Jemuah di akhir bulan, bagi kami itu adalah hari
istimewa, dimana biasanya setiap jemuah/malam sabtu kita melingkar di
kediaman para pegiat, namun jemuah kali ini tidak. Kami menempati Gubug
Sholawat Om Zen Mehbob untuk kegiatan Mother (maiyah on the road) yang
seperti biasa kami agendakan setiap malam sabtu minggu kedua, ketiga dan
seterusnya.
Gubub Sholawat telah disepakati sebagai tempat
mother di jemuah pamungkas setiap bulannya, sebagai tempat finishing
penggodogan tema, yang kemudian akan kami angkat pada agenda bulanan
Poci Maiyah di Monumen GBN Slawi. Selaku pemilik ngarso ndalem Gubug
Sholawat Om Zen mempersilahkan menggunakan Gubug Sholawat seperti tempat
kami sendiri: menjaga, merawat, memelihara dan sebagainya atas maiyah
pada diri kami sendiri.
Keistimewaan di jemuah kali ini belum selesai, ada
yang lebih dan lebih istimewa lagi. Selain perjamuan bubur ayam, yang
padahal seperti biasanya dehem “EKHEMIEEE” selalu harmoni bak paduan
suara dari para jama’ah. Malam tersebut seolah jama’ah diajak
mentadabburi peribahasa “nasi sudah menjadi bubur”, yang saat itu juga
tak berlaku lagi bagi para jama’ah, tidak ada kesia-siaan selama
lingkaran maiyah adalah apa yang kita emban. Kenapa harus menyesal jika
“nasi sudah menjadi bubur?’ toh tinggal dikasih bumbu, sledri, kecap,
kacang kedelai, ayam jadilah santapan yang bahkan lebih bermakna dari
sekedar Ekhemiiieee. Bahkan bubur adalah evolusi kesekian sebuah padi,
setelah melewati fase gabah, menir, beras, nasi. Maka bubur adalah rasa
memulai dan kembali.
Makanan yang pertama dikenal oleh Manusia dalam
usia bayi, sefitrah putih-putihnya ciptaan tanpa dosa yang masih belum
mengerti apa-apa namun paling peka, dan oleh lanjut usia yang habis
sudah gigi-giginya namun sabar menanti ia kembali keharibaanNya, seakan
menjadi isyaroh tersendiri bahwa jemuah pamungkas di Gubug Sholawat
adalah sebuah fase akhir untuk memulai kembali. Faidzafarogh tafanshob
wa ila Robbika farghob. Kemudian kupat glotak (entah siapa yang
menamakan makanan ini? tape sekaliiiiih) menjadi bonus tadabbur kuliner
JPM akan evolusi padi yang akhirnya akan dibungkus mati.
Adalah sebuah agenda yang belum pernah diagendakan
di mother sebelumnya. Yaitu di awal acara kita diajak untuk lebih
mengenali Rosulullah lewat pembacaan Maulid Diba’i. Yang di usulkan
pertama kali sekaligus dipimpin oleh beliau Habib Fahmi Alathas.
“Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak
dari penduduknya. Di negeri ini kami punya Muhammadiyah, punya NU,
Persis, punya ulama-ulama dari MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII,
IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren,
sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif,
kelompok-kelompok, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, seniman,
cendekiawan, dan apa saja. Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.” Emha Ainun Nadjib -Surat kepada Kanjeng
Nabi-
Para jama’ah terlihat sangat menikmati momen “mahalul qiyam”, seolah
mereka sedang berada di gerbang penyambutan Baginda Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi Wassalam.
Agenda ini pun rasanya tidak bertolak belakang dengan apa yang kami
jalani. Mbah Nun selalu menyampaikan “mustahil kita ber Islam mengaku
seorang Muslim tanpa gondelan klambine Kanjeng Nabi.” Beliau Om Zen
menambahkan "Tak ada yang lebih mewah dari alam semesta ini kecuali
menjadi makmum Rosulullah Sholallahu’alaihi Wassalam." Maka dari itu
maiyah menemukan segitiga cinta dalam kehidupan, cinta kepada Allah,
cinta kepada Kanjeng Nabi dan cinta kepada Manusia. Antusiasme dari
jama’ah sangat terlihat ketika beliau Om Zen menyampaikan usulan dari
Habib Fahmi tentang agenda pembacaan Maulid, bahkan kami menyepakati
untuk serentak mengenakan kostum ala santri (sarungan, kokoan dan
kopiahan) pada mother kali ini, tak seperti biasanya yang hanya memakai
stelan dandanan sehari-hari. “Masa pan cari muka karo kanjeng Nabi
nganggone lepis karo kaosan?” Tak lain tak bukan itu semua hanyalah
untuk mengedepankan adab kepada Rosulullah Sholallahu’alaihi Wassalam.
Barangkali melalui jalan inilah jalan lau laka lau laka ma kholaqtul
aflak yang kemudian kita diajak memasuki “Pintu Muhammad”.
Disusun Oleh : Lingkar Gagang Poci Maiyah