"Orang yang bertahun-tahun mempelajari mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan, tidak dijamin memiliki keberanian mental untuk mengemukakan sesuatu hal itu benar dan sesuatu hal itu salah. Tinggi dan luasnya ilmu pengetahuan seorang cendekiawan tidak menjanjikan jaminan moral. Artinya, dari kenyataan itu tercermin ketidaktahuan kemanusiaan. Di dalam diri seseorang tidak terdapat keterkaitan positif antara pengetahuan, ilmu, mentalitas dan moralitas." (Tetes 25 April 2018)
-
Jadi gini, Alkisah di sebuah kelas terjadi percakapan antara
seorang Guru SD dengan para muridnya;
Guru : "Anak-anak siapa yang mau masuk surga?"
Para murid : "Sayaaaa" (serempak)
Si Jack : "......."
Salah seorang murid yang duduk paling belakang pojok kanan
diam tidak turut menjawab.
Guru : "Anak-anak, disini siapa yang mau masuk
neraka?"
Para Murid : "Tidak Mauuuuuu."
Si Jack : "....."
Guru : "Jack,
kamu mau masuk surga atau masuk neraka?"
Si Jack : "Tidak dua-duanya bu!"
Guru : "Kenapa?"
Si Jack : "Mau gimana lagi bu, habis waktu ayah mau meninggal beliau
berpesan; Jack! apapun yang terjadi! kamu harus masuk
TENTARA!!!."
****
Lantas tumbuh dewasalah Si Jack, seperti pemuda pada umumnya
Jack pun memiliki ponsel, dan entah ada
angin apa, di titik partikel waktu tersebut
dia mendapat sebuah pesan singkat (SMS) dari seorang penipu, yang memintanya untuk mentransfer uang ke suatu
rekening, tanpa pikir panjang Si Jack langsung membalas :
"Aku telah mentransfer uang 10 juta ke Bank Mandiri
dalam bentuk cek, harap kamu terima
dengan baik".
Setengah jam kemudian Jack mendapat balasan;
"Aku sudah mondar-mandir ke bank sebanyak tiga kali,
dan tetap tidak menerima uangmu, ternyata kamu penipu"
"Maaf karena aku menipu seorang penipu" balas
Jack.
*****
Pelang-peleng memiliki terminologi tersendiri, sebuah
keadaaan dimana seseorang melihat tapi belum tentu memperhatikan. Wujudnya bisa
bermacam-macam, bisa 'seolah' matanya
fokus melihat, mendengarkan orang yang berbicara tapi pikirannya kemana-kemana, atau lain, bisa ekspresinya mengerutkan kening serius membaca mukadimah, sambil mengangguk-angguk, menggosok kening, atau memangku kepalanya tapi cuma kopa-kopi
yang sebenarnya dia nyanyikan di kepalanya.
Bisa menjadi sikap bisa menjadi sifat, tergantung
kesepakatan anda menafsirinya. Pelang-peleng berbeda dengan plonga-plongo, berbeda pula dengan sekedar petakilan. Bahkan
objek yang menjadikan orang pelang-pelengpun tidak hanya terikat pada satu
sebab, bisa banyak hal, bisa juga karena banyak variabel dalam satu waktu. Yang jelas idiom tersebut seringkali disematkan kepada wong
sing gal-gil tapi bodo. Yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu tapi malah sok
tahu. Ibarat jomblo, keinginannya untuk mencari dan memilih pasangan macem-macem;
yang cantik/tampanlah, yang pinterlah, yang solih/solihahlah, yang
kayalah, bahkan harus yang anak dari bangsawanlah. Padahal permasalahannya cuma
satu, bukan pada apa yang si jomblo
inginkan, tapi yang mau sama dia itu
siapa? adakah? apa cuma fiksi?
Itu contoh satu individu dengan masalah cukup sederhana.
Namun jika masalahnya adalah sebuah ideologi, sebuah gagasan utama hidup yang mengakar menjadi keyakinan, bisa
bayangkan jika ternyata hal tersebut menjangkit pada banyak orang, satu keluarga seumpama, satu komunitas, atau bahkan satu negara, apa yang akan
terjadi jika sebuah Parade Pelang-Peleng
berjalan di muka bumi ini? Seberapa dahsyat dampak destruktifnya. Seperti satu set lengkap sebuah kereta api dengan lokomotif
dan belasan gerbongnya. Dengan penuh bahagia memilih satu rel yang mereka
tentukan sendiri (bukan rel yang sebenarnya telah disediakan oleh Qodlo dan
Qodar yang semestinya) tapi rel
pelang-pelenglah yang mereka pilih. Ah, tujuannya sepertinya jelas,
kalaupun tidak nyemplung ke jurang, paling-paling nabrak jembatan, atau
malah keluar dari rel, terbang kesawah-jalan raya, yang sayangnya, kereta itu tidak lantas berubah menjadi
odong-odong yang masih memberi kemanfaatan dengan ditumpangi ibu-ibu pengajian, tapi justru jadi kereta yang remuk dan
hancur. Penumpangnya? Mati! Tamat!
The End! dengan penuh kekonyolan. Dan mirisnya, orang-orang yang berada dalam parade tersebut adalah orang-orang yang
kita kenal atau bahkan ternyata diri kita sendiri.
Beberapa peristiwa sejarah mencatat; ada sebuah Negeri yang
bereuforia dengan kemajuan sains dan pendidikannya, namun dikemudian hari Negeri tersebut hancur,
hanya meninggalkan puing-puing setelah serbuan militer mongol. Dicatatan lain
sebuah pulau berpenduduk pekerja keras dan kreatif memanfaatkan sumber daya
alam dengan sangat baik menurut akal budi, namun lagi-lagi di suatu hari mereka tidak menyadari bahwa apa yang
mereka lakukan justru memicu gunung berapi secara akumulatif, dan hancur. Di Wall Street para akuntan dan
orang-orang perbankan asik bermain-main dengan instrumen kredit dan saham, dan lahirlah bencana yang membuat anjlok
semua sirkulasi perekonomian. Atau yang termikro, penggiat poci maiyah jatuh ke Got karena
saking asik bermain handphone sambil berjalan.
Maka sebenarnya 'Pelang-peleng' itu sebuah sebab atau
akibat, dan titik keadaan seperti apa
yang bisa disebut pelang-peleng? Kemudian apakah fenomena itu mampu di counter? Hush! JANGAN
PELANG-PELENG dengan buru-buru menarik kesimpulan!!! Kalo iya, anda yang membaca ini, bisa jadi memang
ternyata sebenarnya pelang-peleng tapi tidak menyadarinya. Jika anda
jomblo, maka lengkap sudah, akut!! anda jomblo sok kuat yang pelang-peleng.
Sudah jomblo, bodo, petakilan, sok kuat pula. Pindah akherat saja
sanah.
Bagaimana mau mencegah, sedang hal tersebut sudah mengakar
kuat, dan jelas itu dipicu oleh KEBENARAN yang sangat sangat sangat (tiga kali
penyebutan) mereka/kita yakini. Mbah Nun menyampaikan di Kitab Ketentraman bab Tiga Macam
kebenaran :
"Masalah kebenaran barangkali sekadar konstruksi pengertian akan kebenaran. Tetapi, hidupnya kebenaran adalah suatu wujud yang lebih kompleks dan total dari seorang manusia, dari sebuah kebudayaan. Tidak sedikit orang yang telah menemukan kebenaran yang sejati, tetapi terbatas hanya pada tahu atau mengerti belaka. Secara total ia belum sampai, belum menemukan.
Orang yang mengerti kebenaran sejati, bisa memiliki bekal kearifan hidup, bisa juga sebaliknya. Ia bisa menjadi ular naga yang berhasrat menelan siapa saja, sampai dirinya sendiri pada akhirnya. Ia bisa menjadi kancil yang memutar-balikan akal, yang menyungsang-malangkan kenyataan, mengeksploitasi nilai-nilai. Lain halnya dengan orang yang bukan sekedar mengerti, bukan hanya yang memegang atau menggenggam kebenaran yang sejati. Tetapi merasuk, ia hidup dengannya, mendarah daging total pada seluruh jiwanya, sampai akhirnya ia seakan-akan dirinya sendiri itulah kebenaran sejati.
Pada orang yang tidak total merasuki kebenaran sejati, maka benar sejati itu menjadi api jahat di tangannnya. Menjadi pisau destruktif. Menjadi senjata politis-strategis. Menjadi akal busuk. Menjadi maling." (hal 212)
Kita semua perlu kembali menelaah untuk mencapai
kematangan, saat naik kereta maka
milikilah sense atau cita rasa kereta, sama juga saat naik bus, apalagi
jika kebetulan kitalah sopirnya, jangan
sampai keliru mengemudikan bus dengan rasa kereta, entah saat memacu, berbelok, menanjak atau menuruni tikungan panjang. Jika sungsang, bukan hanya berakibat kecelakaan, tapi juga menjadi Korban kecelakaan karena
kepelang-pelengannya.
Tidak ada tuntutan untuk menemukan kebenaran sejati itu
seperti apa, namun ada kewajiban bahwa
proses mencari tidak boleh terhenti, sejenuh, sengeri, semenyedihkan
prosesnya, terus dan jangan ragu. Satu
menit momentum pencerahan bisa sangat berharga dan sangat membahagiakan,
tentunya setalah belasan-puluhan-ratusan kali proses pencarian. Dan ini bukan
lagi fiktif, tapi justru menjadi nilai
keabadiaan sendiri hingga akhirat kelak.
Maka hemat kami, (yang
bisa saja kebenaran apa yang apa kami yakini benar saat ini, bisa saja berkembang-berubah nantinya)
sungguh sebuah fitrah manusia mencari dan memiliki kebenaran dalam proses
hidupnya, perbedaan-perbedaan adalah instrumen Tuhan untuk mendidik makhlukNya
menemukan kebijaksanaan. Tidak akan ada dampak yang dahsyat apabila
kebenaran-kebenaran itu tetap berletak bersembunyi di kedalaman dirinya. Dan
yang dimunculkan adalah nilai-nilai keindahan,
kasih sayang, cinta, kemuliaan dan kebaikan-kebaikan.
Namun justru yang terjadi hari ini kebenaran itu di
elu-elukan, dipelang-pelengkan, bukannya ditransformasikan sebagai
"Kemanusiaaan" itu sendiri, tapi malah berdampak menjadi ke-goblokan
nasional, dendam antar golongan,
sentimen antar bendera, dan fatalnya terus
mengikis kepercayaan dirinya kepada orang lain, bahkan kepada dirinya sendiri
dia sangat skeptis, dan untuk kehidupan ia menjadi semakin pesimis dan apatis.
Jangan salah, pelang-peleng itu menular, satu trend bisa menyebabkan ombak viral, yang
sangat besar dan tinggi di masyarakat kita. Geger posting Facebook berbicara A
semua lantas ribut menggegerkannya, tanpa terlebih dulu menyaring-kunyah informasi yang diterima. Bahkan
membentuk sebuah parade besar, Parade
Pelang-peleng, parade yang penuh kebisingan menyombongkan kebenarannya
masing-masing, tafsirannya masing-masing. Sama sekali tidak ada titik
keseimbangan, entah akal dan hatinya,
mulut dengan otaknya, hasrat dan
sanubarinya.
Mbah Nun menyampaikan di Kitab Kententaraman dalam bab
"manusia fiqh, manusia akhlaq,
manusia taqwa" :
"...Ada maling yang mencuri di suatu kampung, kontan saja masyarakat langsung memberikan hukuman - entah dengan menggebukinya bersama-sama atau di seret ke kantor polisi setelah kondisi si maling tadi babak belur. Atau membakarnya hidup-hidup."
Bukankah ketidak seimbangan ini sangat mengerikan. Tidak
salah menjadi kuat, namun untuk menindas
yang lemah apakah memang menjadi sebuah keharusan.
"..Tinggi dan luasnya ilmu pengetahuan seorang cendekiawan tidak menjanjikan jaminan moral. Artinya, dari kenyataan itu tercermin ketidaktahuan kemanusiaan. Di dalam diri seseorang tidak terdapat keterkaitan positif antara pengetahuan, ilmu, mentalitas dan moralitas." (Tetes - 25 April 2018)
Jadi sekarang, mengadopsi dari wejangang-wejangannya simbah;
daripada kita memamerkan dan menyombongkan kebenaran kita, anda nanti juga
mempertahankan diri dengan memamerkan dan menyombongankan kebenaran anda,
mending kita bekerja sama mencari kemungkinan untuk menciptakan keseimbangan
diri kita, keluarga kita, jama'ah kita dan berakumulasi menjadi
keseimbangan nasional.
Kita akan mulai kembali belajar menata hidup di tataran:
kita berlomba untuk saling mengamankan satu sama lain, berlomba untuk saling
menyamankan satu sama lain, berlomba untuk saling menyumbang kearifan,
kebijaksanaan. Supaya output dari kita itu bisa puzzling (menyatu) menjadi
keseimbangan bersama (sosial). Kita tidak bisa meneruskan kehidupan dimana yang satu merasa
dirinya malaikat dan menuduh lainnya setan. Dan itu bukan hanya menuduh karena
dia berkepentingan, dia yakin dirinya malaikat dan yang lain diyakini sebagai
setan. Termasuk yakin bahwa dirinyalah yang paling paham dan menuduh dengan
sangat anggun bahwa Si Penyusun mukodimahlah yang pelang-peleng.
#LigaPM