REPORTASE • RESOLUSI CAHAYA
"Maiyah itu bukan gula, bukan sirup, bukan madu, tapi manisnya itulah maiyah. Maiyah bukan pisau, bukan keris, bukan pedang, tapi tajamnya itulah maiyah"
Diawali dengan jawaban Kang Mocka, atas pertanyaan jama'ah
baru bernama Oki tentang apa itu maiyah, tema Resoulusi Cahaya mulai menggeliat
samar memperlihatkan auranya.
06 April 2018, babak baru Poci Maiyah setelah tasyakuran
satu tahunnya mulai meniti, banyak hal
menarik, banyak hal baru, banyak hal
luar biasa. Bisa dilihat bahwa semakin istikomah ditempuh semakin sulit pula
para penggiat mengontrol mental, emosi
serta moodnya. Ada yang tergopoh-gopoh mencari konsumsi, ada yang mencoba membedah tema namun karena
penulis muqodimahnya terlambat alhasil jurus "Allahumma bisa!"
digunakan, ada kumpulan pemuda-pemudi baru yang berbeda niat tapi entah
bagaimana diperjalankan ke lingkar maiyah,
atas ketersesatannya. Ada pula sesepuh hebat yang sangat syahdu dirizkikan oleh Allah untuk rawuh ikut nitis-kaweruh kepada para penggiat tentang
apa itu arti akar tradisi dan jati diri.
Kang Dhani salah satunya, yang penuh jujur menyampaikan
bahwa beliau pamit kepada istrinya di rumah untuk keluar sebentar namun
asyik-mabuk berkumpul turut melingkar. Kejujuran itu luar biasa, namun yang lebih luar biasa lagi beliau tidak
hanyut atas apa yang ia senangi dan tetap berpijak pada tanggung jawabnya
sebagai seorang suami dan meminta izin kepada para penggiat untuk wangsul duluan, namun kalimat responnya atas tema Resolusi
Cahaya menjadi misteri lain Poci Maiyah;
"Jika di dalam ilmu desain grafis, resolusi adalah kumpulan pixel warna membentuk sebuah wujud, maka bisa jadi Resolusi Cahaya adalah titik-titik kehidupan yang telah kita alami selama ini dan menjadi satu Resolusi luar biasa."
SubhanAllah, Pakde
Teguh membedah lebih maknawi lagi tentang 'hilangnya binerasi' saat membaca
muqodimah pada kalimat;
"Di dalam Maiyah siang dan malam adalah satu.."
Hilangnya pemisahan hitam-putih. Bahwa leluhur-leluhur kita
sangat arif memaknai kehidupan, tidak
ada istilah sukses bagi mereka, namun
idiom yang terus dipatri dalam jiwa tentang arti keberhasilan adalah "dadi
uwong", jadi manusia.
Leluhur negeri kathulistiwa tidak pernah mengejar
kapitalisme atau kekayaan pribadi, tidak
ada rumah-rumah berpagar tinggi karena pagar terkuat bagi mereka adalah
"puluhan piring makan untuk tetangga" alias berbuat baik kepada
sekitar niscaya mereka akan menjaga kita pula. Rumah-rumah leluhur selalu
menyediakan gentong air untuk sengaja disediakan bagi para pengelana dan
peziarah bila-bila mereka kehausan.Yang penting bermanfaat bagi orang lain, itulah khasanah kearifan akar jati diri
kita, sehingga ketika alam dan jalal
bisa ditemukan kesatuannya, maka
lahirlah kamal (kesempurnaan).
Lantas apa sebenarnya ilmu tentang Resolusi Cahaya yang
dibahas malam itu, yang kiranya bisa dituangkan kedalam tulisan ini? Justru
disinilah Poci Maiyah menemukan getaran tauhid baru lagi, bahwa;
"Tidak perlu paham,mengerti, dan mampu menjelaskan, itu semua milik Allah atas QudrohNya, yang penting kita bisa merasakan sensasinya terlebih dahulu".
Maka, jika Dzulkifli
menenun resolusinya dengan mengemban amanah berat di siang hari sebagai
pemimpin dan beribadah di malam harinya,
jika Ali Imron merangkangi resolusinya untuk mendidik keluarga,
putra-putranya agar jangan pernah menyekutukan Allah, jika Rosulullah Muhammad yang terkasih
memikul resolusinya demi rahmatan lil alamin bahkan memanggil umatnya ketika beliau
akan wafat, kemudian, jika hari ini,
untuk Negrimu, bangsamu, lingkunganmu, keluargamu dan untuk pribadimu sendiri,
apa resolusimu? cahayakah?
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay