"Islam yang saya tahu adalah menyaksikan bahwa tidak
ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakan sholat, berpuasa di bulan romadhon, menunaikan zakat
dan haji bagi yang mampu."
Rozak menjawab dengan penuh ketegasan, lalu Abduh menambahi
dengan lebih lembut;
"Maka mengajak siapapun kedalam islam, baik bagi islam sendiri maupun yang belum
mengenal islam adalah kewajiban bagi siapapun pemeluk islam Kyai."
Kyai Khasan menyandarkan tubuhnya di pilar bambu gubug, memejamkan mata sembari telapak kanannya
menepuk lutut dan sesekali mengangguk. Abduh dan Rozak menunggu respon Kyai
Khasan.
Kyai Khasan membuka mata dan tersenyum kepada keduanya, dan keduanya merasakan lega. Sepertinya
mereka tidak menemui kesulitan meminta izin kepada Pemuka desa ini.
DUAK!!!
Suara benturan di pintu mengagetkan kedua orang tersebut.
Alim hanya melongo meliat murod kembali kemari dengan papan di tangannya. Dan
kenapa pula dia bisa seteledor itu menabrak pintu.
"Eh? Lho? Abah
Yai masih disini ternyata? Hehe, maaf mengagetkan, ada tamu sepertinya, saya didalam aja kalau gitu bah yai."
"Ehem.. Kesini rod!! "
Mendengar kalimat tersebut wajah murod langsung pucat
pasi, keringat muncul seketika di
dahinya. Menatap Alim penuh kelemahan dengan maksud
-Tulungi aku lim, aku
emoh di hukum lagi-
Alim mendesah sambil menatap Murod menggelengkan kepalanya.
-Sorry Rod, ini
masalahmu, kamu berani kabur tadi dengan
cencang-cenceng tanpa kesopanan, santai,
kalau kamu dijemur lagi nanti aku bawain nasi padang.-
-Nasi padang ndashmu-
Murod tetap berdiri dipintu dan memberanikan diri menjawab
Kyai Khasan
"Kulo didalam aja bah, ada tamu, takut menggangu"
"Sini Rod"
"Di dalem aja bah"
"Kesini"
"Dalem aja bah"
"Ehem.. kalo ndak kesini tak bakar lagi kamu!!!"
"....." Abduh
"....." Rozak
Rozak dan Abduh menarik nafas panjang, punggung mereka berkeringat seketika.
Ekspresi mereka langsung berantakan.
Bakar? Bukannya
disini hanya ada Pesantren salaf yang mengajar ngaji? Bukan padepokan kanuragan kan? Kyai macam apa yang mengancam santrinya
dengan dibakar? Lalu, kalau kami berdua
membuat kesalahan tanpa disengaja, nasib apa yang menanti kami? dibakar?
sekalian aja SATE KAMI!!!
Khayalan Abduh dan Rozak buyar ketika pemuda dengan nama
Murod muncul di depan gubug dengan menunduk malu di hadapan Kyai Khasan. Wajahnya,
postur tubuhnya, dan papan di
tangannya sejelas musim panas Gunung Slamet. Mereka berdua langsung
mengenalinya.
"Lho, Mas
killing spri?"
Abduh langsung terkesiap menunjuk, Murod mendongak melihat dua
orang di depannya, menyipitkan mata.
"Eh, kalian
berdua? ... Babi.."
"....." Rozak
"....." Abduh
Alim tersedak terbatuk-batuk. Melotot ke Murod.
-Babi? ndashmu sing
babi rod, ini tamu abah Kyai, beraninya
kamu mengatakan mereka babi-
"Ahahaha... sepertinya panjenengan berdua sudah mengenal Murod. Murod ini Mas Abduh
dan Mas Rozak. Mas-mas, ini Murod, salah satu santri saya"
"Sudah Kyai, malah kami belum sempat berterima kasih ke Mas Murod setelah
menyelamatkan kami dari insiden kecil tadi.
Itu juga yang membuat kami cukup terlambat hadiri di kediaman Mas
Mus."
"Benar kamu menyelamatkan mereka Rod?"
"Umm.. kira-kira
begitu Bah yai."
Kyai Khasan cuma menatap tajam ke Murod, sedang Murod sendiri merasa bahwa tatapan
Kyai Khasan lebih dan lebih tajam lagi,
tanda bahwa dia tidak akan selamat dari hukuman.
"Duduk di sebelah Alim Rod. Nah, sekarang saya ingin pendapat kalian berdua
tentang niat Mas Abduh dan Mas Rozak untuk berdakwah di depan ini."
Alim terkejut, melirik ke Murod yang sedang mengerutkan keningnya. Kesempatan pikir
Alim.
"Ngapunten Abah, kulo tidak punya ilmu, wawasan
dan pengalaman terkait masalah ini. Baik dari budaya masyarakat, pondasi corak islam, serta mentalitas warga
menerima hal baru, kulo tidak menemukan
kesimpulan yang jelas, mungkin Murod yang bisa menjawabnya"
Murod yang bisa...
Murod yang bisa...
Murod yang bisa...
Suara Alim menggema seperti petir di otak Murod. Matanya
melirik Alim dengan penuh nafsu mencabik-cabik.
-Jangkrik!!! kamu
jual aku lim, sedulur macam apa ini!!!-
Jika tatapan bisa melukai, mungkin Alim sudah dipotong menjadi empat bagian, bukan, tapi enam belas potongan kecil-kecil.
Murod mengatur nafasnya, mengumpulkan ketenangannya. Bibirbya komat-kamit membaca do'a. Entah apa
yang dibacanya.
"Jika Abah Kyai adalah mata air, maka Mas Abduh dan Mas Rozak adalah manusia
yang akan mendorong orang lain menuju mata air tersebut. Sudah lama Pesantren
kita ngurip-nguripi semua mushola dan masjid disekitar desa dengan jamiyahan
rutinan, pengajian setiap
mingguannya, namun belum ada orang-orang
yang secara intens mengajak warga untuk rajin berjama'ah setiap harinya dan
yang hadir di jamiyahan rutin juga cenderung masih sedikit. Disini Mas Abduh dan Mas Rozak mungkin bisa menjadi solusi
yang akan mengajak warga kampung untuk giat mengajak berjama'ah ke mushola atau
masjid dan belajar mencintai masjid sebagaimana zaman para sahabat-sahabat
Rosul dulu. Sehingga rutinan jamiyah bisa semakin semarak dan ramai menyambut
bulan Ramadhan."
Rozak dan Abduh tidak bisa menyembunyikan kekagetan di
ekspresi mereka. Mendapati bahwa semuda itu Murod memiliki jawaban yang dalam
dan bijaksana. Terlebih Alim juga menjawab dengan penuh pertimbangan dan
kehati-hatian, tidak seperti kebanyakan
santri yang hanya ingin mengesankan orang lain dengan jawaban-jawaban
ngasalnya.
Rasa penasaran melintas di mata mereka berdua, tentang seperti apa sebenarnya Pesantren
asuhan Kyai Khasan, apakah santrinya
memang semenakjubkan dua pemuda di hadapan mereka.
"Tapi..."
Murod menatap penuh tanya kepada Abduh dan Rozak.
"Silahkan di teruskan Rod... ga papa, ini proses istifham ko"
"Enggeh bah yai"
Murod berdehem membersihkan tenggorokannya.
"Tapi Mas Abduh dan Mas Rozak, saya harap berkenan
untuk nderek ngaji secara khusus ke Abah Kyai Khasan. Apalagi tentang bab fiqih"
Kyai Khasan semakin mengembangkan senyumnya ke Murod.
"Fiqih? kalau
boleh tahu kenapa mas Murod."
"Karena saya melihat mas-mas berdua tadi langsung
mandi, berganti pakaian dan sholat ashar di mushola. Tanpa terdahulu mensucikan
pakaian atau badan mas-mas. Kelemahan mengidentifikasi jenis najis bisa
mengurangi kesempurnaan ibadah mahdoh kita. Padahal jelas apa yang njenengan alami
tadi berurusan dengan babi. Babi itu masuk kategori mugholadoh, jadi.. "
"Tunggu sebentar Rod"
Penjelasan Murod disela oleh Kyai Khasan.
"Lim, Aku pengen
ngopi, kedalam bilang ke Sumi untuk menyediakan kopi dan gula, biar ngraciknya
disini aja. Tremosnya jangan lupa
ya"
"Enggeh bah"
Alim segera memenuhi perintah Kyai Khasan. Beberapa menit
kemudian Alim membawa nampan berisi gelas, kopi dan gula. Sedang di belakangnya
ada Kang Mus membawa tremos. Setelah meletakan itu semua,
Alim kembali duduk di sebelah Murod dan Kang Mus masuk ke dalam lagi
menjaga warungnya.
"Monggoh,
silahkan di racik sendiri. Saya pernah dengar kalau kopi racikan
teman-teman dari jama'ah njenengan itu yang terbaik."
Abduh dan Rozak tidak keberatan, mereka berdua langsung meracik kopi di
gelas-gelas yang disediakan seterampil barista profesional. Meski tidak
menambahkan gula tapi wangi kopi terasa lebih khas ketimbang racikan Alim yang
jago bikin kopi, meski level Alim masih
jauh di bawah Kang Mus dan Yu Sumi, tapi level Abduh dan Rozak tidak kalah
dengan Kang Mus dan Yu Sumi.
"Monggoh Kyai,
Mas Murod dan Mas Alim, gulanya
silahkan disesuaikan dengan selera masing-masing"
Kyai Khasan, Murod dan Alim tidak menunggu lama, mencampur gula dengan takaran dan
mengaduknya. Alim yang pertama meneguk kopi tersebut.
"WAAAH, nikmat e
Rod."
Murod masih menatap kopi yang dia pegang dan Kyai Khasan
tersenyum sambil meneguknya perlahan.
"Kalau boleh tahu kenapa bisa senikmat ini, Mas Abduh-
Mas Rozak?"
"Tidak ada resep rahasia Mas Alim, kami hanya mengikuti standar pembuatan
kopi, apalagi asal kopi yang disediakan
Mas Mus sudah sangat baik, hanya saja,
di awal,di proses, dan di akhir kami meminta kepada Allah agar kopi ini dijadikan enak. Karena
kami memang terdidik untuk hanya berharap ke Allah dan bukan kepada
selain-Nya."
Alim penuh kontemplasi, memandang Murod yang baru saja
menyeruput kopi tersebut dan penuh tanya,
seolah-olah seluruh pemahamannya tentang segala sesuatu harus di kaji
ulang sepasca ini.
"Ehem.. kenapa
mempelajari islam tidak langsung dari Al qur'an yang jelas-jelas adalah firman
Allah sekaligus mu'jizat terbesar Rosulullah? Kenapa harus repot-repot mendaki
anak tangga lewat ulama dan orang-orang solih?"
Abduh dan Rozak terkejut mendengar pertanyaan Kyai Khasan.
Mendadak rahasia apa yang menjadi keyakinannya seperti sedang di gulung ombak
besar.
"Meski tidak bisa di samakan, tapi ada pola-pola yang bisa dikatakan dengan
panjengan berdua meracik kopi tadi. Jika Al Qur'an dan Hadits adalah sumber
semua tentang islam dan pemersatunya, maka tremos adalah sumber segala
pemersatu racikannya. Mustahil bagi kita yang awam memahami islam dengan
melompat langsung mempelajari Al qur'an dan al hadits, level kita terlalu
rendah memahami itu semua. Sedang yang paling otentik dengan itu semua adalah
para sahabat dan tabi'in yang di ajar oleh para sahabat."
"Namun jelas kita tidak termasuk dalam era tersebut, maka kita butuh tangga untuk menapakinya.
Sama halnya dengan kopi ini, kita masih
butuh gelas, mustahil kita langsung
meminumnya dari tremos. Maka, saya
memberi panjenengan berdua untuk berdakwah di desa ini sesuai dengan apa yang
Murod sampaikan. Adapaun hari ngajinya
adalah rabu pagi, hari dimana cahaya di
ciptakan.
"Apakah mas-mas bisa menerima kondisi ini?"
Abduh dab Rozak masih mencerna apa yang disampakaikan Kyai
Khasan, namun langsung menjawab;
"Sami'na wa atho'na Kyai. Terima kasih atas
kemurahannya. dan terima kasih juga atas ilmu-ilmu yang di berikan sore hari
ini, juga kepada Mas Murod, Mas Alim dan Mas Mus sekeluarga."
"Jadi begitulah, monggo silahkan undur diri. Saya juga mau balik ke pondok, sudah hampir maghrib ini."
Murod dan Alim berdiri setelah merapikan sandal Kyai Khasan
dan bersiap mengantar Abah Kyai ke pondok.
"Eng.. nganu
Kyai.."
Kyai Khasan berbalik,
Murod dan Alim bergeser membelakangi Kya Khasan.
"Oh, ada lagi
Mas Abduh, silahkan di sampaikan, kalau
bisa ringkas nggeh."
"Ah.... "
Abduh memutar otaknya dengan cepat, menyusun yang ingin disampaikannya. Rozak
bingung dengan apa yang sedang Abduh lakukan.
"Terkait insiden tadi, dan pembicaraan Kyai ke Mas
Murod tentang hukuman bakar. Saya melihat mas Murod bisa ilmu kanuragan atau
silat, pastinya saya yakin pesantren
yang mengajarkannya. Kalau
diizinkan, saya juga ingin menimba
barang satu atau dua gerakan agar dakwah kami kedepannya bisa lebih baik karena
ada pegangan bela diri."
Kyai Khasan mengerutkan alisnya, melihat ini Abduh semakin gugup dan
melepaskan semua yang ingin disampaikannya.
"Khususnya Tendangan Killing Sprii Kyai, mohon di pertimbangkan".
"......" Kyai Khasan
"......" Alim
"......" Murod
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay