Sabtu, 22 September 2018

Biarkan Gerimis Tetap Membasahi Hatimu


Reportase Poci Maiyah Edisi September 2018Tidak Lupa Basmallah


Oleh : Lingkar Gagang Poci Maiyah
________________

°Gunung

"La Ya'riful waliy illal waliy - La ya'riful Mu'adzin illal Mu'adzin"
Tidak ada yang akan mengenali (siapa) Waliy kecuali (ia sendiri adalah) Waliy - tidak ada yang akan mengenali (siapa) Muadzin kecuali (ia sendiri adalah) Muadzin. 

Kemudian, meski berada pada atap yang sama, berada pada tempat yang sama,  saling berhadapan, apakah sama (kedudukan, fungsi, pengalaman, jiwa,  lahan juang, value,  moral,  integritas,  harga diri,  kebanggan, kepercayaan diri) seorang Muadzin Sejati dengan ia atau mereka yang hany melihat dan mendengarkannya sjaa?
***

° Awan-awan dan Daratan

Jemuah Malam, 07 September 2018, Sinau Bareng di Monumen GBN Slawi adalah satu titik momentum dari terhubungnya ratusan, ribuan, bahkan bisa milyaran peristiwa dari semua keadaaan manusia, jin, iblis,  malaikat,  pohon, awan, bulan, matahari,  angin,  rumput, tikus, kecoa, musim, laut, gunung, rangkaian kode binner 1-0/0-1, frekuensi internet, gelombang energi listrik yang mengalir, hingga jatuhnya satu daun atas setianya pada gravitasi. Kesemuanya itu dalam Skala Semesta (Sunnatullah), yang berparan pada takdir-takdir dan Kehendak Sang Maha Ada. 

Maka jelas bahwa tulisan ini akan sangat memiliki keterbatasan untuk menggambarkan, melaporkan,  menarasikan silang-sengkarut, keterhubungan antara satu realita dengan seluruh fakta-fakta yang ada. Karena setiap sebab akan melahirkan akibat,  dan setiap akibat menjadi sebab baru dalam siklus dauriah manusia, itupun jika sebabnya hanya muncul dari satu sumber,  jika dari berbagai sumber? bisa bayangkan betapa dahsyatnya gelombang akibat yang akan lahir?

Siapa bilang bahwa gelaran Sinau Bareng di GBN adalah sulap bam-bim-bum bim-sala-bim ujug-ujuga ada? Bahkan sekaliber peristiwa yang membuat shock bangsawan Negeri Saba beserta Ratunya, setelah perjalanan nan jauh dan lama ditempuh, ternyata mereka mendapati Keraton Saba bisa ada di wilayah Sulaiman,  di depan mata mereka persis. Kejadian inipun tidak makbedudu/ujug-ujug terjadi tanpa sebab. Dibalik teror yang dirasakan bangsawan Negeri Saba atas kedahsyatan itu, justeru salah satu faktor penyebabnya malah di karenakan oleh seekor burung (yang konon)  bernama Hud-hud. SubhnAllah. 

"Selama ini mungkin kita belum terlalu mengasah kepekaan rasa, kelantipan akal, ketajaman hati atas hal-hal yang kita alami untuk bisa mentadaburrinya secara dalam."


***
Adalah Kang Ajat, yang biasa menjadi operator sound system, sekaligus mengangkut peralatan sound itu bersama Ayi Fahmi, sekaligus pemain musik pada setiap Gelaran Sinau Bareng GBN, tiba-tiba hilang entah kemana sejak hari kamis (Semoga Allah menjaga dan melimpahkan berkah padanya), atau Ayi Fahmi yang berhalangan untuk bisa hadir tepat waktu seperti biasanya, padahal kendaran untuk mengangkut sound  menggunakan mobil Ayi Fahmi biasanya. Dihubungilah Mbah Wali (Kang Samsul) selaku pemiliki kendaraan cadangan jika Ayi Fahmi tidak bisa, dan wow, mobil Kang Samsulpun sedang tidak bisa dikondisikan untuk menyelasaikan persoalan itu. Dicarilah cara, bahwa sound akan diangkut sore hari dengan tetap menggunakan mobil Ayi Fahmi, dengan catatan harus ada yang menggantikan peran Kang Ajat yang hilang, solusi disepakati, sore diangkut. Kemudian sore waktunya, you know what? Hujan!!! It's Amaziiiiiing, Namun selesailah satu persoalan prepare itu, karena hujan tak berlangsung lama, dan disyukuri juga hujan turun sore hari, bukan malamnnya. 

Mas Isal, Mas Okim, Mas Oki, Mas Faras, Mas Soni, dan Mas Luth telah stand by seusai maghrib,  terpal di gelar, listrik disambungkan, tembok GBN di panjat agar Banner Poci Maiyah bisa ditegakan sebagaimana kain putih para dalang dalam pagelaran wayang. Kang Fahmi tiba, sound system di persiapkan, simulasi Host dan Moderatorpun digladikan. 

Entah bagaimana, Poci Maiyah memang selalu, dan sepertinya memang sudah terbiasa jika para penggiatnya ternyata Allah didik secara langsung. Untuk bertanggung jawab, sekaligus merasakan lezatnya ilmu Allah, atas ilmu dalam tema-tema yang di pilih PM baik jemuah itu atau sebelum-sebelumnya. Dididik agar tidak terlalu serampangan, tidak membabi-buta, tidak menjaga keseimbangannnya dalam menyuguhkan Gelaran Sinau Bareng, agar tidak ada kemenangan individu namun justeru kemenangan bersamalah yang dituju, sehingga semuanya mampu menikmati dan benar-benar mendarah daging menyelami ilmu-ilmu tersebut. 

Sebagaimana ruh Sinau Bareng dalam maiyah tidak akan tega menelantarkan satu orangpun untuk lolos dari radaranya. Seolah-olah,  semacam ada energi yang memaksa siapapun yang berada di dalam kubah maiyah, di dalam alirannya,  di dalam getarannya untuk benar-benar ikut Sinau. Bahkan bisa jadi, kita yang berproses saat itu,  atau anda yang sedang membaca tulisan ini, memang "sedang disadarkan tanpa sadar sedang disadarkan". 

Adapaun proses tumbuh-kembangnya ilmu itu, jelas kembali pada diri kita masing-masing. Tentang bagaimana merawatnya hingga tumbuh dan berkembang, telatenkah,  bersyukurkah, bersabarkah, istikomahkah atau tidak menyentuhnya sama sekali? yang proses sinau itu justeru seringkali al qur'an sindir dengan kalimat;  "afala ta'qiluwn, afala tatafakarun, afala yatadabbaruwn?"

Maka tema bertajuk "Kesadaran Mu'adzin", menjadi kenikmatan luar biasa pada gelaran Sinau Bareng jemuah itu, apakah para pesinaunya benar-benar mengerti apa itu Kesadaran,  apa itu sadar, apa itu menyadari, bagaimana proses kesadaran berlangsung,  kenapa perlu adanya penyadaran. Atau bahkan tidak sadar, bahwa ketimbang akalnya, ternyata seluruh anggota tubuhnya telah sadar terlebih dahulu. 

Kubah Maiyah di bangun, Sinau Bareng di gelar, Mas Oki sebagai Host dan Mas Faras sebagai moderAtor saat itu sudah mengalami keterbimbingan spiritual secara langsung,  atas grogi dan gugupnya menghadapi proses latihan di Poci edisi September. Mas Oki bahkan sampai lupa dan ketlisut-tlisut melafalkan suroh al falaq, atau Mas Wisnu yang sudah kepayahan tenaga dan fikirannya seharian tetap setia memimpin Lagu Indonesia Raya untuk dinyanyikan, atau Mas Mustofa Ups yang langsung tandang menemani Mas Oki di depan. Juga Mas Luth  yang akrab di panggil kakine memekik keras tapi tidak kuat, dan berakhir fals ketika menyanyikan Sohibu Baity. Sungguh mesra dan Indah bagaimana Allah bertajalli kepada hamba-hambaNya. 

Pukul 21.12 gelaran Sinau Bareng masih sangat sepi, berkisar 11an orang saja yang duduk melingkar,  meski ada beberapa anak muda yang biasa melingkar, entah kenapa malam itu memilih menggerombol terlebih dahulu di tempat parkir. Mbah Nahar dan Ayi Fahmi yang nota bene masih belum datangpun menjadi bagian-bagian dari sinau itu tersendiri. Namun alhamdulillah Mbah Wali dan Kang Stadz Ali sudah stand by. 

Perkenalan di gelombangkan sebagai cooling down para jamaah yang masih hangat melingkar, agar kegundahan dan ketidak nyamanan di redakan, tidak lebih karena begitulah Poci Maiyah Allah rizkikan ke Tegal sebagai tempat bebrayan paseduluran penuh tawa dan mesra. kemudian berlanjut Mukodimah di tadaruskan oleh Mas Faras yang memimpin,  khidmat mendengarkan intonasi, cara baca, cara eja, warna suara dari para jama'ah. Lho? Isi tulisan mukodimahnya? itu nomor sekian,  karena kesediaan para jamaah mau mensedekahkan suaranya untuk di dengar saja, sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Toh untuk apa memaksa-maksa paham dalam Sinau Bareng,  wong kita sudah yakin bahwa Allahlah Yang Maha Memberi Pemahaman atas IlmuNya ko, kapan di berinya? ya terserah Allah saja. Berarti manusia tidak memiliki peran untuk bisa memahaminya?  ya tetap beperan,  namun hanya "nandur", Allah sendirilah dengan Segala Maha PengayomNya (Ar Robbun) yang murni Menumbuhkan ilmu itu di dalam kesadaran para pesinau. 

Justeru "nandur" itu yang perlu di telaah lebih jauh oleh para pesinaunya, ia benar nandur atau tidak, meski berbeda-beda terhadap apa yang ia tandur. Semisal sudah ia tandur kerelaannya untuk sinaukah?  tandur ketawadluan? tandur kesiapan mendapatkan sesuatu yang baru, tandur kesabaran bila tidak menemukan yang ia cari,  tandur kewaspadaan jika ia bersyahwat ingin menggurui,  tandur kemesraan bahwa ia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa tanpa Allah mengaruniainya segala sesuatu yang ia menej, sudahkah? Karena bisa jadi,  begitu banyak tetes-tetes hikmah dan ilmu yang bisa ia peroleh, namun tertolak begitu saja karena ia telah penuh dengan dirinya sendiri. 

***


°Teduh

Begitu syahdu, ketika Mas Okim menyelingi fase tadarus para jama'ah dengan membawakan lagu karyanya sendiri berjudul "Indonesia", ada energi dan pusaran sunnatullah yang terjadi. Saat beliau mulai menenteng gitar, duduk dan bernyanyi solo, setelah beberapa lirik Mas Wisnu mendekat mengiringi dengan bass, Kang Aziz menyusul dengan menabuh Cajon, eh, suaranya Cajon ternyata tidak masuk kedalam sound system, Kang Isal langsung tandang memegang mic berjongkong di belakang Cajon. Mbah Nahar sudah terlihat membawa beberapa berkat. Terencanakah? 100% tidak,  kebetulankah? adakah yang disebut kebetulan jika Allah adalah pusat segala kesadaran? 

Sinau berlanjut dengan trio Mus, Oki dan Faras memantik para jama'ah. Mus menelusuri mukodimah pada bagian pertama, tentang sesuatu itu sebenarnya rumit, tapi jika itu adalah Allah yang Menciptakan bahasa Mus menyampaiakan; 

"Rumit tapi tata."

Kemudian Kang Aziz merespon; 

"Kesadaran Muadzin mengajak kita untuk bergerak lebih dulu, tapi sapa sih yang mau menjadi muadzin?  muadzin ga keren,  muadzin banyak diluapakan."

Kang Aziz berkelakar tentang ;

"Aku bagian rencekan,  sing alim-alim keri,  nang mburi,  dadi sebisa-bisane aku ya."

Kang Samsul merespon; 

"Saya kira tema ini memang di gelar karena isu-isu yang baru-baru ini muncul,  antara suara adzan dan speaker. Tapi ternyata mukodimah langsung menjawab bahwa tema ini bukan tentang itu.  Lalu sebenarnya titik pijaknya apa untuk memahami Kesadaran Mu'adzin itu?"

Kang Stadz Ali juga menyampaikan bahwa; 

"Di obrolan kita ini kita menjumpai jika ada kadar tertentu menuju kesadaran,  dimulai dari tahu-merasa-dan sadar"

Kang Faras menambahi; 

"Berarti intinya adzan tidak hanya dalam urusan sholat saja,  mengajak,  berlaku,  selama itu baik atau bermuatan kebaikan itulah adzan"

Sampai Mbah Nahar juga urun suara; 

"Kesadaran Muadzin adalah Kesadaran Toa".

Yang terakhir masih menjadi misteri kenapa bisa disebut Toa atau spekaer. Yang jelas guyon rencekan menjadi semakin absurd dan sangat menular, semua ikut-ikut membahas masalan rencekan dan muallim. Dan Pada gilirannya, Ketika Ayi Fahmi, Mbah Nahar dan Kang Luay  memasuki lingkaran, dimulailah perhelatan ilmu


°Gerimis Melanda Hati

"Saatnya yang Alim berbicara, dan rencekan menyimak" celoteh Ayi Fahmi menanggapi kelakar Kang Aziz. Kang Aziz langsung merespon; 

"Saiki ana kasta-kasta nang Poci?"
"lha sampean sing marahi" balas mas Oki selaku host.
"Adzan adalah segala urusan kebaikan,  dan Kesadaram berbuat baik bukan berpijak pada hasil" ucap Kang Fahmi, disambung oleh Mbah Nahar ; 

"Tentang Adzan, secara syari'at adzan lahir sebagai kebutuhan umat islam zaman Rosulullah,  dimulai dari deretan sejarah apakah akan menggunakan lonceng, api,  atau apa,  dan akhirnya salah satu sahabat mendapatkan mimpi tentang adzan dan Rosulullah meminta bilal mengumandangkan adzan, Bilal bin Rabba lah yang menjadi Muadzin pertama di dunia. 

Dan tentang isu adzan beberapa waktu lalu, ini berkaitan dengan urusan Kesadaran. Terkadang kita menjumpai seorang muadzin tidak bersuara merdu,  yang aneh justeru ia yang bersuara merdu malah menyinyiri,  bukannya bangun dan menjawab persoalan itu. 

Adzan tidak hanya dikumandangkan untuk mengundang umat islam, ada adzan saat bayi lahir,  saat mengantar pemberangatan haji. Justeru yang menarik,  sama-sama pergi jauhnya,  tapi kenapa tidak semua di adzani? seperti contoh jika ingin merantau, wartegan.  Berarti memang ada momentum khusus terkait Kesadaran Muadzin ini".

Host merespon bahwa "Sombongpun ternyata butuh penonton, apa-apa yang diniatkan, jika itu kesombongan, bagaimana bisa sombong jika tidak ada yang menonton". Entah bagaimana host kemudian merespon demikan, yang jelas meski langit cerah malam itu, tapi sepertinya gerimis memang mulai turun membasahi hati Jannatul Maiyah di lingkaran itu, siapa yang merasa?  wAllahua'lam, karena berikutnya ketika Host memasrahkan microphone kepada Kang Lu'ay, yang sedari tadi diam tersenyum memerhatikan, justeru respon yang di berikan bukan langsung melompat ke bahasan sinau bareng saat itu,  namun mengjak para jama'ah untuk bersama-sama melantunkan sholawat ; "Mawlaya Sholli Wasallimda iman abada,  ala habibiy ka khoiyril kholki kullihimi" dan seterusnya, kemudian berlanjut membedah tema dan tulisan mukodimah selaku penulis mukodimah tersebut. 

"Sugeng Rawuh untuk sedulur-sedulur semua pada malam hari ini, saya akan mengawali pertama kali obrolan ini dengan kembali memaknai idiom Sinau Bareng. Bahwa apa yang disebut rencekan dan mualim tidak ada di Sinau Bareng,  karena Sinau Bareng berpijak pada kesadaran Sinau,  bahwa apakah saya lebih tau dari mas oki adalah tidak benar,  atau mas oki mengetahui apa yang saya tahu juga tidak pasti,  yang pasti adalah saya tidak lebih tau,  tapi kalau lebih tua iya."

"Di dalam Sinau Bareng tidak ada budaya Guru dan Murid,  kita sama-sama sinau,  kita sama-sama mencari tau,  adapaun yang mendidik,  adalah bentuk tawadlu kita agar Allah saja,  Ar Robbu, Maha Pendidik yang akan mendidik kita disini. Karena budaya mengajar sudah fatal dn menjadi mengajari,  menggurui di Indonesia,  kita bisa melihat keadaan sosial hari ini,  banyak sekali orang rebutan bener dan ingin mulang. Bahkan di televisi sudah semakin rusak di komersilkan, sampai salah satu program semacam pildacil menjadi kasus nyata.  Lha bocah cilik,  akil baligh durung, sunnat durung,  esih umbelen sudah di ajari mulang-mulangi wong tuwa?  ini kan fatal secara adab. Maka Sinau Bareng justeru mengembalikan makna sebenarnya dari belajar, kita sama-sama sinau dan mewaspadai bahwa dirinya punya banyak kemungkinan keliru. 

Kalangan santri seumpama, kaum santri terbiasa mengkonsumsi kisah-kisah anbiya, rosul dan para sufi, namun tidak utuh cara pandangnya. Kebanyakan hanya merasa bahwa ia menjadi protagonis dan heroik dalam kisah-kisah tersebut,  tanpa mewaspadai bahwa saat ia merasa lebih baik dia jadi iblis,  jika pembangkang ia tidak jadi Musa namun bani isroilnya,  ketika ia naksir pasangan orang ia justeru jadi Namrud atas Sarah istri Khalilullah Ibrohim, dan seterusnya. 

Ciri-ciri manusia modern itu cacat, tidak utuh sama sekali. Kita di kotak-kotak, di pecah-pecah menjadi profesi-profesi, coba kita sinauni apa profesi Rosulullah?"

Kang Luay senyam-senyum melihat jama'ah terdiam, beberapa manggut-manggut, beberapa mengerutkan kening, dan lainnya rebutan roti maryam. 

"Tidak bisa kita kotak-kotakan Rosulullah, beliau ya bisa jadi pedagang,  penggembala,  peracik strategi perang,  pemimpin, dan lain sebagainya. Maen-maenlah ke desa yang kontaminasi modernitasnya belum terlalu parah, liat ana desa disana, seusia kita. Dia bisa angon,  bisa nukang,  bisa mimpin tahlil, bisa mimpin rapat RT,  bisa bertani,  apa profesi dia? utuh. Maka perlu difahami guyon rencek dan alim tadi adalah bentuk kemesraan belaka".

"Kita masuk ke tema Kesadaran Muadzin sekarang, murni tema ini muncul sebagai jawaban atas persoalan bagaimana dan dari titik apa kita harus melangkah dengan kondisi semacam ini,  maka munculah tema kesadaran muadzin di rumah Kang Faraz jauh sebelum ada isu-isu yang muncul. Dan njenengan cobalah lihat para muadzin-muadzin kita,  mereka capek lho,  sampe-sampe tetanggaku itu ada yang adzan sambil duduk,  gegerlah warga dan bertanya kenapa demikian. Si Muadzin santai merespon.

'Allah, ngadeg ya sing teka loro, njagong ya sing teka loro, mending enyong esih njagong, ari nglabrug pimen?' 

Gerrr, jama'ah pecah tertawa. Bisa nglawak ternyata Kang Luay. 

"Ada lagi yang namanya Pak Surip, puji-pujiannya sampe di jahili bocah-bocah karena terlalu stagnan; 

"Gusti Allah Pangeran Kawula, Nabi Muhammad nabi Kawula, Agama islam agama kawula"
dan besoknya bocah-bocah itu ngeduluim adzan dan langsung puji-pujian; 

"Gusti Allah Pangerane Pak Surip,  Nabi Muhammad Nabine Pak Surip, Agama Islam Agamane Pak Surip,  kabeh-kabeh di akoni Pak Surip"

****

Suasana semakin mesra dan hangat dengan guyon-guyon yang sukses bikin ngakak tapi tetap dalam batas bahasan tema. Gerimis mulai rintik-rintik membasahi,  adapun yang hatinya keras dan beku, maka ia tetap butuh waktu. 

"Mereka capek lho, orang-orang tua itu lelah. Maka tema kali ini menyelami khasanah Kesadaran Mu'adzin, bahwa kesadaran muadzin tidak dibangun keluar,  tidak dengan awal mula membangun negara,  ekonomi, gedung-gedung,  namun manusia,  dan di mulai dari diri sendiri."

Fase ini di jeda dengan Ayi Fahmi menyanyikan lagu Opik Astaghfirullah sebagai penyambung sesi tanya jawab berikutnya. Kang Farid mengawali perkenalan dan menceritakan pengalamannya bermaiyah,  termasuk bagiamana beliau mengayomi anak-anak seumuran SMA agar bisa saling ngaji bareng, juga memberikan info jika ingin subacribe youtubenya bisa mengunjungi PociMaiyahPantura.Com, beliau bertanya; 

"Kita yang masuk islam atau islam yang masuk kita? Karena ada keterangan yang menytakan bahwa setiap manusia yang terlahir suci, tapi orang tuanyalah yang menjadikan ia yahudi atau nasrani"
Mas bima juga bertanya; 

"Apakah ada metodologi yang bisa kita pakai untuk memperoleh kesadaran, bagaimana struktur dan tingkatnya?"

Dan ternyata ada jamaah maiyah kanoman dari randu dongkal pemalang urun memberikan respon.
"Jika dilihat,  kesadaran itu lebih tinggi ketimbang ketaatan. Taat itu bersifat hukum militwe,  seperti prajurit,  tapi kesadaran sudah lebih dari ketaatan."

Kang Moka menambah kemesraan dengan turut bertanya; 

"Selama ini kita terus memasukan teori-teori dan ilmu di kepala kita, sampai berjubel dan semakin membuat pusing, tapi kapan kita mengaplikasikannya? Kenapa tidak kita praktekan dulu saja?"
Host langsung mempersilahkan untuk di respon, dan Ayi Fahmi yang pertama kali merespon;

" Kita tidak di tuntut harus memahami segala hal, sering saya contohkan bahwa dalam maiyah anda diam saja sudah bagian dari maiyah. Atau kita bisa melihat stand mic, apa cuma microphone saja yang berperan karena mampu menyalurkan suara? jelas tidak stand mic juga berperan,  dalam diamnya. 

Kemudian tentang metode untuk meraih kesadaran,  meniadalah. Kita bisa saja merasa sadar tapi siapa yang tahu?  apalagi jika itu pada sirr hati kita,  yang kesombongannya sangat halus sekali."
Kang Luay menambahkan dan terdengar seolah semua pertanyaan-pertanyaan itu justeru di bongkar habis-habisan. 

"Sebelumnya, untuk beberapa minggu ini saya sedang mentadaburri untuk tidak terlalu tergerus dengan matrealisme,  dengan sesuatu yang terlalu mengandalkan mata atau indera lainnya,  dan membenda-bendakan sesuatu. 

Maka pertanyaan kita masuk islam atau islam yang masuk kita bukankah jika tidak hati-hati kita menjebak diri kita pada matrealisme juga. Urusan masuk dan tidak kan Konsep Ruang, ada atas-bawah,  kutub selatan-utara, timur-barat, tinggi-renda, besar-kecil, dan bias-ambigunya kita justeru menganggap ruang seperti kotak-kotak di dalam ruang, ada sekat-sekat. Sekarang anda bayangkan ruang angkasa,  antariksa,  disana sudah tidak ada timur-barat,  atas-bawah, bahkan konsep waktu secara indera tidak ada,  karena siang-malam tidak ada disana. Itu baru antariksa,  belum tentang jiwa yang immateri/non-materi,  tapi spirit. Ini juga sekaligus merespon mas Shofa dari Kanoman,  kita terlalu terjebak pada maqom-maqom dan bias mengartikan maqom adalah perpindahan dari tingkat satu menuju lainnya, dan munculah kelas-kelas sosial,  kasta-kasta. Tidak utuh lagi kan,  padahal hakikat manusia itu tidak berpindah makom,  tapi tumbuh. 

Mak baiknya kita awali dengan Kesadaran Muadzin ini, dari diri sendiri,  mulai dengan mengenali siapa dirimu, menerima dirimu seutuhnya,  mengkhilafahi dirimu,  namun tidak memaksa orang lain menjadi seperti dirimu. 

Sekarang saya tanya, adakah yang bisa bikin anak? Tidak ada,  berikhtiar iya, bikin tidak ada,  apa bisa kita memilih anak kita akan berwarna kulit apa,  pesek apa mancung,  rambutnya ikal apa lurus? tidak bisa. Maka tentang islam adalah silahkan tanya kepada diri sejati kita yang dulu ditanya "Alastu Birobbikum" di alam azali, bukan wadah manusia kita saat ini. 

Kemudian tentang orang tuanyalah yang menjadikan Nasoro atau Yahudi, apakah nasoro dan yahudi itu agama?  atau bangsa? Silahkan dicari oleh kita masing-masing. Karena saya juga sinau.
Tentang pertanyaan mas bima, saya tidak berani merumuskan kurikulum atau apapun,  namun berpegang teguhlah pada tauhid dan Rosulallah. Semuanya sudah ada di Alqur'an kita asyiki Al qur'an insya Allab ketemu. Hari ini kan kacau kita ini, oleh kurikulum sekolah dihancurkan bakat-bakat manusia dengan cara pukul rata, kemudian jadilah masyarakat seperti hari ini. Yang kedelai pengen jadi jagung,  jadi jagung tidak, kedelainya hancur. Maka cara hidup satu orang tidak mungkin bisa persis digunakan untuk manusia lainnya,  yang ada adalah kita mengambil hikmah dari kehidupan orang untuk kita tempa lagi bersama bahan-bahan lain sehingga menjadi kunci hidup kita sendiri. Toh Rosulullah sangat longgar dan toleran kepada kita. Beruntunglah bahwa referensi sholat itu kalimatnya "Sollu kama roaytumuwniy usholliy", bukan "Shollu kama usholliy", kalau "Shollu kama Usholliy-Sholatlah kamu sekalian sebagaimana aku sholat" modiar kita hari ini. 

Takbir Rosulullah harus kita tahu presisinya, berapa centi, rukuknya berapa derajat,  bacaan sholatnya seberapa panjang, ga bakal sanggup kita. Maka sikap toleran dan lembut Rosulullah menggunakan kalimat "Solluw kama roaytumuniy usholliy" Solatlah engkau sekalian sebagaimana kamu melihatku, kamu memahaminya,  kamu ngertinya,  kamu bisanya,  sebisa-bisanya,  yang penting tidak ada yang menghalangi antara dirimu dengan Allah, toleran tho. Jadi kamu cari bim, kamu ciptakan sendiri parametermu untuk tetap bisa menjaga kesadaran itu."


 
*******

Meski berada pada atap yang sama, berada pada tempat yang sama,  saling berhadapan, apakah sama (kedudukan, fungsi, pengalaman, jiwa,  lahan juang, value,  moral,  integritas,  harga diri,  kebanggan, kepercayaan diri) seorang Muadzin sejati dengan ia atau mereka yang hanya melihat dan mendengarkannya saja? 

Namun apapaun itu, jangan biarkan diri kita beku. Meniadalah untuk menjadi tak terhingga,  dan biarkan gerimis nikmat Allah tetap membahasi hatimu.