Kamis, 04 April 2024

Batasan itu Nikmat

 



Mukadimah Poci Maiyah April 2024

Oleh: Rizki Eka Kurniawan


Pernah hidup di zaman kono, seorang bijak bestari yang dulunya hidup sebagai seorang prajurit. Namun, setelah sekian lama pengabdiannya dalam perang, ia memilih hidup miskin dan mengabadikan dirinya dalam pencarian “kebijaksanaan”.

Semuanya bermula, ketika satu temannya mengunjungi sebuah kuil yang dipercaya oleh orang-orang dulu sebagai tempat suci, tempat  di mana orang-orang datang untuk mendapatkan nasehat dan pencerahan dari seorang pendeta.

Pada saat itu, temanya bertanya pada pendeta kuil, “adakah seseorang yang lebih bijak dari Sokrates?”

Pendeta kuil tersebut menjawab, “Tidak ada satupun orang yang lebih bijaksana darinya. Sokrates adalah orang paling bijaksana di kota ini”.

Mendengar perkataan pendeta kuil tersebut, ia pun segera menemui Sokrates untuk memberikan kabar atas apa yang dikatakan oleh pendeta kuil.

Sokrates yang mendapat kabar dari temannya merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pendeta kuil tersebut. Ia mencoba memverifikasi perkataan pendeta dengan mendatangi semua orang di kota tempat ia tinggal, mulai dari pemuka agama, ilmuan, politisi, praktisi, penyair dan masih banyak lagi orang dengan lintas profesi yang ia temui.

Tapi, yang ia temukan bukanlah kebijaksanaan. Dari semua orang yang ia temui, ia justru merasa kecewa dengan orang-orang yang merasa sok tau atas apa-apa yang sebenarnya mereka tidak ketahui.

Hal ini membuat Sokrates semakin dalam merenungi kebenaran dari perkataan pendeta kuil tersebut. Pada titik ini, Sokrates akhirnya memahami kebenaran dibalik perkataan pendeta kuil. Ia pun menyadari alasan kenapa pendeta kuil menyebut dirinya sebagai orang paling bijaksana, adalah karena Sokrates satu-satunya orang yang tau jika dirinya tidak tahu.

Dalam sebuah risalah sufistik, ada salah satu ulama sufi yang berkali-kali dalam sebuah karyanya yang saya baca selalu mengutip perkataan Abu Bakar r.a, “Ketidakmampuan mendapat pengetahuan adalah pengetahuan itu sendiri”

Jujur, awalnya saya pun sangat bingung untuk memahami perkataan ini, apa maksudnya? Kalian pun mungkin akan bertanya-tanya bagaimana mungkin ketidakmampuan untuk mendapatkan pengetahuan adalah pengetahuan itu sendiri?

Sampai akhirnya, saya pun memahami ketika saya mulai bisa menyadari akan keterbatasan (limitasi) diri saya sendiri. Saya pun akhirnya mulai paham. Betapa nikmatnya keterbatasan!

Melalui keterbatasan, kita bisa merasakan nikmatnya belajar untuk bisa tau. Keterbatasan menuntut kita untuk selalu berkembang menemukan dan menciptakan hal-hal baru yang tadinya belum kita ketahui.

Mengetahui keterbatasan membuat kita bisa bersikap rendah hati dan lebih mengenali diri sendiri. Tak mungkin, bahkan sangat mustahil bagi orang yang tak kenal keterbatasannya bisa mengenali dirinya sendiri, apalagi untuk bisa mengenali Tuhan?

Ketika kita makan, kita tau kapan kita harus berhenti makan ketika kita mengetahui keterbatasan kapasitas perut kita dalam menampung makanan. Kalau kita tidak mengetahui kapasitas perut kita yang terbatas, sangat mungkin bagi kita bersikap seperti binatang buas yang rakus dan serakah.

Binatang buas tak akan berpikir untuk berhenti makan, selama makanan masih ada ia akan menghabiskannya pada saat itu juga, yang sebenarnya perilaku semacam itu tidaklah baik dan hanya akan merusak tubuh.

Pengetahuan dan pemahaman kita yang terbatas pun menyelamatkan dan membebaskan kita dari beban, emosi dan pikiran-pikiran negatif. Bayangkan saja, kalau kita bisa mendengar isi hati dan pikiran buruk orang-orang yang membenci kita. Sudah tentu hidup kita tidak akan tenang dan selalu terganggu.

Apalagi kalau kita bisa tau isi hati dan pikiran pasangan kita, saya berani taruhan kalau setiap kali dalam hati dan pikiran pasangan kita terbesit bayangan wajah orang lain. Kita bisa langsung curiga dan bisa jadi akan berpikiran yang tidak-tidak. Toh, tidak ada salahnya untuk tidak mengetahui segalanya, karena pada dasarnya kita adalah makhluk yang serba tidak tahu!

Kita tidak tahu bagaimana cara kita menggerakan detak jantung. Kita juga tidak tahu bagaimana cara kita bisa mengaktivasi nafas agar berhembus secara automatis. Semuanya berada di luar kendali kita, pun dengan masa depan, kita tak tau apakah nanti akan selalu cerah atau berlangsung dengan badai?

Batasan adalah sebuah anugrah dan anugrah bagaimanapun bentuknya wajib untuk disyukuri, sebagaimana kidung cinta dari seorang sufi pengembara:

“Bersyukur itu mudah jika semuanya berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Tetapi seorang hamba Tuhan yang tulus bersyukur bukan hanya atas apa yang telah diberikan, tetapi juga atas apa yang tidak diberikan.”


Kuningan, 4 April 2024