Reportase Poci Maiyah Juli 2019
Oleh: Rizky Eka Kurniawan
Nuansa Maiyahan malam kali ini terasa benar-benar
berbeda, melihat cuaca yang sedikit mendung dengan angin yang semilir-semilir membawa
hawa dingin kepada para sedulur maiyah tak menyurutkan semangat mereka untuk
tetap hadir bermaiyahan bersama, meskipun tempat rutinan gelaran Poci Maiyah selalu
diadakan di tempat terbuka dan sama sekali tak ada teduhannya yang mungkin
sekali apabila terjadi hujan sewaktu-waktu ketika bermaiyahan mereka semua akan
langsung kehujanan, namun kekhawatiran semacam itu seakan-akan telah hilang
dari pikiran mereka terbukti dengan cukup banyaknya orang yang hadir membuat keadaan
tetap terasa hangat, acara malam ini menjadi lebih istimewa dengan hadirnya Ki
Haryo, seorang pedalang asli Tegal yang terkenal dengan wayang santrinya
sekaligus putra dari Mantan Bupati Tegal (Bpk. Ki Enthus Susmono)
Acara dimulai dengan lantunan wirid & doa-doa untuk
para sesupuh yang dipimpin langsung oleh Kang Fahrudin setelah itu dilanjut Kang
Mustofa mengajak para sedulur maiyah untuk berdiri senantiasa menyayikan lagu
kebangsaan “Indonesia Raya” dan para sedulur maiyah pun kembali dipersilahkan
untuk duduk setelah selesai menyayikannya. Selebaran mukadimah mulai dibagikan
kepada para sedulur maiyah yang turut hadir meramaikan acara malam hari ini dan
satu nomer shohibu baity dinyayikan bersama-sama menambah suasana menjadi
semakin hangat dan mesra meskipun semilir angin terasa dingin. Atmosfire-atmotfire
maiyah mulai terbangun dengan kehangatan, cinta kasih dan kegembiraan para sedulur maiyah
kali ini. Seperti biasa jauh sebelum meyelam jauh ke pembahasan mula-mula diawali
dengan tadarus mukadimah yang diringi dengan backsound untuk menambah nuansa
lebih mendalam kepada para pembacanya. Pembacaan mukadimah berlangsung secara
bergantian dari paragraf awal hingga akhir cukup memancing reaksi dari para sedulur
maiyah untuk bertanya-tanya dan berfikir tentang tulisan yang telah terlampir, dan setelah selesai pembacaan mukadimah tiba-tiba dengan sendirinya banyak
orang yang bertepuk tangan, apa yang sebenarnya mereka tepuk tangani? Selama
ini disetiap gelaran Poci Maiyah disetiap bulannya tak pernah ada tepuk tangan
setelah pembacaan mukadimah tapi gelaran kali ini terasa benar-benar berbeda
dan inilah pertama kalinya tepuk tangan berdatangan dari
para sedurur maiyah setelah pembacaan mukadimah selesai, apakah tepuk tangan
mereka karena terkesan dengan mukadimah kali ini? atau karena suasana maiyahan
malam hari ini benar-benar mesra dan membuat bungah suasana hati para sedulur
maiyah. Seakan ada yang wah yang membuat mereka bertepuk tangan. Mereka
memiliki jawaban sendiri atas pertanyaan ini, barangkali memang kejujuran dari
dalam perasaan mereka yang penuh dengan kecintaan yang saling merindukan untuk
berkumpul melingkar setiap bulannya secara tak sadar terexpresikan melalui
tepuk tangan mereka.
Kebetulan tema yang diangkat Poci Maiyah kali ini
adalah As-Shidiq sebuah judul tema yang sangat erat sekali dengan salah satu sahabat Nabi yaitu
Abu Bakar As-Sidiq seorang yang terkenal akan kejujurannya dan rasa cintanya
kepada Nabi Muhammad Saw. Kang Fahmi mencoba mengulas pembahasan “perjalanan
tema ini sebelumnya adalah obrolan saya dan Kang Luay tentang pengalaman yang
kemudian muncul kata as-Shidiq, kita berdua mencoba bertadabur tentang Khalifah
Abu Bakar as-Sidiq yang tampa sengaja ternyata sama dengan mukadimah yang
dibuat oleh Kang Farid.
Mari kita menyelami kata as-Shidiq secara estimologis yang berasal dari kata Shodaqoh” sedikit pematik dari Kang Fahmi telah membuka pikiran orang-orang akan tetapi serasa kurang bila sholawatan belum dilantukan malam ini mulailah Kang Fahrudin kembali memimpin para jama’ah bersama-sama bersholawat alfasalam dan setelah sholawat Kang Fahmi teringat “ternyata as-Shidiq juga merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad, Shidiq, Tabliq, Amanah, Fatonah”. Pembahasan mulai lebih mendalam dan Kang Fahmi mencontohkannya seperti ketika seorang yang sering berkhutbah di masjid yang suatu ketika lupa membawa catatan kecil yang biasanya dibawa oleh para khotib, karena lupa membuat catatan kecil maka dia membawa buku besar agar tetap bisa berkhotbah, mekipun kadang ada yang berkata “lhoo khotib kok bawa buku besar?” karena biasanya khottib terlihat cakap dan hafal akan semua materi yang akan disampaikan akan tetapi menurutnya keputusan untuk membawa buku besar tidak ada salahnya bagi seorang khotib itu malah sebuah kejujuran pada dirinya sendiri ketimbang tiba-tiba harus bikin catatan kecil mendadak dan tidak siap itu malah akan membuat tergesa-gesa tegasnya. Mbah Nahar mulai merespon dari tulisan di mukadimah, sebelumnya dia bertanya pada Kang Mus “Kapan Pertama kali dirimu berbohong?” “Mungkin sekitaran waktu SD” jawab kang Mus. “SD sudah terlalu tua untuk berbohong masalahnya anak kecil biasanya sudah mulai terbiasa berbohong seperti saat anak kecil memakan chiki ditanyai orang tua karena takut memnimbulkan batuk “kamu habis malan chiki kan?” karena anak itu takut dimarahin orang tuanya maka dia menjawab “nggak”. menurutmu itu umur berapa?” tanya Mbah Nahar. Kang Mus akhirnya tersadar ternyata iya sekitaran umur 4-5 tahunan manusia sudah mulai berbohong dan pertanyaan dari Mbah Nahar muncul kembali “kira-kira yang mengajari kita berbohong siapa?”. Lalu Mbah Nahar menjalaskan yang namanya kejujuran haruslah dengan presisi yang pas, tidaklah mungkin seorang orang tua membohongi anaknya jika efek yang ditimbulkan itu lebih besar manfaatnya, seperti ketika orang tua melarang anaknya untuk membeli es krim karena khawatir batuk maka orang tua bilang kepada anaknya “jangan beli es cream pait” dalam konteks ini kebohongan menjadi lebih baik dari pada kita berbicara jujur ada beberapa kondisi yang membuat kobohongan lebih baik dari pada jujur contoh lain ketika seorang anak menggambar sesuatu dengan bentuk gambaran yang tak jelas kepala manusia dikasih warna kuning, rambutnya putih pokoknya tidak sesuai realita tapi saat dia bertanya kepada orang tuanya “gimana gambar adek?” pastilah jawaban orang tuanya “wah gambarnya bagus” dalam hal lebih baik berbohong untuk menambah semangat anak daripada jujur malah akan membuat sang anak patah semangat, contoh lain lagi ketika ada seorang dikejar depkolektor akan dipukuli lalu dia bersembuyi dan depkolektor itu bertanya pada kita “tadi orangnya yang lari kemana ya?” dalam hal ini juga tidaklah mungkin kita akan jujur niat utama kita adalah menolong orang jika kita jujur maka orang yang bersembuyi itu akan terkena pukulan depkolektor maka dalam hal ini kita harus berbohong, tertulis pada mukadimah di terminal pertama.
Mari kita menyelami kata as-Shidiq secara estimologis yang berasal dari kata Shodaqoh” sedikit pematik dari Kang Fahmi telah membuka pikiran orang-orang akan tetapi serasa kurang bila sholawatan belum dilantukan malam ini mulailah Kang Fahrudin kembali memimpin para jama’ah bersama-sama bersholawat alfasalam dan setelah sholawat Kang Fahmi teringat “ternyata as-Shidiq juga merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad, Shidiq, Tabliq, Amanah, Fatonah”. Pembahasan mulai lebih mendalam dan Kang Fahmi mencontohkannya seperti ketika seorang yang sering berkhutbah di masjid yang suatu ketika lupa membawa catatan kecil yang biasanya dibawa oleh para khotib, karena lupa membuat catatan kecil maka dia membawa buku besar agar tetap bisa berkhotbah, mekipun kadang ada yang berkata “lhoo khotib kok bawa buku besar?” karena biasanya khottib terlihat cakap dan hafal akan semua materi yang akan disampaikan akan tetapi menurutnya keputusan untuk membawa buku besar tidak ada salahnya bagi seorang khotib itu malah sebuah kejujuran pada dirinya sendiri ketimbang tiba-tiba harus bikin catatan kecil mendadak dan tidak siap itu malah akan membuat tergesa-gesa tegasnya. Mbah Nahar mulai merespon dari tulisan di mukadimah, sebelumnya dia bertanya pada Kang Mus “Kapan Pertama kali dirimu berbohong?” “Mungkin sekitaran waktu SD” jawab kang Mus. “SD sudah terlalu tua untuk berbohong masalahnya anak kecil biasanya sudah mulai terbiasa berbohong seperti saat anak kecil memakan chiki ditanyai orang tua karena takut memnimbulkan batuk “kamu habis malan chiki kan?” karena anak itu takut dimarahin orang tuanya maka dia menjawab “nggak”. menurutmu itu umur berapa?” tanya Mbah Nahar. Kang Mus akhirnya tersadar ternyata iya sekitaran umur 4-5 tahunan manusia sudah mulai berbohong dan pertanyaan dari Mbah Nahar muncul kembali “kira-kira yang mengajari kita berbohong siapa?”. Lalu Mbah Nahar menjalaskan yang namanya kejujuran haruslah dengan presisi yang pas, tidaklah mungkin seorang orang tua membohongi anaknya jika efek yang ditimbulkan itu lebih besar manfaatnya, seperti ketika orang tua melarang anaknya untuk membeli es krim karena khawatir batuk maka orang tua bilang kepada anaknya “jangan beli es cream pait” dalam konteks ini kebohongan menjadi lebih baik dari pada kita berbicara jujur ada beberapa kondisi yang membuat kobohongan lebih baik dari pada jujur contoh lain ketika seorang anak menggambar sesuatu dengan bentuk gambaran yang tak jelas kepala manusia dikasih warna kuning, rambutnya putih pokoknya tidak sesuai realita tapi saat dia bertanya kepada orang tuanya “gimana gambar adek?” pastilah jawaban orang tuanya “wah gambarnya bagus” dalam hal lebih baik berbohong untuk menambah semangat anak daripada jujur malah akan membuat sang anak patah semangat, contoh lain lagi ketika ada seorang dikejar depkolektor akan dipukuli lalu dia bersembuyi dan depkolektor itu bertanya pada kita “tadi orangnya yang lari kemana ya?” dalam hal ini juga tidaklah mungkin kita akan jujur niat utama kita adalah menolong orang jika kita jujur maka orang yang bersembuyi itu akan terkena pukulan depkolektor maka dalam hal ini kita harus berbohong, tertulis pada mukadimah di terminal pertama.
Lalu Mbah Nahar mencoba membahas terminal kedua, membahas tentang kejujuran Abu Bakar dalam menyakinkan umat Islam saat kejadian
Isra Miraj, akan sangat susah memang untuk dilogikakan dari Makkah menuju
Palestina hanya dalam waktu satu malam itupun Allah untungnya memisahkan peritiwa
Isra Miraj dalam al-Qur’an, peristiwa Isra ada di surat al-Isradan Miraj
ada di surat an-Najmdan kalimat yang pertama digunakan adalah “Subhaana”
kalimat yang kaitanya dengan pendekatan keimanan karena sangat susah
dilogikakan oleh akal dan peristiwa itu kemudian diimani oleh Abu Bakar karena
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan iman bukan pendekatan akal bahkan Abu
Bakar mengatakan “Kalo ada peristiwa lebih besar dari Isra Miraj selagi yang
mengatakan adalah Rosulullah maka aku akan langsung mempercayainya”
Setelah itu Kang Luay mulai berbicara dan bertanya
kepada para sedulur yang hadir “apa perasaan kalian semua dari tadi duduk di sini? Dingin?
Jelas... Expresi apa yang kalian rasakan hari ini? Kenapa? Karena malam hari ini
tidak ada yang mempermasalahkan pakaian yang kita kenakan, ternyata kedekatan
kita, cara kita mbrayan dan menjaga paseduluran kita ternyata lebih penting
dari pada apa yang kita kenakan lalu kenapa tema yang diangkat kali ini adalah
as-Shidiq? Hal ini diangkat agar kita bisa merasakan kejujuran dalam diri kita
sendiri, persaan kita sendiri bisakah mempertahankan itu atau tidak? Karena hal
yang terbaik sebelum semua dalil bertemu dengan njenegan adalah hal terjujur di
alam semesta yang njenengan temui”. Pembahasan ini pun berlanjut kepada cerita
Kang Luay tentang kesalahan kodok karena setiap ada anak jatuh orang tua pasti
bertanya “kodoknya di mana? Kodok?” ketidakjujuran pertama adalah kita suka
menyalahkan sesuatu yang tidak kita sukai, kedua Kang Luay bertanya pada para sedulur apa hubungannya hujan dengan mantan? Apabila hujan turun satu persen
yang diingat adalah mie gorang sembilanpuluh sembilan persen mantan itu
hubungannya apa??? Dengan nada bercanda Kang Luay menanyakan itu dan seruh
jama’ah tertawa. Kang Luay juga mewanti-wanti kepada para calon ibu-ibu
untuk nanti jangan terlalu memberikan informasi bohong kepada anak seperti
ketika orangtua akan pergi ditanyai anaknya “maa mau kemana?” kebanyakan orang
tua jawabannya berbohong sering kali yang kerap akrab didengar di telinga
orangtua selalu menjawab “mau suntik nak” padahal asliya pergi kepasar, seterusnya
ia melanjutkannya tentang penjelasan bahwa anak kecil tidak akan mudah diajak
berbicara akan tetapi mereka akan selalu pandai menerikan seseorang, “Coba saja tadi anaknya Kang Edy si Fattan diajak
ngomong untuk diam pasti tambah lari-lari kecuali jika Bapanya ikut lari-lari
pasti dia diam bertanya “Bapanya aku lagi apa ya??” tawa para jama’ah pun
mebludak kegirangan mendengar itu suasana semakin malam terasa semakin menyenangkan
dengan humor-humor yang dibawakan Kang Luay dan sekali lagi dia menceritakan
lagi tentang soerang anak kecil dan ibunya yang rusuh, di suatu hari seorang ibu
mengajak anaknya kepasar akan tetapi jauh sebelum berangkat ibunya sudah
memperingati kepada anaknya untuk tidak membeli apapun dan si anak menuruti
omongan ibunya tapi namanya anak-anak pastilah banyak keinginanannya ketika
sampai di pasar si anak melihat banyak aneka mainan dan jajanan sampai ketika
ia melihat dawet si anak meminta kepada ibunya “bu dawet”, “gausah gaenak” “dawet bu pokoknya dawettt klo gak nanti ibu dak
demo” canda kang luay, “okeh tapi kalo gak enak jangan neyesl yaa?”. Saking gemesnya sang anak menjawab “Iya buuu” si ibu
pun membeli dawet tersebut sambil berbisik kepada pedangganggya “dawet satu
jangan di kasih gula”. Es dawetpun siap untuk disajikan si ibu langsung memberinya
kepada si anak dan ketika si anak meminumnya rasanya hambar dan dia bilang
keibunya “iyaa bu hambarr gak enak” sambil mengasihkan es dawet pada ibunya. “tuh kan gakenak dibilangin rewel” ucap sang ibu
kepada anaknya lalu kembali mengampiri pedagang es dawet tersebut dan bilang
“mas ini dawetnya belum dikasih gula” dikasihlah gula pada es dawet itu dan si
ibu meminum dawetnya sampai habis dan si anak tetap percaya bahwa dawet rasanya
hambar.
Setelah selesai cerita Kang Luay menegaskan hal
pertama yang perlu kita nikmati adalah kejujuran kita kepada perasaan kita
sendiri untuk menikmati iman, akan tetapi orang yang berlaku jujur tidak
berarti berlaku dzolim, mengatakan “kamu jelek banget sh” kepada orang lain bukanlah
suatu kejujuran melaikan perbuatan dzolim, bagaimana bisa kita jujur terhadap
diri kita sendiri apabila kita menyakiti orang lain?Seperti dalam bahasanya Mas
Sabrang “kejujuran adalah memberikan rasa nyaman dan keselamatan pada orang lain”
itu tertumpu dalam kata iman dan islam, apabila kita menjadi orang yang beriman
maka kita memberikan rasa keselamatan kepada siapapun, apabila kita muslim mak
kita berikan rasa selamat pada siapapun, baik itu harkat martabatnya, harta
benda maupun nyawanya.
Setelah Kang Luay selesai bicara Mba Intan
menawarhan kepada para sedulur barangkali ada yang mau merespon atau
menanggapi dari beberapa pernyataan yang tadi dan Kang Hafiz dari slawi pos
mencoba mengulas mukadimah pada teminal ke tiga ia mengatakan ketika seorang
mencintai sesuatu maka akan ada pengorbanan seperti ketika orang berpacaran ia
akan berkorban muntuk membuat pacarnya bahagai entah itu memberikan hadiah atau
segala macamnya begitu pula saat seorang mencintai Allah dan Rosulullah lalu
dilanjut Mas Cecep dari Tembok Kidul menanggpi penyataan Kang Luay tetang laku
pendidikan orangtua yang menurutnya
salah ia beranggapan ketika seorang anak disuruh beribadah dengan iming-iming
hadiah adalah sesuatu yang salah membuat anak menjadika berkarater materialismungkin
akan lebih baik apabila saat menyuruh anak beribadah tanpa iming-iming materi
sebagi contoh“nak sholat biar disayang Allah” Mas Cecep juga menanyakan sesuatu
hal menurutnya kita adalah korban sejarah dari kejadian Adam dan Hawa yang
makan buah kuldi sehingga ia diturunkan di dunia seandainya saja itu tidak
terjadi pastilah kita sudah disurga dan apakah benar Nabi Adam itu manusia yang
pertama yang diciptakan oleh Allah atau manusiayang pertama disempurnakan oleh
Allah? Sedangkan di surat al-Baqoroh ayat 28-32 disitu menjelaskan tetang
penciptaan manusia yang disitu ada kata ja’ala dan khalaqo yang
berati menjadikan dan menciptakandan disitu para malaikat protes akan penciptan
manusia bahwa akan terjadi pertumbahan darah serta ada pula kata Kholidina
fi abda, kekal didalamnya akan tetapi jika kekal kenapa manusia diturunkan
disurga dan mengapa di surga ada Iblis?
Sembari menunggu para jama’ah mempersiapkan jawaban
untuk merespon pertanyaan Mas Cecep satu nomer lagu dari Ed Sheeran Perfect dan satu nomer lagi
lagu berjudul akad khusus dinyayikan oleh Kang Fahmi untuk Kang Luay yang baru
menikah.
Lanjut kembali ke pembahasan seseorang tak mau mengenalkan
namanya ikut merespon tentang keluarnya Nabi Adam dari surga menurutnya
keluarnya adam dari surga memang sudah direncanakan Nabi Adam mengetahui
bawasanya ia akan menjadi khalifah di bumi. Lalu Kang Fahmi merespon pertanyaan
dari Kang Hafiz tentang bagaimana cara mencintai Rosullah secara singkatnya
seperti ini terkadang ketika kita mencintai sesuatu bisa jadi itu bukan
mencintainya melainkan kita mencintai diri kita sendiri dengan tuttutan yang
kita inginkan darinya, mungkin susah untuk memahami makna mencintai tapi setau
aku setiap orang yang mencintai Rosulluah namanya abadi seperti Abu Bakar, Umar,
Bilal bin Rahbah meskipun hanya seorang muazin tapi namanya abadi samapai
sekarang, berikutnya Mbah Nahar kembali merespon beberapa pertanyaan yang
diajukan para sedulur pertama tentang cara menindidik anak dengan iming-iming
materi todak sepenuhnya salah karena memang mendidik anak kecil butuh keluesan
tidak bisa langsung disuruh sholat dengan lilahitala semuanya bertahap, kedua tentang
manusia sekarang berada di bumi bukanlah korban dari kelalaian Nabi Adam
memakan buah kuldi melaikan memang nantinya manusia akan dijadika kholifaf di
bumi perihal dulunya ada di surga biar nanti ketika turun ke bumi membawa
nilai-nilai surgawi, ketiga tentang keberadaan Iblis disurga itu sebenernya
dulu Iblis namanya Azazil dan dia taat pada Allah, kesalahannya Cuma ketika ia
merasa sombong dan tak mau sujud pada Nabi Adam maka dikeluarkanlah ia dari
surga dan berubah menjadi Iblis. Dilanjut dengan tambahan dari Kang Luay bahwa
kita harus bersikap pada kemurnian untuk tidak berprasangka buruk terhadap
apapun termasuk kepadakapitalisme, materialisme, empirisme, rasionalisme sampai
skolastik dan sebagainya dari peradaban barat yang sering sekali kita
bentur-benturkan dengan peradaban timur jangan diuzoni terlebih dahulu semisal
materialisme tidak baik, padahal kita hidup dalam dunia materi, termasuk jazad
tubuh kita adalah materi, maka kita harus bersikap pada kemurnian karena tidak
semuanya buruk ada porsi dan takaran tertentu yang akan menjadi baik bila
ditempatkan dengan pas, pembahasan dilanjut dengan metodelogi berfikir orang
Indonesia yang kadang keliru untuk membedakan gula dan manis, kebanyakan orang
menggagap gula dan manis itu sama padahal berbeda, terbuktu buah mangga tanpa
gula tersa manis hal ini perlu dibenahi sebelum melakukan proses tadabur, Kang
Luay juga membeberkan pemaknaan tombo ati yang berjumlah lima namun sejatinya
semuanya adalah yang pertama, apabila salah satu dari lima itu dilakoni secara
otomatis maka dapatlah semuanya, Kang Hafiz juga ikut ditanggapi Kang Luay
perilah merasa berkorban itu hanya akan terjadi kepada krang yang meresa
memiliki, apabila dilogikakan dengan inalillahi rojiun maka apa yang kita
miliki saat ini? Tangan? Milik Alllah, tubuh dan seluruhnya adalahlah milik
Allah? Lantas apa yang kita korbankan? Seluruh kehidupan manusia telah diatur
dan salah satu yang bisa dikendalikan manusia Cuma satu kehendak”
Haripun semakin malam namun para sedulur maiyah
masih tetap bertahan untuk sinau bareng dan Kang Mustofa mengajak Ki Haryo untuk
ikut angkat bicara.
Ki Haryo bercerita waktu dia bertemu Mbah Nun untuk
menyerahkan wasiat dari Abahnya Ki Enthus Susmono, suatu hari di rumah
kediamannya Abahnya sedang duduk merokok sambil nonton Mbah Nun di youtube
memanggil Ki Haryo dan bilang “tolong carikan alamat Mbah Nun abah ingin
memberikan gendang jaipong satu set” “Lhaa kenapa bah?” jawab Ki Haryo “Iyaa Abahh sering menggunakan pemikiran Mbah Nun di
pemerintahan dan pewayangan” namun ternyata keinginan itu terlupa karena
kesibukan Abah Entus menjabat bupati Tegal dan cuti untuk berkampaye sampai-sampai
akhirnya meninggal dunia, anaknya Ki Haryo yang dipesani untuk mencarikan
alamatnya Mbah Nun juga ikut terlupa karena kesibukannya dan setelah beberapa
lama terlupa suatu hari Ki Haryo berkali-kali berminpi Abahnya Ki Entus mengingatkan
wasiatnya untuk memberikan kendang jaipong kepada Mbah Nun akhirnya Ki Haryo
langsung memesan kendang jaipong itu pada temannya dari sunda dan menghubungi
Gus Misftah dari pesantren ora aji Jogja dan Mas Sigit dari Sedhal Waton yang
pada akhirnya dapat kontak Mas Zaki adeknya Mbah Nun dan akhirnya dengan
berbagai perantara Ki Haryo bisa bertemu dengan Mbah Nun di pendopo Kiai
Kanjeng iapun langsung menyampaikan wasiat Abahnya untuk menyerahkan kendang
jaipongan.
Setelah itu Ki Haryo juga ikut merespon tulisan di
mukadimah ia memberi contoh ada seorang suami istri yang selingkih namun khilaf
tapi ketika bersatu kembali timbul dua perasaan yaitu sakit hari dan cinta, Ki
Haryo beragapan dua hal itu adalah kejujuran baik rasa sakit hati maupun cinta
padahal berlawanan dan yang menjadi pertanyaan bagaimana menanggapi kedua
kejujuran itu? Opsi pertama mempertahankan hubungan dan teringat rasa sakit
hati dan opsi kedua adalah bercerai dan hal itu akan menimbulkan banyak resiko
perasaan lain akan tumbuh juga, dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa untuk
kejujuran kita perlu membohongi kejunuran yang lain.
Setelah Ki Haryo berbicara dilanjut dengan
persembahan puisi dari Bu Retno dan perlahan hujan turun mengguyur para sedulur
maiyah, semakin derasnya hujan tak membuat para sedulur berpulang mereka masih
tetap duduk melingkar yang akhirnya dilantunkanlah sholawat Indall Qiyam pada
malam itu untuk menghangatkan suasana. Sejenak hujan reda namun setelah itu
kembali turun bertambah deras akan tetapi para sedulur maiyah masih tetap
bertahan hujan-hujanan dengan rindu yang amat tebal dalam hatinya, entah apa
yang membuat mereka tak mencari-cari tempat teduhan dan tetap bertahan di
tempat terbuka untuk bermaiyahan, namun sayang sekali seluruh peralatan
elektronik termasuk microphone dan alat musik harus diamankan untuk mencegah
terjadinya konsleting dan mau tak mau acara harus kami selesaikan dan akhirnya para
sedulur besalaman sambil diringi lagu Hasbunallah.
Maiyahan kali ini terasa begitu spesial seakan Kanjeng Nabi mendengar rintihan rindu para sedulur yang bermaiyahan kepadanya sehingga semesta takjub dan menurunkan hujan yang mungkin ini adalah pertanda bahwa Nabi Muhammad juga merindukan umatnya, Shollu Ala Nabiy.
Maiyahan kali ini terasa begitu spesial seakan Kanjeng Nabi mendengar rintihan rindu para sedulur yang bermaiyahan kepadanya sehingga semesta takjub dan menurunkan hujan yang mungkin ini adalah pertanda bahwa Nabi Muhammad juga merindukan umatnya, Shollu Ala Nabiy.