Jumat, 08 Februari 2019

Cinta Tidak Melulu Soal Perasaan


"Yang menjadi catatan gelaran Sinau Bareng Poci Maiyah bulan Februari selain hujan dan berpindahnya tempat adalah bahwa mencintai adalah keputusan sosial".

Sejak pagi cuaca begitu cerah sampai menjelang sore, tiba-tiba wilayah Slawi dan sekitarnya hujan disertai petir yang menggelegar. Entah jalur apalagi yang akan Allah berikan kepada pengiat sebagai petunjuk mendapatkan kebahagiaan waktu itu. Sudah 24 kali melingkar bersama sedulur-sedulur setiap bulannya di monumen GBN yang outdoor biasanya hanya gerimis sebagai kendala utama —pernah sekali geser ke gedung rakyat (2017)—. Pukul 17.00 setelah diprediksi hujan tidak reda dalam beberapa jam kedepan, baru Mbah Nahar mengkonfirmasi alternatif tempat dan pegiat lainnya langsung mengumumkan via grup WA berpindahnya tempat acara yang kemudian disepakati untuk sementara bergeser ke seberang monumen yakni gedung salah satu lembaga bimbingan dan penyuluhan haji, IPHI. Sementara pegiat yang lain langsung menuju lokasi untuk mempersiapkan segala peralatan dan keperluan acara.

Tepat setelah Maghrib, grup WA untuk koordinasi mulai rame, ponsel berdering cukup sering. Karena ini baru pertama kali menggunakan tempat baru, segala persiapan dan penataan baru selesai pukul 20.30 beriringan dengan kedatangan jamaah yang berangsur tapi pasti. Kemudian acara dimulai dengan wirid membaca surat pendek Alquran secara bersamaan. Setelah itu Mas Fahmi mempersilahkan jamaah untuk berdiri menyanyikan lagu Indonesia raya dan dilanjutkan Shohibul Baiti.


Ada sesi baru dalam melingkar malam itu, yakni penjelasan poster yang menggambarkan tema diskusi setiap bulannya. Sudah 13 bulan terakhir ini pembuatan poster dilakukan oleh tim multimedia Poci Maiyah yang di komandoi oleh Mas Oki Wibisono, pegiat termuda saat ini. Sebagai awalan, Mas Oki menjelaskan alasan tulisan "mencintai" terdapat di akar pohon, dan dua orang yang berayun berwajah tokoh pewayangan. Dalam penjelasannya, cinta bukanlah buah yang dihasilkan oleh apapun, namun cinta-lah yang akan menghasilkan batang yang kuat, daun yang rindang dan berbagai macam buah kebaikan, meskipun kadang tidak terlihat namun atas dasar cinta, maka akan tumbuh kebaikan-kebaikan yang bahkan tidak diduga sebelumnya. Sedangkan wajah wayang didalam poster bukan Rama-Shinta yang terkenal dengan roman percintaannya, melainkan Arjuna-Drupadi yang melambangkan perjuangan Pandawa untuk memiliki Drupadi. Pandawa yang beranggotakan 5 tokoh wayang secara sepakat untuk bergantian menggauli Drupadi.

Seperti gelaran Sinau Bareng sebelumnya, kesempatan bagi jamaah yang baru pertama kali menghadiri Poci Maiyah dan berbagi pengalaman tentang maiyah, tercatat ada 6 jamaah. Sebagian besar mengungkapkan keinginannya untuk terus belajar dan menambah paseduluran. Kemudian Gus Luay sebagai koordinator memberikan penyemangat  bagi para jamaah, bahwa nuansa surga tidak terlihat mewah dari luar justru setelah mendekati nuansa itu kehangatan dan kemegahan akan dirasakan, persis seperti malam itu, meskipun dari luar tidak ada gemerlap lampu yang terang, namun didalamnya terdapat kumpulan manusia yang saling menjaga dan mengasihi dalam kebahagiaan.


Tadarus mukadimah mulai dibaca melingkar bergantian sebagai awalan untuk memulai diskusi. Kemudian pertanyaan mulai muncul dari jamaah, ada yang bertanya mengapa didalam mukadimah disebutkan cinta lebih tinggi kedudukannya daripada hukum, akhlak dan taqwa? Apakah ketiganya sebagai rumus cinta atau cinta yang menghasilkan ketiganya? Kemudian Mbah Nahar menjawab pertanyaan itu, cinta merupakan ekspresi kedekatan dengan Tuhan, yang apabila kita mencintai sesuatu berarti kita memuji ciptaan Tuhan. Asma Tuhan yang paling populer adalah Rahman yang berarti cinta menyeluruh dan Rahim yang berarti cinta yang mendalam. Sedangkan fase pertumbuhannya berawal dari hukum, akhlak, taqwa dan puncaknya adalah cinta.

Gus Luay mempersilahkan jamaah untuk bershalawat kepada Nabi sebagai ketersambungan rasa cinta kepada manusia spesial sang maha cinta. Bukan tanpa alasan, Gus Luay menjabarkan bahwa ada yang berbeda antara bershalawat dan menyanyikan shalawat. Jika bershalawat berangkatnya dari keikhlasan bukan sekedar mengikuti orang lain. Seperti seirama, Kang Moka menimpali dengan pendapat: cinta didasarkan pada kebahagiaan, jadi latar belakang mencintai berangkat dari kerelaan. Hal seperti yang dijelaskan oleh Rumi dari dulu, karena cinta adalah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah kepada setiap manusia yang bahkan akal pikiran tidak dapat menjangkau jalannya cinta.

Setelah diselingi dengan musik oleh sedulur Drajat, Iqbal dan Aryo, diskusi kembali dilanjutkan oleh Gus Luay. Banyak sekali point-point penting yang menjadi pengingat karena kebanyakan dari kita terjebak di kata cinta dan mencintai, kita lupa artinya dicintai. Kita mencintai, bukan berarti kita harus dicintai, karena cinta itu memberikan sehingga setiap manusia memiliki pengalaman tentang kenikmatan mencintai dan kebahagiaan dicintai. Yang terpenting adalah mencintai diri sendiri, keluarga, tetangga, umat, negara, hingga alam semesta sebagai cara kita tumbuh menjadi manusia.


Diakhir sesi, ada pertanyaan menarik dari Sijek yang menanggapi pernyataan dari Mas Fahmi, bahwa mencintai adalah keputusan sosial yang berasal dari dalam diri ke luar dirinya dan untuk yang bukan dari dirinya sendiri. Sepakat dengan itu, Sijek berusaha menggali mengenai beberapa teori dan yang melatarbelakangi keputusan sosial itu, seperti adanya kriteria dan persyaratan sebelum keputusan itu dibuat sampai resiko setelah adanya keputusan itu. Tetapi dalam ranah cinta seringkali mengesampingkan faktor resiko dan kejelian menangkap informasi objek yang akan dicintai karena telah dikalahkan oleh keyakinan itu sendiri. Lalu darimana rasa cinta itu muncul? Gus Luay memberikan kisi-kisi titik tumbuhnya cinta, yakni berasal dari diri sendiri yang diolah melalui akal (dopamine, sérotonine, acétylcholine) yang kemudian dikombinasikan dengan hati (rasionalitas), itulah yang disebut dengan mental, tinggal keberanian kita dalam mengambil risiko kepututusan, pemilihan suasana emosi dan waktu yang tepat, mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi.

Sampai pukul 01.00 hujan mereda bersamaan dengan dibacakan doa oleh Mbah Nahar dan dilanjutkan salam-salim melingkar 52 jamaah malam itu.
Sampai bersua di gelaran bulan depan dengan membawa kerinduan yang sama.