"Lho? Assalamualaikum yai"
Aku menyalami Kyai Khasan yang sedang duduk bersandar dan
dipijiti Murod. Tumben dan baru kali ini Abah Kyai santai-santai di rumah Kang
Mus. Di Belakang warung Kang Mus memang ada halaman, tanahnya
Kang Mus tanami tumbuhan obat, apotek
hidup orang sekarang menyebutnya. Beberapa minggu ini Aku, Murod dan Kang Mus membuat gubuk untuk bisa
kami jadikan tempat santai, untuk duduk 7-8 orang masih muatlah. Harusnya juga
pembuatan gubuk ini bisa selesai cepat, tapi karena Murod sering
slenge'an, guyon, bercanda maka prosesnya tidak
selesai-selesai, kemarin baru tuntas, setelah Murod datang membawa papan hitam
(papan tulis kapur) entah dari mana, dan
ternyata Kyai Khasan hari ini seolah ikut meresmikan.
"Rod, kamu
ngambil istiqomahku, kan aku, yang biasanya mijitim abah yai."
"Halah, pikirmu
santrinya abah yai cuma kamu lim? seenaknya aja"
Abah Kyai cuma senyum-senyum, beliau memandang kebun dengan
gendingan jawa, entah suluk apa yang
sedang dibaca.
"Kang Mus mana rod?"
"Aku datang cuma ada Yu Sumi, mau balik lagi tapi Yu
Sumi bilang jangan, suruh nemenin abah
kyai disini."
Kyai Khasan melipat kakinya, tanda kepada Murod menyudahi pijitan.
"Papan tulisnya buat disini ternyata Rod?"
"Enggeh bah. "
Baru sekarang paham ternyta Murod meminta papan dari pondok.
"Buat ngaji rod?".
"Mungkin bah".
"Ko mungkin Rod? bukannya tujuanmu untuk itu ya?"
Kyai Khasan sekali lagi cuma senyum-senyum saat aku merespon
jawaban Murod.
"Yo mungkin to lim, ndak tahu nanti dipakai ngaji apa buat catatan belanja warung kang Mus
kan aku ndak tahu. Makanya jawaban
pertanyaan Abah Kyai tadi kujawab mungkin."
"Tapi kan kamu memintanya dari pondok? lha izinmu
memintanya apa?"
"Izin ya, aku
bilang ke Gus Muh, mau minta papan, izinya -mungkin nanti dipakai ngaji Gus-
udah. Ndak terima? ya sana temuin Gus Muh sendiri"
Kyai Khasan sekarang cekikikan, beliau mengambil kapur di kotak pojok
papan, dan membuat sebuah garis
sepanjang 30 cm.
"Nah, Lim, Rod, ini garis kira-kira 30
cm, sekarang kalian berdua perpendek
garis itu."
Aku dan Murod saling pandang, Kang Mus muncul langsung
menyalami Kyai Khasan, tidak bertanya
apapun dan cuma diam melihat apa yang tengah terjadi.
"Ayok, silahkan, terserah siapa
duluan."
Aku memberanikan diri,
menghapus garis di papan itu dengan penghapus kira-kira 10cm.
"Sampun Kyai"
"Giliran kamu Rod"
Abah Kyai mempersilahkan, tapi Murod memandang papan itu lama, kemudian ikut menghapus garis
tersebut dengan kuku jempolnya, dikiiiiiiit, mungkin hanya 0,01 cm atau masuk pada ukuran milimeter. Sampai terlihat
tidak ada perubahan sama sekali.
"Kamu juga Mus."
"Lho? saya
juga?"
"Cepetan ko"
Kang Mus tidak mengambil penghapus atau menggunakan kuku
jempol seperti Murod, tapi malah
mengambil kapur dan membuat garis baru di bawahnya sepanjang 50 cm, aku
tercengang, melirik Murod, ekspresinya datar.
"Nah, semua
benar tho? Alim menghapus benar, Murod
menghapus sedikit sampai saya kaget apa benar garis itu berubah ukurannya juga
benar, Mus membuat garis baru yang lebih
panjang sehingga garis awal terlihat lebih pendek juga benar. Begitu itulah
fikiran, cara, rumus dan jawaban, ada maqomnya sendiri-sendiri
kebenarannya."
"Permisi kyai!!! "
Murod mencopot papan hitam tadi, mengenakan sandal dan berdiri di luar gubug,
dengan sangat tidak sopan, padahal ada Kyai Khasan disini.
"Daripada sore-sore seperti ini kita gegeran urusan
garis, dan papan inilah sumber
permasalahan ini bisa muncul, sebaiknya
papan ini saya bawa ke kantor kamtib pondok, untuk di amankan karena sudah
menjadi sumber intoleran dan perpecahan umat."
"Kamu ndak takut saya bakar lagi rod?"
"Assalamualaikum yai! "
Murod ngacir membopong papan dengan tergopoh-gopoh, sedang
Kyai Khasan cuma cekikikan melihat kelakuan Murod.
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay