepele, agar dapat menolong atau membantu hidup sesama umat manusia atau makhluk Tuhan. Seperti Ka'bah, jika dilihat dari langit, hanyalah titik hitam kecil. Tapi di sanalah energi bumi didaur ulang, dan kehidupan bumi secara keseluruhan dapat terus berlangsung.

 

Sabtu, 1 Juni 2024