"Ikut aja. Kamu sekarang jadi Musa
leh, saya Khidirnya"
"Lho?
saya bukan Maman Kang, ga bisa akting-aktingan gitu". Kang Murod tidak menggubris, malah
menstater Honda C70 putihnya. Eh? sejak
kapan Kang Murod punya motor? bukankah
santri dilarang bawa kendaraan. "Ini honda jupulnya siapa Kang?"
dari semua cerita tentang dirinya setidaknya aku harus waspada. "Niscaya engkau tidak akan bersabar dalam
mengikutiku". "Aku sing diajak, ga njaluk melu Kang. Malah copas ucapannya
Nabi Khidir ke Nabi Musa! Hrrrrgh". "Udah too, ikut aja!" Walaupun ragu, akhirnya aku menyerah dan duduk di jok
belakang. Entah akan dibawa kemana malam
ini.
Pengajian sudah selesai, semua kegiatan pondok mutlak pasif, kecuali suara-suara santri yang masih merdu
mendendangkan nadzom-nadzom imrithi atau alfiahnya. Beberapa lainnya asyik
melingkar muthola'ah kitab, mengadakan
bahtsul masail, sungguh barang siapa
yang mencintai majelis ilmu, Allah akan
memudahkan jalannya ke Surga. Tapi sekarang malah aku sendiri terculik entah
kemana, dengan santri senior yang
dikenal paling cerdas dan suka bikin masalah.
Salimna Ya Robb.
"Sampai leh"
"Siap Kang"
Aku turun memandangi sebuah rumah kayu
didepan, tidak besar, namun tidak bisa
disebut kecil pula. Tembok-temboknya terbuat dari Kayu. Jarak lokasi ini tidak begitu jauh dari
pondok, hanya sedikit ke arah utara menuju bendungan danawarih.
"Nah kamu tunggu disini dulu, jagain qoswah. Duduk aja disitu dan ini minum serta
cemilanmu"
"Qoswah?"
Kang Murod menepuk Honda Jupul Putih itu
dan memberikan kresek hitam berisi bungkusan kopi panas dan singkong.
"Ini qoswah, kamu jagain dia. Kalau ada yang macem-macem hajar aja. Kalau pemilik rumah keluar bilang aja kamu
lagi jagain qoswah"
"Lho? aku ditinggal kang?" Kang Murod cemberut dan memikirkan sesuatu. Sepertinya.
"Niscaya engkau tidak akan bersabar
dalam mengikutiku"
"Bukan aku yang mau ikut!"
"Udaaaah, kamu tunggu disini. Keluarga pemilik rumah
ini masih sekeluarga dengan Kyai Khasan."
Mendengar jawaban tersebut segera kubalas
"Sami'na wa atho'na Kang"
"Nah gitu dong... Aku tinggal
leh"
Kang Murod pergi menjauh menuju
bendungan. Tapi lagi-lagi otakku
berfikir banyak hal, dari rumah yang aku
tongkrongi sekarang, dari Jupul Honda putih Kang Murod, dan kenapa pula namanya Qoswah? tidak ada
yang beda, Itu sebagaimana sepeda jupul pada umumnya.
Walaupun Aku akui perawatannya luar
biasa, karena suara mesin dan bodinya
masih sangat mulus, hanya saja spion
kanan tidak ada, hanya ada yang sebelah
kiri. Bukankah akan kesulitan jika malah
menggunakan Spion Kiri, Spion kanan jelas lebih berfungsi baik untuk menyebrang
dan menyalip. Dan lagi-lagi kenapa jupul ini dinamai Qoswah?
"Ya Allaaaah,..."
Suara dari dalam membuyarkan
lamunanku, seorang laki-laki sedang
menangis. Menangis dalam do'anya.
"Kamu ikut ngamini ya dek"
"Iya mas"
Sepertinya pasangan suami-istri, mungkin karena hanya dari Kayu, maka rumah ini tidak berhasil menyaring suara
mereka berdua. Lho aku ko nguping? Ga sopan ini.
"Hamba njaluk temenan Ya Allah, kulo kesel,
kulo lelah"
Ahhh,
terlanjur, ini perintah Kang Murod, dan pemilik Rumah ini masih ada sambung keluarga dengan Kyai Khasan.
"Kulo kesel terus-terusan dadi wong
melarat Ya Allah"
Tangis si pria benar-benar miris, tak tega aku mencuri dengar.
"Ana ayam ilang ya sing didakwa
aku, ana jarit pemehan ilang ya sing
dituduh aku, Ya Allah, kulo kesel, kulo pengen Sugih Ya Allah, Kulo Pengen
sugih"
"Aja ya Allah, aja! "
Lho? istrinya ko malah ga mengamini? ko malah menolak
"Kulo Pengen Sugih Ya Allaaaaah"
"Aja ya Allah sung aja!"
"Ya Allah Sugiiiiiih ya Allah"
"Aja Ya Allah, aja!!!
melarat ben pendirangan apa maning sugih, ngko enyong ditinggal Ya Allah, wis kaya kiye baen Ya Allah"
Hening. krik.. krik.. krik
"AJA NGGOGONII BOJONE ENYOONG YA
ALLAAAAAH"
Suara si Laki-laki semakin keras, dan
lagi-lagi aku terjebak pada hal-hal absurd lagi jika bersama Kang Murod, bodo amat,
lebih baik minum dulu aja.
"Bisane malah ora ngamini si dek?!!!!!"
Dan pertengkaran rumah tangga pun
dimulai, maaf, tidak bisa menceritakan detailnya, sensor.
UHUK...UHUK...
UHUK
Sialan, kenapa harus batuk disaat begini. Gawat jangan-jangan nanti mereka.
Krieeeet
Seorang laki-laki muncul dari dalam,
menjinjing parang melihatku penuh curiga. Salimna Ya Rabb, kemudian memandang Si Qoswah.
"Murode ndi mas? "
Tidak kujawab, langsung saja aku berdiri
mengajak bersalaman dan mencium tangannya, dengan hati-hati dan sopan, beliau masih keluarga Kyai Khasan.
"Tadi ke belakang sana pak"
"Oooh, yaudah masuk aja"
"Ndak pak disini aja"
"Ayo mlebu!!" mempersilahkan
dengan menunjukan parangnya ke arah dalam
"Mboten pak teng riki mawon"
"Mlebu"
Akhirnya aku masuk, kilauan tajam parang masih bikin ngeri.
Sebuah rumah kayu, dengan lantai masih
dari tanah, dan sekarang aku memahami betul
makna do'a yang disampaikan tadi.
Kukira aku akan terjebak disuasana mencekam
atas pertengkaran mereka, namun ternyata
keluarga tersebut sangat baik dan ramah. Setelah cerita banyak akhirnya aku
memberanikan diri merespon.
"Kalau keramik gimana pak, bu? saya bisa sampaikan ke pihak pondok"
Namun istrinya yang menjawab "Ndak usah mas, gini aja, disyukuri aja. Tembok kayu ya bagus ko, berarti ndak usah pasang kipas, angin bisa nyelip masuk. Lantai tanah ya ga papa, itung-itung si kecil kalo pengen kencing ya tinggal curr aja, bisa langsung ngresep."
Namun istrinya yang menjawab "Ndak usah mas, gini aja, disyukuri aja. Tembok kayu ya bagus ko, berarti ndak usah pasang kipas, angin bisa nyelip masuk. Lantai tanah ya ga papa, itung-itung si kecil kalo pengen kencing ya tinggal curr aja, bisa langsung ngresep."
Aku tersenyum mendengar jawaban istrinya,
bocah laki-laki tidur diatas kasur, syahdu, bukankah ini yang disebut rodliyatan mardiyah.
"Tapi ndak papa lho bu, kalo keramik kayaknya ringan bagi
pondok, nanti santri-santri yang jadi
tukang pasangnya. Toh keluarga ini kan
masih ada sambung saudara sama Kyai Khasan"
"Lho? kata siapa?".
Pak Parmin menjawab. Aku mengerenyit. Mampus! kayaknya kena usil Kang Murod aku. "Dari aku maupun istri ndak ada hubungan darah sama Pak Kyai mas"
Pak Parmin menjawab. Aku mengerenyit. Mampus! kayaknya kena usil Kang Murod aku. "Dari aku maupun istri ndak ada hubungan darah sama Pak Kyai mas"
Rasanya pengen cepet-cepet lari dari situ
dan mencari Kang Murod sambil ngumpat sebanyak-banyaknya. Dan sekaranglah aku
paham kenapa Maman sangat jengkel kepada Kang Murod.
Assalamualaikum
Si Pelaku utama kesalah pahaman ini muncul,
dia membawa dua ikat ikan segar, masing-masing ikat berisi tiga ikan besar dan sarungnya terlihat masih
basah, hanya sarungnya.
"Ayok pulang leh"
Setelah memberikan satu ikat kepada Pak
Parmin, Kang Murod langsung pamit. Kami
bertukar salam, dan keluarga Pak Parmin
terlihat mengucapkan terima kasih kepada Kang Murod.
"Kang ko sampean bil...."
"Sssst.. dibahas di Kang Mus aja, udah telat ini"
Aku diam penuh dongkol. Sesampai di warung
Yu Sumi sudah ada Kang Alim dan Kang Mus, Kang Murod memberikan ikan tersebut
dan mencium tangan Kang Mus, sedang aku bersalaman biasa. Masih saja teringat
do'a suami-istri itu, parang dan kucium
tangannya.
"aku jengkel Kang"
Kang Murod lagi-lagi tidak menggubris.
"Lho?
ga direspon Mas Murod?"
"Ngga perlu Kang Mus, dia lagi jadi Musa, aku Khidirnya"
"Apa lagi itu rod?"
"Jangan ikut-ikut lim"
Kang Alim melirik padaku mengisyaratkan
detail kronologinya.
"Aku diajak ke rumahnya Pak Parmin
Kang, ditinggal ndak tau kemana dan
dibilangin Kang Murod kalau pemikik rumah itu masih keluarga dengan Kyai
Khasan"
Kang Alim cuma cekikikan. "Oalaaaah, beruntung berarti kamu Leh, diajak kesana berarti dapat ilmu luar biasa
tentang keluarga yang sangat sabar dan bersyukur"
"Tapi Kang, aku di gorohi Kang, diapusi,
di kibulin sama Kang Murod"
Kang Murond mendadak membanting bungkus
SamSoe keatas meja, ekspresinya
menakutkan, seperti ingin memarahiku
habis-habisan. "Lantas! Kamu akan seperti mereka bani israil? Yang
mengagung-agungkan Siti Saroh karena berasal dari keluarga kerajaan sedangkan
Siti Hajar hanya budak belia? Kamu akan ikut-ikutan ribut bahwa Ishaq dari
rahim Siti Sarah lebih Mulia ketimbang Ismail yang lahir dari Siti Hajar?!!!!"
Aku kaget diberondong dengan
kalimat-kalimat itu, dan tidak paham
kenapa Kang Murod geram menceritakan hal tersebut.
"Baru kemarin sore kamu dijelaskan
oleh Alim apa itu Khoir, Kang Mus
tentang pelanggaran perintah. Lantas
kenapa justru kebaikanmu sekarang tidak karena ingin berbuat baik saja? kenapa
harus ada embel-embel trah? apakah
Kanjeng Nabi Muhammad Bagimu menjadi sangat hina karena berasal dari keturunan
Siti Hajar? KEBAIKAN APA? TA'DZYIM APA?!!!!"
Aku mengkerut, malu, sangat malu.
"JUSTRU ORANG DIHADAPANMU INI ADALAH
ADIK TERAKHIR KYAI KHASAN, HARUS KUBERITAHU JUGA? BARU KAMU MAU BERBUAT BAIK LEEEH!!!! KEBAIKAN PILIH-PILIH LAGI!!! TRAH NDASMU!!!! "
Aku melihat Kang Mus di hadapanku, dan beliau cuma tersenyum. Dan aku semakin
kecil, kecil dan terus mengecil.
Oleh : Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay