Reportase Poci Maiyah Edisi September 2018Tidak Lupa Basmallah
________________
°Gunung
"La
Ya'riful waliy illal waliy - La ya'riful Mu'adzin illal Mu'adzin"
Tidak
ada yang akan mengenali (siapa) Waliy kecuali (ia sendiri adalah) Waliy - tidak ada yang akan mengenali (siapa) Muadzin kecuali (ia sendiri
adalah) Muadzin.
Kemudian, meski berada pada atap yang
sama, berada pada tempat yang sama, saling berhadapan, apakah sama (kedudukan,
fungsi, pengalaman, jiwa, lahan juang,
value, moral, integritas,
harga diri, kebanggan,
kepercayaan diri) seorang Muadzin Sejati dengan ia atau mereka yang hany
melihat dan mendengarkannya sjaa?
° Awan-awan
dan Daratan
Jemuah Malam, 07 September 2018, Sinau
Bareng di Monumen GBN Slawi adalah satu titik momentum dari terhubungnya
ratusan, ribuan, bahkan bisa milyaran peristiwa dari semua keadaaan manusia,
jin, iblis, malaikat, pohon, awan, bulan, matahari, angin,
rumput, tikus, kecoa, musim, laut, gunung, rangkaian kode
binner 1-0/0-1, frekuensi internet, gelombang energi listrik yang mengalir,
hingga jatuhnya satu daun atas setianya pada gravitasi. Kesemuanya itu dalam
Skala Semesta (Sunnatullah), yang berparan pada takdir-takdir dan Kehendak Sang
Maha Ada.
Maka jelas bahwa tulisan ini akan sangat
memiliki keterbatasan untuk menggambarkan, melaporkan, menarasikan silang-sengkarut, keterhubungan
antara satu realita dengan seluruh fakta-fakta yang ada. Karena setiap sebab akan
melahirkan akibat, dan setiap akibat
menjadi sebab baru dalam siklus dauriah manusia, itupun jika sebabnya hanya
muncul dari satu sumber, jika dari
berbagai sumber? bisa bayangkan betapa dahsyatnya gelombang akibat yang akan
lahir?
Siapa bilang bahwa gelaran Sinau Bareng di
GBN adalah sulap bam-bim-bum bim-sala-bim ujug-ujuga ada? Bahkan sekaliber
peristiwa yang membuat shock bangsawan Negeri Saba beserta Ratunya, setelah
perjalanan nan jauh dan lama ditempuh, ternyata mereka mendapati Keraton Saba
bisa ada di wilayah Sulaiman, di depan
mata mereka persis. Kejadian inipun tidak makbedudu/ujug-ujug terjadi tanpa
sebab. Dibalik teror yang dirasakan bangsawan Negeri Saba atas kedahsyatan itu,
justeru salah satu faktor penyebabnya malah di karenakan oleh seekor burung
(yang konon) bernama Hud-hud.
SubhnAllah.
"Selama ini
mungkin kita belum terlalu mengasah kepekaan rasa, kelantipan akal, ketajaman hati atas hal-hal yang kita alami
untuk bisa mentadaburrinya secara dalam."
***
Adalah Kang Ajat, yang biasa menjadi operator sound system,
sekaligus mengangkut peralatan sound itu bersama Ayi Fahmi, sekaligus pemain musik pada setiap Gelaran
Sinau Bareng GBN, tiba-tiba hilang entah kemana sejak hari kamis (Semoga Allah
menjaga dan melimpahkan berkah padanya), atau Ayi Fahmi yang berhalangan untuk
bisa hadir tepat waktu seperti biasanya, padahal kendaran untuk mengangkut
sound menggunakan mobil Ayi Fahmi
biasanya. Dihubungilah Mbah Wali (Kang Samsul) selaku pemiliki kendaraan cadangan jika Ayi Fahmi tidak bisa, dan wow,
mobil Kang Samsulpun sedang tidak bisa dikondisikan untuk menyelasaikan
persoalan itu. Dicarilah cara, bahwa
sound akan diangkut sore hari dengan tetap menggunakan mobil Ayi Fahmi, dengan
catatan harus ada yang menggantikan peran Kang Ajat yang hilang, solusi
disepakati, sore diangkut. Kemudian sore waktunya, you know what? Hujan!!! It's Amaziiiiiing, Namun selesailah satu persoalan prepare itu, karena
hujan tak berlangsung lama, dan
disyukuri juga hujan turun sore hari, bukan malamnnya.
Mas Isal, Mas Okim, Mas Oki, Mas Faras, Mas
Soni, dan Mas Luth telah stand by seusai maghrib, terpal di gelar, listrik disambungkan, tembok GBN di panjat agar Banner Poci Maiyah
bisa ditegakan sebagaimana kain putih para dalang dalam pagelaran wayang. Kang
Fahmi tiba, sound system di persiapkan,
simulasi Host dan Moderatorpun digladikan.
Entah bagaimana, Poci Maiyah memang selalu,
dan sepertinya memang sudah terbiasa jika para penggiatnya ternyata Allah didik
secara langsung. Untuk bertanggung jawab, sekaligus merasakan lezatnya ilmu
Allah, atas ilmu dalam tema-tema yang di pilih PM baik jemuah itu atau
sebelum-sebelumnya. Dididik agar tidak terlalu serampangan, tidak
membabi-buta, tidak menjaga
keseimbangannnya dalam menyuguhkan Gelaran Sinau Bareng, agar tidak ada
kemenangan individu namun justeru kemenangan bersamalah yang dituju, sehingga semuanya mampu menikmati dan
benar-benar mendarah daging menyelami ilmu-ilmu tersebut.
Sebagaimana ruh Sinau Bareng dalam maiyah
tidak akan tega menelantarkan satu orangpun untuk lolos dari radaranya.
Seolah-olah, semacam ada energi yang
memaksa siapapun yang berada di dalam kubah maiyah, di dalam alirannya, di dalam getarannya untuk benar-benar ikut
Sinau. Bahkan bisa jadi, kita yang berproses saat itu, atau anda yang sedang membaca tulisan ini, memang
"sedang disadarkan tanpa sadar
sedang disadarkan".
Adapaun proses tumbuh-kembangnya ilmu itu,
jelas kembali pada diri kita masing-masing. Tentang bagaimana merawatnya hingga
tumbuh dan berkembang, telatenkah,
bersyukurkah, bersabarkah, istikomahkah atau tidak menyentuhnya sama
sekali? yang proses sinau itu justeru seringkali al qur'an sindir dengan
kalimat; "afala ta'qiluwn, afala tatafakarun, afala yatadabbaruwn?"
Maka tema bertajuk "Kesadaran
Mu'adzin", menjadi kenikmatan luar biasa pada gelaran Sinau Bareng jemuah
itu, apakah para pesinaunya benar-benar mengerti apa itu Kesadaran, apa itu sadar, apa itu menyadari, bagaimana
proses kesadaran berlangsung, kenapa
perlu adanya penyadaran. Atau bahkan tidak sadar, bahwa ketimbang akalnya, ternyata seluruh anggota tubuhnya telah sadar
terlebih dahulu.
Kubah Maiyah di bangun, Sinau Bareng di gelar, Mas Oki sebagai Host dan Mas Faras sebagai
moderAtor saat itu sudah mengalami keterbimbingan spiritual secara langsung, atas grogi dan gugupnya menghadapi proses
latihan di Poci edisi September. Mas Oki bahkan sampai lupa dan ketlisut-tlisut
melafalkan suroh al falaq, atau Mas Wisnu yang sudah kepayahan tenaga dan
fikirannya seharian tetap setia memimpin Lagu Indonesia Raya untuk dinyanyikan,
atau Mas Mustofa Ups yang langsung tandang menemani Mas Oki di depan. Juga Mas
Luth yang akrab di panggil kakine
memekik keras tapi tidak kuat, dan berakhir fals ketika menyanyikan Sohibu
Baity. Sungguh mesra dan Indah bagaimana Allah bertajalli kepada hamba-hambaNya.
Pukul 21.12 gelaran Sinau Bareng masih sangat
sepi, berkisar 11an orang saja yang duduk melingkar, meski ada beberapa anak muda yang biasa
melingkar, entah kenapa malam itu memilih menggerombol terlebih dahulu di
tempat parkir. Mbah Nahar dan Ayi Fahmi yang nota bene masih belum datangpun
menjadi bagian-bagian dari sinau itu tersendiri. Namun alhamdulillah Mbah Wali
dan Kang Stadz Ali sudah stand by.
Perkenalan di gelombangkan sebagai cooling
down para jamaah yang masih hangat melingkar, agar kegundahan dan ketidak
nyamanan di redakan, tidak lebih karena
begitulah Poci Maiyah Allah rizkikan ke Tegal sebagai tempat bebrayan
paseduluran penuh tawa dan mesra. kemudian berlanjut Mukodimah di tadaruskan
oleh Mas Faras yang memimpin, khidmat
mendengarkan intonasi, cara baca, cara eja, warna suara dari para jama'ah. Lho? Isi tulisan mukodimahnya? itu nomor
sekian, karena kesediaan para jamaah mau
mensedekahkan suaranya untuk di dengar saja, sudah merupakan kenikmatan
tersendiri. Toh untuk apa memaksa-maksa paham dalam Sinau Bareng, wong kita sudah yakin bahwa Allahlah Yang
Maha Memberi Pemahaman atas IlmuNya ko, kapan di berinya? ya terserah Allah
saja. Berarti manusia tidak memiliki peran untuk bisa memahaminya? ya tetap beperan, namun hanya "nandur", Allah
sendirilah dengan Segala Maha PengayomNya (Ar Robbun) yang murni Menumbuhkan
ilmu itu di dalam kesadaran para pesinau.
Justeru "nandur" itu yang perlu
di telaah lebih jauh oleh para pesinaunya, ia benar nandur atau tidak, meski
berbeda-beda terhadap apa yang ia tandur.
Semisal sudah ia tandur kerelaannya untuk sinaukah? tandur ketawadluan? tandur kesiapan
mendapatkan sesuatu yang baru, tandur kesabaran bila tidak menemukan yang ia
cari, tandur kewaspadaan jika ia
bersyahwat ingin menggurui, tandur kemesraan
bahwa ia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa tanpa Allah mengaruniainya segala
sesuatu yang ia menej, sudahkah? Karena bisa jadi, begitu banyak tetes-tetes hikmah dan ilmu
yang bisa ia peroleh, namun tertolak begitu saja karena ia telah penuh dengan
dirinya sendiri.
***
°Teduh
Begitu syahdu, ketika Mas Okim menyelingi fase tadarus para
jama'ah dengan membawakan lagu karyanya sendiri berjudul "Indonesia",
ada energi dan pusaran sunnatullah yang terjadi. Saat beliau mulai menenteng
gitar, duduk dan bernyanyi solo, setelah beberapa lirik Mas Wisnu mendekat
mengiringi dengan bass, Kang Aziz
menyusul dengan menabuh Cajon, eh, suaranya Cajon ternyata tidak masuk kedalam
sound system, Kang Isal langsung tandang
memegang mic berjongkong di belakang Cajon. Mbah Nahar sudah terlihat membawa beberapa berkat. Terencanakah? 100% tidak,
kebetulankah? adakah yang disebut
kebetulan jika Allah adalah pusat segala kesadaran?
Sinau berlanjut dengan trio Mus, Oki dan Faras memantik para jama'ah. Mus
menelusuri mukodimah pada bagian pertama, tentang sesuatu itu sebenarnya rumit,
tapi jika itu adalah Allah yang Menciptakan bahasa Mus menyampaiakan;
"Rumit tapi tata."
Kemudian Kang Aziz merespon;
"Kesadaran Muadzin mengajak kita untuk
bergerak lebih dulu, tapi sapa sih yang mau menjadi muadzin? muadzin ga keren, muadzin banyak diluapakan."
Kang Aziz berkelakar tentang ;
"Aku bagian rencekan, sing alim-alim keri, nang mburi,
dadi sebisa-bisane aku ya."
Kang Samsul merespon;
"Saya kira tema ini memang di gelar
karena isu-isu yang baru-baru ini muncul,
antara suara adzan dan speaker. Tapi ternyata mukodimah langsung
menjawab bahwa tema ini bukan tentang itu.
Lalu sebenarnya titik pijaknya apa untuk memahami Kesadaran Mu'adzin
itu?"
Kang Stadz Ali juga menyampaikan bahwa;
"Di obrolan kita ini kita menjumpai
jika ada kadar tertentu menuju kesadaran,
dimulai dari tahu-merasa-dan sadar"
Kang Faras menambahi;
"Berarti intinya adzan tidak hanya
dalam urusan sholat saja, mengajak, berlaku,
selama itu baik atau bermuatan kebaikan itulah adzan"
Sampai Mbah Nahar juga urun suara;
"Kesadaran Muadzin adalah Kesadaran
Toa".
Yang terakhir masih menjadi misteri kenapa
bisa disebut Toa atau spekaer. Yang jelas guyon rencekan menjadi semakin absurd
dan sangat menular, semua ikut-ikut membahas masalan rencekan dan muallim. Dan
Pada gilirannya, Ketika Ayi Fahmi, Mbah Nahar dan Kang Luay memasuki lingkaran, dimulailah perhelatan
ilmu
°Gerimis Melanda Hati
"Saatnya yang Alim berbicara, dan rencekan menyimak" celoteh Ayi Fahmi
menanggapi kelakar Kang Aziz. Kang Aziz langsung merespon;
"Saiki ana kasta-kasta nang
Poci?"
"lha sampean sing marahi" balas
mas Oki selaku host.
"Adzan adalah segala urusan
kebaikan, dan Kesadaram berbuat baik bukan
berpijak pada hasil" ucap Kang Fahmi, disambung oleh Mbah Nahar ;
"Tentang Adzan, secara syari'at adzan lahir sebagai kebutuhan
umat islam zaman Rosulullah, dimulai
dari deretan sejarah apakah akan menggunakan lonceng, api,
atau apa, dan akhirnya salah satu
sahabat mendapatkan mimpi tentang adzan dan Rosulullah meminta bilal
mengumandangkan adzan, Bilal bin Rabba lah yang menjadi Muadzin pertama di
dunia.
Dan tentang isu adzan beberapa waktu
lalu, ini berkaitan dengan urusan
Kesadaran. Terkadang kita menjumpai seorang muadzin tidak bersuara merdu, yang aneh justeru ia yang bersuara merdu
malah menyinyiri, bukannya bangun dan
menjawab persoalan itu.
Adzan tidak hanya dikumandangkan untuk
mengundang umat islam, ada adzan saat bayi lahir, saat mengantar pemberangatan haji. Justeru
yang menarik, sama-sama pergi
jauhnya, tapi kenapa tidak semua di
adzani? seperti contoh jika ingin merantau, wartegan. Berarti memang ada momentum khusus terkait
Kesadaran Muadzin ini".
Host merespon bahwa "Sombongpun
ternyata butuh penonton, apa-apa yang diniatkan, jika itu kesombongan,
bagaimana bisa sombong jika tidak ada yang menonton". Entah bagaimana host kemudian merespon
demikan, yang jelas meski langit cerah
malam itu, tapi sepertinya gerimis
memang mulai turun membasahi hati Jannatul Maiyah di lingkaran itu, siapa yang
merasa? wAllahua'lam, karena berikutnya
ketika Host memasrahkan microphone kepada Kang Lu'ay, yang sedari tadi diam
tersenyum memerhatikan, justeru respon yang di berikan bukan langsung melompat
ke bahasan sinau bareng saat itu, namun
mengjak para jama'ah untuk bersama-sama melantunkan sholawat ; "Mawlaya Sholli Wasallimda iman
abada, ala habibiy ka khoiyril kholki
kullihimi" dan seterusnya, kemudian berlanjut
membedah tema dan tulisan mukodimah selaku penulis mukodimah tersebut.
"Sugeng Rawuh untuk sedulur-sedulur
semua pada malam hari ini, saya akan mengawali pertama kali obrolan ini dengan
kembali memaknai idiom Sinau Bareng. Bahwa apa yang disebut rencekan dan mualim
tidak ada di Sinau Bareng, karena Sinau
Bareng berpijak pada kesadaran Sinau,
bahwa apakah saya lebih tau dari mas oki adalah tidak benar, atau mas oki mengetahui apa yang saya tahu
juga tidak pasti, yang pasti adalah saya
tidak lebih tau, tapi kalau lebih tua
iya."
"Di dalam Sinau Bareng tidak ada
budaya Guru dan Murid, kita sama-sama
sinau, kita sama-sama mencari tau, adapaun yang mendidik, adalah bentuk tawadlu kita agar Allah
saja, Ar Robbu, Maha Pendidik yang akan
mendidik kita disini. Karena budaya mengajar sudah fatal dn menjadi
mengajari, menggurui di Indonesia, kita bisa melihat keadaan sosial hari
ini, banyak sekali orang rebutan bener
dan ingin mulang. Bahkan di televisi sudah semakin rusak di komersilkan, sampai
salah satu program semacam pildacil menjadi kasus nyata. Lha bocah cilik, akil baligh durung, sunnat durung, esih umbelen sudah di ajari mulang-mulangi
wong tuwa? ini kan fatal secara adab.
Maka Sinau Bareng justeru mengembalikan makna sebenarnya dari belajar, kita
sama-sama sinau dan mewaspadai bahwa dirinya punya banyak kemungkinan keliru.
Kalangan santri seumpama, kaum santri
terbiasa mengkonsumsi kisah-kisah anbiya, rosul dan para sufi, namun tidak utuh
cara pandangnya. Kebanyakan hanya merasa bahwa ia menjadi protagonis dan heroik
dalam kisah-kisah tersebut, tanpa
mewaspadai bahwa saat ia merasa lebih baik dia jadi iblis, jika pembangkang ia tidak jadi Musa namun
bani isroilnya, ketika ia naksir
pasangan orang ia justeru jadi Namrud atas Sarah istri Khalilullah
Ibrohim, dan seterusnya.
Ciri-ciri manusia modern itu cacat, tidak utuh sama sekali. Kita di
kotak-kotak, di pecah-pecah menjadi
profesi-profesi, coba kita sinauni apa profesi Rosulullah?"
Kang Luay senyam-senyum melihat jama'ah
terdiam, beberapa manggut-manggut, beberapa mengerutkan kening, dan lainnya
rebutan roti maryam.
"Tidak bisa kita kotak-kotakan
Rosulullah, beliau ya bisa jadi pedagang,
penggembala, peracik strategi
perang, pemimpin, dan lain sebagainya. Maen-maenlah ke desa yang kontaminasi
modernitasnya belum terlalu parah, liat ana desa disana, seusia kita. Dia bisa
angon, bisa nukang, bisa mimpin tahlil, bisa mimpin rapat RT, bisa bertani,
apa profesi dia? utuh. Maka perlu difahami guyon rencek dan alim tadi
adalah bentuk kemesraan belaka".
"Kita masuk ke tema Kesadaran Muadzin
sekarang, murni tema ini muncul sebagai jawaban atas persoalan bagaimana dan
dari titik apa kita harus melangkah dengan kondisi semacam ini, maka munculah tema kesadaran muadzin di rumah
Kang Faraz jauh sebelum ada isu-isu yang muncul. Dan njenengan cobalah lihat
para muadzin-muadzin kita, mereka capek
lho, sampe-sampe tetanggaku itu ada yang
adzan sambil duduk, gegerlah warga dan
bertanya kenapa demikian. Si Muadzin santai merespon.
'Allah, ngadeg ya sing teka loro, njagong ya sing teka loro, mending enyong esih njagong, ari nglabrug pimen?'
Gerrr,
jama'ah pecah tertawa. Bisa nglawak ternyata Kang Luay.
"Ada lagi yang namanya Pak Surip, puji-pujiannya sampe di jahili bocah-bocah
karena terlalu stagnan;
"Gusti Allah Pangeran Kawula, Nabi Muhammad nabi Kawula, Agama islam agama kawula"
dan besoknya bocah-bocah itu ngeduluim
adzan dan langsung puji-pujian;
"Gusti
Allah Pangerane Pak Surip, Nabi Muhammad
Nabine Pak Surip, Agama Islam Agamane
Pak Surip, kabeh-kabeh di akoni Pak
Surip"
****
Suasana semakin mesra dan hangat dengan
guyon-guyon yang sukses bikin ngakak tapi tetap dalam batas bahasan tema.
Gerimis mulai rintik-rintik membasahi,
adapun yang hatinya keras dan beku, maka ia tetap butuh waktu.
"Mereka capek lho, orang-orang tua itu lelah. Maka tema kali ini menyelami khasanah
Kesadaran Mu'adzin, bahwa kesadaran muadzin tidak dibangun keluar, tidak dengan awal mula membangun negara, ekonomi, gedung-gedung, namun manusia, dan di mulai dari diri sendiri."
Fase ini di jeda dengan Ayi Fahmi
menyanyikan lagu Opik Astaghfirullah sebagai penyambung sesi tanya jawab
berikutnya. Kang Farid mengawali perkenalan dan menceritakan pengalamannya
bermaiyah, termasuk bagiamana beliau
mengayomi anak-anak seumuran SMA agar bisa saling ngaji bareng, juga memberikan
info jika ingin subacribe youtubenya bisa mengunjungi
PociMaiyahPantura.Com, beliau bertanya;
"Kita yang masuk islam atau islam yang
masuk kita? Karena ada keterangan yang menytakan bahwa setiap manusia yang
terlahir suci, tapi orang tuanyalah yang
menjadikan ia yahudi atau nasrani"
Mas bima juga bertanya;
"Apakah ada metodologi yang bisa kita
pakai untuk memperoleh kesadaran, bagaimana struktur dan tingkatnya?"
Dan ternyata ada jamaah maiyah kanoman dari
randu dongkal pemalang urun memberikan respon.
"Jika dilihat, kesadaran itu lebih tinggi ketimbang
ketaatan. Taat itu bersifat hukum militwe,
seperti prajurit, tapi kesadaran
sudah lebih dari ketaatan."
Kang Moka menambah kemesraan dengan turut
bertanya;
"Selama ini kita terus memasukan
teori-teori dan ilmu di kepala kita, sampai berjubel dan semakin membuat
pusing, tapi kapan kita
mengaplikasikannya? Kenapa tidak kita praktekan dulu saja?"
Host langsung mempersilahkan untuk di
respon, dan Ayi Fahmi yang pertama kali
merespon;
" Kita tidak di tuntut harus memahami
segala hal, sering saya contohkan bahwa
dalam maiyah anda diam saja sudah bagian dari maiyah. Atau kita bisa melihat
stand mic, apa cuma microphone saja yang
berperan karena mampu menyalurkan suara? jelas tidak stand mic juga berperan,
dalam diamnya.
Kemudian tentang metode untuk meraih
kesadaran, meniadalah. Kita bisa saja
merasa sadar tapi siapa yang tahu?
apalagi jika itu pada sirr hati kita,
yang kesombongannya sangat halus sekali."
Kang Luay menambahkan dan terdengar seolah
semua pertanyaan-pertanyaan itu justeru di bongkar habis-habisan.
"Sebelumnya, untuk beberapa minggu ini saya sedang
mentadaburri untuk tidak terlalu tergerus dengan matrealisme, dengan sesuatu yang terlalu mengandalkan mata
atau indera lainnya, dan
membenda-bendakan sesuatu.
Maka pertanyaan kita masuk islam atau islam
yang masuk kita bukankah jika tidak hati-hati kita menjebak diri kita pada
matrealisme juga. Urusan masuk dan tidak kan Konsep Ruang, ada atas-bawah, kutub selatan-utara, timur-barat,
tinggi-renda, besar-kecil, dan
bias-ambigunya kita justeru menganggap ruang seperti kotak-kotak di dalam
ruang, ada sekat-sekat. Sekarang anda bayangkan ruang angkasa, antariksa,
disana sudah tidak ada timur-barat,
atas-bawah, bahkan konsep waktu secara indera tidak ada, karena siang-malam tidak ada disana. Itu baru antariksa, belum tentang jiwa yang
immateri/non-materi, tapi spirit. Ini
juga sekaligus merespon mas Shofa dari Kanoman,
kita terlalu terjebak pada maqom-maqom dan bias mengartikan maqom adalah
perpindahan dari tingkat satu menuju lainnya, dan munculah kelas-kelas
sosial, kasta-kasta. Tidak utuh lagi
kan, padahal hakikat manusia itu tidak
berpindah makom, tapi tumbuh.
Mak baiknya kita awali dengan Kesadaran
Muadzin ini, dari diri sendiri, mulai dengan mengenali siapa dirimu, menerima
dirimu seutuhnya, mengkhilafahi
dirimu, namun tidak memaksa orang lain
menjadi seperti dirimu.
Sekarang saya tanya, adakah yang bisa bikin anak? Tidak ada,
berikhtiar iya, bikin tidak
ada, apa bisa kita memilih anak kita
akan berwarna kulit apa, pesek apa
mancung, rambutnya ikal apa lurus? tidak
bisa. Maka tentang islam adalah silahkan tanya kepada diri sejati kita yang
dulu ditanya "Alastu Birobbikum" di alam azali, bukan wadah manusia
kita saat ini.
Kemudian tentang orang tuanyalah yang
menjadikan Nasoro atau Yahudi, apakah
nasoro dan yahudi itu agama? atau
bangsa? Silahkan dicari oleh kita masing-masing. Karena saya juga sinau.
Tentang pertanyaan mas bima, saya tidak
berani merumuskan kurikulum atau apapun,
namun berpegang teguhlah pada tauhid dan Rosulallah. Semuanya sudah ada
di Alqur'an kita asyiki Al qur'an insya Allab ketemu. Hari ini kan kacau kita
ini, oleh kurikulum sekolah dihancurkan bakat-bakat manusia dengan cara pukul
rata, kemudian jadilah masyarakat seperti hari ini. Yang kedelai pengen jadi
jagung, jadi jagung tidak, kedelainya
hancur. Maka cara hidup satu orang tidak mungkin bisa persis digunakan untuk
manusia lainnya, yang ada adalah kita
mengambil hikmah dari kehidupan orang untuk kita tempa lagi bersama bahan-bahan
lain sehingga menjadi kunci hidup kita sendiri. Toh Rosulullah sangat longgar dan toleran
kepada kita. Beruntunglah bahwa referensi sholat itu kalimatnya "Sollu
kama roaytumuwniy usholliy", bukan "Shollu kama usholliy", kalau
"Shollu kama Usholliy-Sholatlah kamu sekalian sebagaimana aku sholat"
modiar kita hari ini.
Takbir Rosulullah harus kita tahu
presisinya, berapa centi, rukuknya berapa derajat, bacaan sholatnya seberapa panjang, ga bakal
sanggup kita. Maka sikap toleran dan lembut Rosulullah menggunakan kalimat
"Solluw kama roaytumuniy usholliy" Solatlah engkau sekalian
sebagaimana kamu melihatku, kamu memahaminya,
kamu ngertinya, kamu bisanya, sebisa-bisanya, yang penting tidak ada yang menghalangi
antara dirimu dengan Allah, toleran tho. Jadi kamu cari bim, kamu ciptakan sendiri parametermu untuk tetap
bisa menjaga kesadaran itu."
*******
Meski berada pada atap yang sama, berada pada tempat yang sama, saling berhadapan, apakah sama (kedudukan,
fungsi, pengalaman, jiwa, lahan juang,
value, moral, integritas,
harga diri, kebanggan,
kepercayaan diri) seorang Muadzin sejati dengan ia atau mereka yang hanya
melihat dan mendengarkannya saja?
Namun apapaun itu, jangan biarkan diri kita beku. Meniadalah
untuk menjadi tak terhingga, dan biarkan
gerimis nikmat Allah tetap membahasi hatimu.