Oleh : Mohamad Ilmi Alhakim
"Malam
sabtu di minggu pertama setiap bulannya, ternyata menjadi malam yang
menggembirakan bagi sekelompok orang di belahan dunia tertentu, ada
rutinitas yang menjadi semacam ritual berbagi cinta."
Mencari jadwal setiap agenda di media sosial adalah pilihan yang tepat bagi saya yang pengangguran, maka saya berijtihad
bahwa memiliki akun facebook, twitter dan instagram adalah sebuah
keharusan untuk dapat menemukan acara apapun di manapun sebagai pengisi
waktu luang. Meskipun tidak digunakan semestinya untuk bersosial, karena
saya tidak dapat menuangkan ide gagasan untuk menulis status di
facebook, foto yang keren untuk diunggah di instagram, apalagi cuitan
singkat di twitter yang hanya 140 karakter tidak sebanding dengan
banyaknya permasalahan dan beban hidup.
Sebagai pengangguran maka hukumnya fardhu kifayah bagi saya untuk menfollow
akun-akun yang membagikan jadwal acara di daerah tertentu. Dari sana
bisa menemukan segala macam kegiatan, mulai; konser musik, parade
budaya, diskusi publik, sampai kegiatan pembagian sembako yang tentunya
menjadi favorit bagi saya pengangguran pemburu gratisan.
Karena sudah merasa cukup stalking
di sosial media, maka saya menjatuhkan hati untuk mengikuti acara
rutinan majelis masyarakat maiyah Poci Maiyah untuk pertama kalinya di tlatah Tegal. Hanya dengan persiapan seadanya, sisiran jaketan topi-nan
dan membawa kripik kacang, ekspetasi acaranya adalah sekadar moci
bareng, tetapi itu adalah prediksi yang salah. Karenanya, sebagai
pengangguran yang tidak memiliki banyak alternatif hiburan, kehadiran
Poci Maiyah sangat sukses menjadi penolong, membantu banyak pengangguran
untuk beraktifitas di tengah padatnya pekerjaan.
Acara dimulai dengan wirid dan shalawat, cukup menenangkan bagi hati yang nganggur tak pernah mengingat-Nya, bagi lidah yang nganggur tak pernah berucap salam kepada Nabi-Nya. Dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sontak saya merasa seperti handphone silent hanya bergetar tanpa ada suara keluar, mungkin karena jiwa yang sudah lama nganggur mendapatkan nasihat kebangsaan. Setelah itu dibawakan lagu dengan lirik berbahasa arab, ini mengobati saya yang sudah lama nganggur mendengarkan syair timur tengah. Sungguh malam itu saya menjadi pengangguran yang paripurna.
Semakin
malam lingkaran Poci Maiyah semakin hangat selaras dengan pembahasan
tema. Saya berpikir bahwa ini adalah pengejawantahan dari konsep
keadilan sosial. Karena yang datang memiliki latar belakang berbeda, ada
yang berprofesi guru, dosen dan tenaga pengajar. Ada juga yang bekerja
sebagai karyawan, tukang bangunan dan pedagang serta pastinya,
pengangguran. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan
pendapat dan bertanya. Semuanya memiliki posisi yang sama dan tidak
dibebankan untuk menerima sebuah pendapat.
Tidak
ada yang sibuk bermain dengan gawai ketika salah satu dari mereka
berbicara, karena ada cemilan yang tidak putus dari sedulur yang ikhlas
bersedekah dan saya sama sekali tidak merasa bosan apalagi ngantuk,
karena ada yang rela memasak air untuk menghidangkan kopi secara
cuma-cuma. Tiba-tiba waktu mengisyaratkan untuk berakhir. Lantunan do'a
dan ajakan untuk bertemu kembali melingkar pada malam sabtu minggu
pertama setiap bulannya menjadi penutup yang menggembirakan.
Pada
titik ini, saya merasa Poci Maiyah tidak akan mengurangi pengangguran,
tapi setidaknya, akan ada pengangguran yang tidak merasa nganggur.