Mukadimah
Poci Maiyah Februari 2024
Oleh:
Abdullah Farid
Al-Ma'idah ayat 35
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.
Tema kali ini, kita akan tadabur
dari kisah hidup "LANJARAN". Wa ma adroka ma LANJARAN? Adalah
batangan kayu atau bambu yang digunakan untuk merambat atau penyanggah tanaman
dari awal penanaman hingga bisa berdiri sendiri.
Tentang konsep hilangnya
keberkahan atas apa yang dimiliki manusia, baik ilmu, harta, kedudukan, dan
sebagainya. Karena salah satu sebab yaitu melupakan LANJARAN awal mula manusia
mengenal apapun di dunia ini. LANJARAN orang berilmu, misalnya, adalah orang
tua, guru-guru kita dari kecil hingga hari ini. Ketika kita sudah berada pada
kondisi atau keadaan yang lebih baik dari orang yang pernah berjasa, umumnya
kita menyepelekan dan menganggap lebih unggul dari mereka. Sehingga hilangnya
takdim atau rasa hormat kepada siapapun yang pernah berjasa. Di sisi lain,
hidup ini menjadi berkah jika kesuksesan diiringan dengan ridho orang tua dan
guru. Karena ridho guru adalah salah satu syarat manfaatnya ilmu.
Dunia memang berputar. Awalnya
manusia tak tahu apa-apa, kemudian dituntun, dididik, oleh Lanjaran mereka
masing-masing. Orang tua, guru, saudara, teman, atasan kerja adalah sandaran
tiap orang pada umumnya. Pada awalnya manusia tak tahu, lalu sebab lanjaran
tersebut ia jadi tahu. Tapi ditingkat terakhir, manusia menjadi tidak tahu
lagi. Awalnya manusia tidak tahu bagaimana cara sukses, kemudian dia mencari
lanjaran, washilah, agar sukses, tapi ketika kesuksesan diraih, ia kembali
dalam kesadaran tidak tahu tentang kesuksesan. Ia mungkin bertanya dalam diri :
_Apakah ini yang disebut kesuksesan?
Awalnya manusia tidak tahu baik
dan buruk, lalu manusia belajar agar tahu mana baik dan buruk menurut ilmu.
Tapi pada akhirnya, manusia kembali tidak tahu mana yang baik dan buruk, sebab
yang baik menurutnya belum tentu baik juga menurut Tuhan. Ini memang dilema,
dan paradoks memang menyebalkan.
Seperti halnya lanjaran,
seseorang membutuhkan guru atau guru yang membutuhkan murid? Jika pun si murid
melupakan jasanya, apakah sang guru akan kecewa? Bukankah tujuan ia mendidik
itu bukan karena si murid itu? Sang guru juga sebenarnya menjadikan si murid
adalah lanjaran untuk mendapatkan imbalan, entah dunia ataupun akhirat. Jadi,
sebenarnya siapa yang menjadi lanjaran dalam hal ini?
Dalam ayat yang dikutip di atas,
berjuanglah, agar engkau beruntung. Titik pentingnya ada dalam perjuangan.
Sebab, guru atau siswa, anak atau orang tua, bos atau karyawan, semua saling
menjadikan lanjaran. Dan mungkin makna keberkahan adalah itu : ketika
perjuangan tak berhenti apapun kondisi yang terjadi. Selain makna lain, bahwa
kenyataan yang tak sesuai harapan, namun tetap menjadikan seseorang semangat
berjuang dan mendekatkan dirinya pada Tuhan.
Manusia hidup berawal dari
permukaan jasadnya. Lalu mendaki dan nyaman dengan akalnya. Tapi sebaiknya
terus naik sampai ia tinggal di dalam hatinya. Tanpa dilema, drama, dan
paradoks dunia. Manusia tidak hanya berurusan dengan makan dan minum saja,
pakaian dan hiasan hidup jasadiyah saja. Tetapi juga ilmu, yang menjadikan
hidup terarah dan nyaman selama berpikir dengan seimbang. Tapi pada akhirnya
manusia harus mendudukkan akal pikirannya, agar ia sampai pada hati yang
terdalam. Sebab, seringkali manusia memiliki ujian atau masalah yang
penyelesaiannya tak cukup dengan data aqliyah saja. Data-data inderawi dan
olahan pikiran tak cukup mampu untuk meredakan dilema-dilema batin. Maka
perjalanan dan perjuangan harus terus dilakukan sampai ke hati. Harus mencari
lanjaran yang mau menuntun pelan-pelan, dan tanpa imbalan. Sebab, jikapun
ketakdziman dan rasa hormat hilang pada orang tua dan guru, maka balasan dari
Tuhan memang lebih layak untuk diharapkan. Lagipula, imbalan apa yang bisa
membuat puas dari seorang manusia, jika Tuhan menjanjikan yang jauh lebih baik
darinya?
Kamis, 1 Februari 2024