Minggu, 10 Juni 2018

Perwujudan Cinta di GBN

Oleh : Mohamad Ilmi Alhakim
"Malam sabtu di minggu pertama setiap bulannya, ternyata menjadi malam yang menggembirakan bagi sekelompok orang di belahan dunia tertentu, ada rutinitas yang menjadi semacam ritual berbagi cinta."

Mencari jadwal setiap agenda di media sosial adalah pilihan yang tepat bagi saya yang pengangguran, maka saya berijtihad bahwa memiliki akun facebook, twitter dan instagram adalah sebuah keharusan untuk dapat menemukan acara apapun di manapun sebagai pengisi waktu luang. Meskipun tidak digunakan semestinya untuk bersosial, karena saya tidak dapat menuangkan ide gagasan untuk menulis status di facebook, foto yang keren untuk diunggah di instagram, apalagi cuitan singkat di twitter yang hanya 140 karakter tidak sebanding dengan banyaknya permasalahan dan beban hidup.

Sebagai pengangguran maka hukumnya fardhu kifayah bagi saya untuk menfollow akun-akun yang membagikan jadwal acara di daerah tertentu. Dari sana bisa menemukan segala macam kegiatan, mulai; konser musik, parade budaya, diskusi publik, sampai kegiatan pembagian sembako yang tentunya menjadi favorit bagi saya pengangguran pemburu gratisan.

Karena sudah merasa cukup stalking di sosial media, maka saya menjatuhkan hati untuk mengikuti acara rutinan majelis masyarakat maiyah Poci Maiyah untuk pertama kalinya di tlatah Tegal. Hanya dengan persiapan seadanya, sisiran jaketan topi-nan dan membawa kripik kacang, ekspetasi acaranya adalah sekadar moci bareng, tetapi itu adalah prediksi yang salah. Karenanya, sebagai pengangguran yang tidak memiliki banyak alternatif hiburan, kehadiran Poci Maiyah sangat sukses menjadi penolong, membantu banyak pengangguran untuk beraktifitas di tengah padatnya pekerjaan.

Acara dimulai dengan wirid dan shalawat, cukup menenangkan bagi hati yang nganggur tak pernah mengingat-Nya, bagi lidah yang nganggur tak pernah berucap salam kepada Nabi-Nya. Dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sontak saya merasa seperti handphone silent hanya bergetar tanpa ada suara keluar, mungkin karena jiwa yang sudah lama nganggur mendapatkan nasihat kebangsaan. Setelah itu dibawakan lagu dengan lirik berbahasa arab, ini mengobati saya yang sudah lama nganggur mendengarkan syair timur tengah. Sungguh malam itu saya menjadi pengangguran yang paripurna.

Semakin malam lingkaran Poci Maiyah semakin hangat selaras dengan pembahasan tema. Saya berpikir bahwa ini adalah pengejawantahan dari konsep keadilan sosial. Karena yang datang memiliki latar belakang berbeda, ada yang berprofesi guru, dosen dan tenaga pengajar. Ada juga yang bekerja sebagai karyawan, tukang bangunan dan pedagang serta pastinya, pengangguran. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan pendapat dan bertanya. Semuanya memiliki posisi yang sama dan tidak dibebankan untuk menerima sebuah pendapat.

Tidak ada yang sibuk bermain dengan gawai ketika salah satu dari mereka berbicara, karena ada cemilan yang tidak putus dari sedulur yang ikhlas bersedekah dan saya sama sekali tidak merasa bosan apalagi ngantuk, karena ada yang rela memasak air untuk menghidangkan kopi secara cuma-cuma. Tiba-tiba waktu mengisyaratkan untuk berakhir. Lantunan do'a dan ajakan untuk bertemu kembali melingkar pada malam sabtu minggu pertama setiap bulannya menjadi penutup yang menggembirakan.

Pada titik ini, saya merasa Poci Maiyah tidak akan mengurangi pengangguran, tapi setidaknya, akan ada pengangguran yang tidak merasa nganggur.