Jumat, 04 Juni 2021

MBERKAHI



Mukadimah Poci Maiyah Juni 2021

Oleh: Abdullah Farid

Di salah satu judul dalam buku 'Gelandangan di Kampung Sendiri', Mbah Nun bercerita tentang seorang mahasiswi yang tumbuh dari rejeki ayahnya yang seorang dukun. Mahasiswi itu jelas anak sholihah, karena merasa galau apakah selama ini ibadahnya baik atau tidak, sedangkan dalam tubuhnya mengalir darah dari uang yang syubhat.

Berbeda cerita lagi dengan kisah Mbah N, panutan kita di Poci Maiyah, yang menemani salah satu jamaah tarekatnya hingga anak-anaknya menjadi santri pondok pesantren, dari hasil jualan ciu. Di Maiyah, kita belajar untuk menjaga jarak lebih dulu dari pemisahan nilai salah dan benar, baik dan buruk. Jika adil saja kita tak mampu mencapai koordinatnya, maka bagaimana mungkin hidayah benar salah dan baik buruk mampu manusia raih? Manusia harus adil sejak dari akal pikirannya lebih dahulu.

Hanya di Jawa, tradisi brekat (nasi dan lauk pauk yang dibagikan selepas selamatan/tahlilan 7 dan 40 harian) berlanjut. Sudah jelas kini manusia Jawa mulai meninggalkan tradisi itu, atau setidaknya nilai dari simbol brekat warisan wali songo itu. Sangat jelas pemisahan antara dunia dan akhirat itu produk luar yang nusantara impor. Sekulerisme, dikotomis, pemisahan yang tanpa sambungan, itu bukan hasil nandur leluhur kita. Brekat, mberkahi, bukan hanya doa, urusan kebutuhan primer jiwa, tetapi juga nasi dan lauk pauknya, wedang dan jajanannya, rokok kretek dan kopinya. Mberkahi bisa jadi tentang keadilan. Tentang melihat sisi-sisi kehidupan yang mulai kita tinggalkan, atau bahkan buta dan tuli untuk melihat-mendengar itu.

Kisah mahasiswi atau jamaah tarekat Mbah N yang dulunya tukang ciu itu tak bisa kita salahkan, meski juga tak lantas kita melegalkan yang haram. Karena resiko menghakimi sesuatu, manusia harus berani menanggungjawabi efek-efek sampingnya. Mahasiswi itu boleh menolak rejeki ayahnya, selama ia mampu terus belajar dan keimanannya dapat ia jaga tanpa rejeki itu. Jangan sebaliknya, menolak rejeki ayah dengan dalih haram, lalu akhirnya merasa berat belajar sambil bekerja, dan yang paling berat adalah keimanannya yang dipertaruhkan. Karena merasa membela kehalalan (jalan Tuhan), tapi ternyata berakibat hidup yang lebih berat. Mana yang mberkahi, menerima rejeki ayah yang ia sadar itu syubhat, atau mencari sendiri dengan resiko seperti itu?

Orangtua kita sering menasehati, rejeki sedikit nggak apa-apa, yang penting berkah. Jadi tukang cilok, ontong-ontong, atau bahkan guru swasta, nggak apa-apa yang penting berkah. Sebelah mana berkahnya? Sabar terkadang adalah belajar tenang dalam kesusahan, dan terus berjuang. Sedang syukur, terkadang adalah kewaspadaan saat rejeki datang, bahwa selain ada bagian mereka yang miskin dalam harta itu, juga hakikatnya manusia tak punya apa-apa selain yang disedekahkannya. Mberkahi itu, sedikitnya rejeki materi tak mambuat keimanan kita hancur, dan banyaknya rejeki tak lantas membuat kita lupa diri. Mberkahi itu brekat, orang lapar jangan cuma dikasih doa dan dzikir, tapi juga nutrisi jasadiyah. Mberkahi itu Maiyah, tanpa undangan tanpa pengamanan jamaah berdatangan dan fii amanillah.