Rabu, 02 September 2020

NGLILIR

Jejodohing Cahyo - Perjodohan Cahaya


Mukadimah Poci Maiyah September 2020
Oleh : Lingkar Gagang Poci 

I

 

Jum'at kemarin tepat sepuluh muharom, dan sedari awal suro, kulihat orang-orang Islam di Tegal masih semangat dan berantusias menyambut tahun baru Islam itu. Seolah telah tersimpan memori di lubuk jiwanya, bahwa akhir dzulhijjah, juga adalah hijrahnya menuju masa yang baru.

 

"Ya Allah, wahai Yang memberikan jalan keluar dari segala kesusahan, wahai Yang mengeluarkan  Zun Nun pada hari Asyura,..."

 

Benarkah kita telah jua mendapatkan berkah Nabi Yunus dari keterpurukan dan kepungan-kepungan yang membuat gelap aql dan nurani? Untuk keluar dari lockdown gelapnya samudera dunia?

 

"Wahai Yang menghimpun semua keturunan Ya’qub pada hari Asyura,"

 

Sudahkah ini juga menjadi momentum kita, atas apa yang telah di alami Yusuf muda? Tersisih, dicemburui, dan disalah fahami oleh saudara-saudaranya. Hilang jauh dari keluarga, lalu menjadi orang asing di negri asing pula. Digoda, difitnah, dipenjara, terlock down bersama orang-orang asing dengan kepercayaan asing pula? Hingga Robb berkenan menghimpun kembali keluarga Nabi Ya'qub di masa senjanya?

 

Sudahkah, kita bisa kembali pulang?

 

"Wahai Yang mengampuni dosa Daud pada hari Asyura, wahai Yang melengkapkan penyakit Ayyub pada hari Asyura, wahai Yang mendengar seruan Musa dan Harun pada hari Asyura, wahai Yang menciptakan ruh Muhammad saw pada hari Asyura."

 

Inikah masanya? Masa kita nglilir terbangun untuk menerima. Menghujamkan akar kita kuat-kuat ke dalam bumi, lalu merangkak naik menuju langit menggapai arsy menjumpa lauh mahfudz? Momentum para maiyyin untuk menghijrahi cahaya, dan me-Muhammadkan diri.

 

Muhammadkan Hamba?

 

*

 

II

 

"Iedul Yatama" tandas para mubaligh menyampaikan moment muharrom ini. Entah anak-anak siapa itu? Berduyun berdiri berjejer satu-persatu dipanggil nama-namanya.

 

WAllahi mata mereka adalah binar mata lugu ketidak tahuan yang aqil balighpun belum tercapai, bahkan bisa jadi gravitasi juga belum mengenali mereka.

 

Satu persatu orang dewasa menyalami, membelai, memberikan mereka amplop-amplop putih.

 

Namun di pojokan, kulihat ada ibu yang menangis tersedu-sedu.

 

Entah ia merindukan ayah dari anaknya, ataukah getir melihat putera semata wayangnya tumbuh tanpa seorang bapak?

 

Sholawat semakin mendengung diatas panggung sedang tangis ibu semakin menjadi-jadi.

 

"Wahai Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, panjangkanlah usiaku dalam taat kepada-Mu, mencintai-Mu dan mendapat ridha-Mu wahai Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Hidupkanlah pula aku dalam kehidupan yang baik dan wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan iman. Wahai Yang Maha Penyayang di antara para penyayang."

 

Kiranya, memang tidak ada yang boleh Tunggal selain Maha Tunggal itu sendiri di semesta ini. Setiap makhluk terhubung berpasangan dengan lainnya;  siang-malam dengan seluruh lapisannya, persifatan laki-laki dan perempuan dengan segala keragamannya, awal dan akhir dengan setiap partikel misterinya, pun kebahagiaan, kesedihan, rasa haru juga atas dorongan berserah lalu tunduk kepada sesuatu yang tidak bisa dimengerti.

 

Anak-anak yatim sumringah bergembira menerima hadiah, sang ibu menangis merindukan sesuatu. Yang menikah berbahagia di pematang dzulhijjah, yang sendiri masih terus mempertanyakan diri.

 

Perjodohan-perjodohan takdir terus merayap membayangi manusia, mengintai sekaligus menemani untuk terus bertanya kepada manusia. Gerangan apakah manusia memahami ketersambungannya dengan rahmat, berkah, hidayah, taufik dan keselamatan dalam setiap kejadian dan pengalaman yang ia alami? Sudahkah setiap hati yang mencari menemu cahaya? Sudahkah dzulumat (kepungan-kepungan gelap) itu menuju Nuur (satu cahaya)? Sudahkah tali-tali cahaya berjodohan dengan kesadaran?

 

Atau, jangan-jangan, sudah lupakah kita bagaimana caranya kembali mencintai?