Hujan
belum benar-benar reda, kemacetan tak bisa dihindari, pengendara motor berebut celah diantara deretan mobil
berpenumpang yang sama lelah. Sepatah kata tak mampu diucap, menjelma klakson bersautan.
Di trotoar ramai orang lalulalang menghindar hujan, jangankan saling menyapa,
sesungging senyumpun tak ada, apalagi tatapan mata, tubuh sudah terlalu payah, batin semakin hampa.
“Terkadang kita lupa. Kehidupan yang kita jalani bisa menjadi seperti ini.”
Seorang ibu muda pasrah
mendekap putrinya,
setelah dengan sisa tenaganya ia gagal, mempertahankan tas miliknya dari jambretan seorang
pemuda. Seorang bapak mengais tong sampah, berharap menemukan apapun
yang bisa ia bawa pulang untuk anak-istrinya. Genangan sungai keruh dipenuhi
sampah,
menambah betapa tak layak huninya sebuah tempat tinggal. “Bawa aku pergi dari
sini” bisik gadis kecil seakan mewakili isi kepala seluruh penduduk kota.
Tuhan entah dimana??
Tuhan sedang tidak bersama
dinginnya air hujan yang mengguyur tubuh, tidak di sela-sela kemacetan, tidak
pada langkah kaki, senyum dan tatapan manusia, tidak bersama seorang ibu muda
yang mendekap erat putrinya, tidak pula bersama penjambret dan sampah genangan
sungai keruh.
TUHAN TIDAK ADA DI SEANTERO KOTA.
Rombongan manusia berbusana putih berduyun-duyun
menyisir jalan, mata nanar, tatapan tajam,
bentrok dengan manusia-manusia lain berseragam, sedang bocah laki-laki kecil semakin erat
merangkul bapaknya, memekik ketakutan.
Mereka bertakbir, bersholawat, menggema
di seluruh gang-gang kecil menunjukan kepada dunia hanya mereka orang yang
layak di kasihi oleh Tuhan dan Muhammad Solallahu 'alaihi wassalam adalah mereka yang pantas
memilikinya, benarkah.
Entah dimana Rosulullah?
Si Kaya mentereng dengan gleger rumah
besarnya, mobil-mobil mewahnya,
pendidikan tingginya, merasa sebagai ras tertinggi dintara rangkai rantai
makanan ma-nu-sia. Padahal Si Miskin syahdu terus mengumandakan adzan dalam
lima waktunya, ia bercerita lewat
speaker-speaker tempat peribadatan yang kamar mandinya jauh lebih mewah
ketimbang kamar yang ia tiduri. "Hayya
'alal falaah, hayya 'alal falaah, hayya 'alal falaaah" mereka
istiqomahi tapi entah kemanangan seperti apa yang mereka tuju,
"Wa asyhadu anna Muhammadar rosulullah." dan
kesaksian-kesaksian atas Muhammad yang mereka kasihi, padahal batal pernikahannya, istrinya pergi entah kemana, anaknya hilang di trotoar perempatan
jalan, ia di hajar massa hingga koma
tanpa tahu apa sebabnya, ia disudutkan
fitnah atas pemukulan padahal tidak pernah ia lakukan, ia diasingkan di
keluarganya karena sekarang tak memiliki pekerjaan, tapi ia tetap bercerita lewat speaker-speaker
mushola atas lima waktunya.
Muhammad tidak ada di
pojokan-pojokan bilik penderitaan.
Manusia kembali menjadi manusia, tanpa bisa memilih akan lahir seperti
apa, dengan fisik bagaimana, dari keluarga seperti apa, dari kekayaan yang
mana, atau tidak memiliki sepeser
patimura sama sekali.
Dari rahim menuju pintu dunia, dari bayi menjadi bocah, bocah menjadi remaja, remaja menjadi dewasa dan semakin tua, semakin tua. Manusia kembali menjadi manusia, saat dilemparkan jauh ke lubang sumur yang
tak berdasar dan saat itulah ia mulai mengerti bahwa ia mulai tiada, muncul dari ketiadaan menuju ketiadaan. Ia
menemukan Tuhannya.
Tidak di gang-gang kecil, tidak seantero kota, tapi di dalam dirinya. Bersemayam didalam
hati, mengalir pada setiap pembuluh
darah, detak jantung, nafas dan terbukalah setiap huruf jalalah ada
di detail tulang tubuhnya, urat
pembuluhnya dan setiap rangkai DNAnya,
Allah Allah Allah, tentang
kemana, dimana dan akan kemana ia menuju.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.
Manusia kembali menjadi manusia, ketika ia menderngar bisik LAQOD JAA AKUM
ROOSUWLUN MIN ANFUSIKUM AZIIZUN ALAIHI MAA ANITTUM HARII-SHUN ALAIKUM
BILMU’MINIINA RAUUFUR RAHIIM. :
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (128)
Lalu bagimana mungkin apa yang dideritanya tidak
Rosulullah rasakan, kepayahannya,
ujiannya, dunia, dunia,
dunia. Bisik itu kembali
berusara, FAIN TAWALLAU FAQUL HASBIYALLAAHU LAAILAAHA ILLAA HUWA ALAIHI
TAWAKKALTU WAHUWA RABBUL ARSYIL ADZHIIM. :
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung”. (129)
Cintanya memuncak, mengubun-ubun melintasi seluruh cakrawala
semesta, melintang bujur garis menuju
Allah, Allah meneruskannya langsung menuju
titik Muhammad sebgai pintunya dan kembali kepadanya sebagai hamba mewujud
segitiga cinta, dimana bulatan-bulatan
masalah dunia tak menyentuh sudut segitiganya sama sekali, dan tanpa sadar ia
berikrar :
"Jikapun dunia meletakan matahari digenggaman
tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku,
agar aku meninggalkan keyakinanku. Sungguh sampai matipun tidak akan
kutinggalkan".
Oleh : Lingkar Gagang Poci
Pengantar Forum Majelis Masyarakat Maiyah POCI
MAIYAH Oktober 2017