Mukadimah Poci Maiyah Juni
2021
Oleh: Abdullah Farid
Di
salah satu judul dalam buku 'Gelandangan di Kampung Sendiri', Mbah Nun
bercerita tentang seorang mahasiswi yang tumbuh dari rejeki ayahnya yang
seorang dukun. Mahasiswi itu jelas anak sholihah, karena merasa galau apakah
selama ini ibadahnya baik atau tidak, sedangkan dalam tubuhnya mengalir darah
dari uang yang syubhat.
Berbeda
cerita lagi dengan kisah Mbah N, panutan kita di Poci Maiyah, yang menemani
salah satu jamaah tarekatnya hingga anak-anaknya menjadi santri pondok
pesantren, dari hasil jualan ciu. Di Maiyah, kita belajar untuk menjaga jarak
lebih dulu dari pemisahan nilai salah dan benar, baik dan buruk. Jika adil saja
kita tak mampu mencapai koordinatnya, maka bagaimana mungkin hidayah benar
salah dan baik buruk mampu manusia raih? Manusia harus adil sejak dari akal
pikirannya lebih dahulu.
Hanya
di Jawa, tradisi brekat (nasi dan
lauk pauk yang dibagikan selepas selamatan/tahlilan 7 dan 40 harian) berlanjut.
Sudah jelas kini manusia Jawa mulai meninggalkan tradisi itu, atau setidaknya
nilai dari simbol brekat warisan wali
songo itu. Sangat jelas pemisahan antara dunia dan akhirat itu produk luar yang
nusantara impor. Sekulerisme, dikotomis, pemisahan yang tanpa sambungan, itu
bukan hasil nandur leluhur kita. Brekat, mberkahi, bukan hanya doa,
urusan kebutuhan primer jiwa, tetapi juga nasi dan lauk pauknya, wedang dan
jajanannya, rokok kretek dan kopinya. Mberkahi
bisa jadi tentang keadilan. Tentang melihat sisi-sisi kehidupan yang mulai kita
tinggalkan, atau bahkan buta dan tuli untuk melihat-mendengar itu.
Kisah
mahasiswi atau jamaah tarekat Mbah N yang dulunya tukang ciu itu tak bisa kita
salahkan, meski juga tak lantas kita melegalkan yang haram. Karena resiko
menghakimi sesuatu, manusia harus berani menanggungjawabi efek-efek sampingnya.
Mahasiswi itu boleh menolak rejeki ayahnya, selama ia mampu terus belajar dan
keimanannya dapat ia jaga tanpa rejeki itu. Jangan sebaliknya, menolak rejeki
ayah dengan dalih haram, lalu akhirnya merasa berat belajar sambil bekerja, dan
yang paling berat adalah keimanannya yang dipertaruhkan. Karena merasa membela
kehalalan (jalan Tuhan), tapi ternyata berakibat hidup yang lebih berat. Mana
yang mberkahi, menerima rejeki ayah
yang ia sadar itu syubhat, atau
mencari sendiri dengan resiko seperti itu?
Orangtua kita sering menasehati, rejeki sedikit nggak apa-apa, yang penting berkah. Jadi tukang cilok, ontong-ontong, atau bahkan guru swasta, nggak apa-apa yang penting berkah. Sebelah mana berkahnya? Sabar terkadang adalah belajar tenang dalam kesusahan, dan terus berjuang. Sedang syukur, terkadang adalah kewaspadaan saat rejeki datang, bahwa selain ada bagian mereka yang miskin dalam harta itu, juga hakikatnya manusia tak punya apa-apa selain yang disedekahkannya. Mberkahi itu, sedikitnya rejeki materi tak mambuat keimanan kita hancur, dan banyaknya rejeki tak lantas membuat kita lupa diri. Mberkahi itu brekat, orang lapar jangan cuma dikasih doa dan dzikir, tapi juga nutrisi jasadiyah. Mberkahi itu Maiyah, tanpa undangan tanpa pengamanan jamaah berdatangan dan fii amanillah.