Selasa, 29 Agustus 2017

Jalan Menuju Pintu Muhammad

Jemuah di akhir bulan, bagi kami itu adalah hari istimewa, dimana biasanya setiap jemuah/malam sabtu kita melingkar di kediaman para pegiat, namun jemuah kali ini tidak. Kami menempati Gubug Sholawat  Om Zen Mehbob untuk kegiatan Mother (maiyah on the road) yang seperti biasa kami agendakan setiap malam sabtu minggu kedua, ketiga dan seterusnya.


Gubub Sholawat telah disepakati sebagai tempat mother di jemuah pamungkas setiap bulannya, sebagai tempat finishing penggodogan tema, yang kemudian akan kami angkat pada agenda bulanan Poci Maiyah di Monumen GBN Slawi. Selaku pemilik ngarso ndalem Gubug Sholawat Om Zen mempersilahkan menggunakan Gubug Sholawat seperti tempat kami sendiri: menjaga, merawat, memelihara dan sebagainya atas maiyah pada diri kami sendiri.

Keistimewaan di jemuah kali ini belum selesai, ada yang lebih dan lebih istimewa lagi. Selain perjamuan bubur ayam, yang padahal seperti biasanya dehem “EKHEMIEEE” selalu harmoni bak paduan suara dari para jama’ah. Malam tersebut seolah jama’ah diajak mentadabburi peribahasa “nasi sudah menjadi bubur”, yang saat itu juga tak berlaku lagi bagi para jama’ah, tidak ada kesia-siaan selama lingkaran maiyah adalah apa yang kita emban. Kenapa harus menyesal jika “nasi sudah menjadi bubur?’ toh tinggal dikasih bumbu, sledri, kecap, kacang kedelai, ayam jadilah santapan yang bahkan lebih bermakna dari sekedar Ekhemiiieee. Bahkan bubur adalah evolusi kesekian sebuah padi, setelah melewati fase gabah, menir, beras, nasi. Maka bubur adalah rasa memulai dan kembali.

Makanan yang pertama dikenal oleh Manusia dalam usia bayi, sefitrah putih-putihnya ciptaan tanpa dosa yang masih belum mengerti apa-apa namun paling peka, dan oleh lanjut usia yang habis sudah gigi-giginya namun sabar menanti ia kembali keharibaanNya, seakan menjadi isyaroh tersendiri bahwa jemuah pamungkas di Gubug Sholawat adalah sebuah fase akhir untuk memulai kembali. Faidzafarogh tafanshob wa ila Robbika farghob. Kemudian kupat glotak (entah siapa yang menamakan makanan ini? tape sekaliiiiih) menjadi bonus tadabbur kuliner JPM akan evolusi padi yang akhirnya akan dibungkus mati.

Adalah sebuah agenda yang belum pernah diagendakan di mother sebelumnya. Yaitu di awal acara kita diajak untuk lebih mengenali Rosulullah lewat pembacaan Maulid Diba’i. Yang di usulkan pertama kali sekaligus dipimpin oleh beliau Habib Fahmi Alathas.

“Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini kami punya Muhammadiyah, punya  NU, Persis, punya ulama-ulama dari MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, kelompok-kelompok, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, seniman, cendekiawan, dan apa saja. Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.” Emha Ainun Nadjib  -Surat kepada Kanjeng Nabi-

Para jama’ah terlihat sangat menikmati momen “mahalul qiyam”, seolah mereka sedang berada di gerbang penyambutan Baginda Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi Wassalam. Agenda ini pun rasanya tidak bertolak belakang dengan apa yang kami jalani. Mbah Nun selalu menyampaikan “mustahil kita ber Islam mengaku seorang Muslim tanpa gondelan klambine Kanjeng Nabi.” Beliau Om Zen menambahkan "Tak ada yang lebih mewah dari alam semesta ini kecuali menjadi makmum Rosulullah Sholallahu’alaihi Wassalam." Maka dari itu maiyah menemukan segitiga cinta dalam kehidupan, cinta kepada Allah, cinta kepada Kanjeng Nabi dan cinta kepada Manusia. Antusiasme dari jama’ah sangat terlihat ketika beliau Om Zen menyampaikan usulan dari Habib Fahmi tentang agenda pembacaan Maulid, bahkan kami menyepakati untuk serentak mengenakan kostum ala santri (sarungan, kokoan dan kopiahan) pada mother kali ini, tak seperti biasanya yang hanya memakai stelan dandanan sehari-hari. “Masa pan cari muka karo kanjeng Nabi nganggone lepis karo kaosan?” Tak lain tak bukan itu semua hanyalah untuk mengedepankan adab kepada Rosulullah Sholallahu’alaihi Wassalam. Barangkali melalui jalan inilah jalan lau laka lau laka ma kholaqtul aflak yang kemudian kita diajak memasuki “Pintu Muhammad”.


Disusun Oleh : Lingkar Gagang Poci Maiyah