Jumat, 08 September 2017

TATAKAN POCI


Bentuk poci yang menyerupai peta Indonesia, entah itu memang sebuah kebetulan atau memang sudah di desain oleh orang yang pertama kali membuat poci tapi siapa pembuat poci pertama kali karena memang nenek moyang kita tidak mengenal hak paten karena semuanya milik gusti Alloh.

Setau saya masyarakat Indonesia terkenal sangat kreatif dan kita kadang tidak menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang unggul di dunia. Demikian juga masyarakat-masyarakat desa sejak dulu. Coba saja kita hitung ada berapa jenis makanan, minuman, produk kerajinan bahkan produk budaya dan bahasa yang di ciptakan masyarakat di desa kita, ini terbukti di desa saya padahal masih satu desa tiap ada kenduri atau slametan masing-masing punya AD/ART sendiri yang bahkan tidak ada buku panduan yang ini harus seperti ini dan yang itu harus seperti itu, ini dan itu tidak saling menyalahkan satu sama lain. Karena memang masyarakat desa pada umumnya masih seneng sesrawungan.
  
Dalam menciptakan makanan masyarakat kita juga tidak kalah kreatif. Kalau orang Barat hanya mampu bikin burger, pizza dan sandwitch, sebaliknya jangan ditanya kreativitas masyarakat desa. Dari bahan singkong saja puluhan jenis makanan dapat diciptakan mulai dari gethuk, kripik, tiwul, cepiring, gemblong, gemblep, dan masih banyak lagi makanan dari bahan singkong yang belum saya ketahui, tapi saya sangat yakin dari bahan yang sama jenis yang sama punya nama yang berbeda seperti salah satu contoh ketika saya berkumpul dengan teman pegiat poci maiyah Ing Daleme Om Zen Mehbob yang punya Gubuk Sholawat di daerah Pesayangan, Tegal. Terceletuk juga nama rengginang salah satu makanan khas orang Pantura yang terbuat dari bahan dasar beras atau sekarang lebih varian lagi berbahan dasar ketan yang dikeringkan kemudian digoreng, itulah rengginang di dearah yang sama, tapi mungkin di daerah lain orang menyebutnya berbeda, menamai rengginang dengan sebutan TAPE (ditap trus di epe/dijemur) padahal umumnya yang saya tahu Tape sejenis singkong yang di rageni trus dikukub (itu istilah di daerah saya tapi bahasa Indonesianya kurang tahu monggo di cari sendiri). Itu masih membahas masalah badogan (makanan) belum minuman yang juga tidak kalah luar biasa banyak banyaknya ada wedang jahe, ronde, bajigur, kolak, es cuing, dawet, sekoteng, serta tidak ketinggalan kopi ndomblong yang tidak pernah absen saat berlangsungnya lingkaran dan sebagainya. Ada pula aneka sambel kalo orang barat hanya bisa membuat saus, masyarakat kita tidak kalah hebat, berbagai varian bahan sambal tersaji di dapur rumah kita, tinggal pilih mana yang kita suka, ada sambel goang, sambel trasi, sambel goreng, sambel bawang, sambel kecap, sambel kecombrang dan masih banyak lagi sambel lainya.

Aneka jenis kreativitas itu kini tergilas oleh kapitalisme global. Saya heran mengapa orang lebih suka fried chicken bikinan barat, padahal rasanya tidak lebih lezat dari ayam goreng mbok berek, ayam geprek, ayam penyet yang di buat dari ayam kampung dan bukan dari ayam sayur yang empuk? Mengapa orang suka minuman bersoda buatan pabrik yang bikin kembung di perut dan rasa manisnya menyengat di lidah, serta jika kita minum malah tambah haus? Untuk tiduran juga lebih enak pakai tiker pandan dari pada tikar dari plastik yang panas.

Singkat Cerita, Kreativitas masyarakat desa teramat sangat menonjol keunggulan budaya mereka atas budaya asing. Dalam soal bahasa saja Jatuh misalnya, orang asing hanya mengenal “ Fall Down, sedangkan masyarakat kita jatuh harus di letakan dalam konteksnya. Kalau Jatuh kedepan kepalanya dulu itu nama nya nyungseb kalau jatuh kebelakang njedag kalau jatunya berguling–guling itu ngguling kalo lagi naik motor atau sepeda terus jatuh itu nama nya nggusrak kalau pas jatuh di semak belukar ngesrag, dan masih banyak lagi istilah lainnya. Itu menunjukan tingginya mutu peradaban mereka. Masalahnya peradaban itu kini kepaten obor dan sangsi membawa kepada puncak kejayaannya.

Dalam Kenyataan nya Proses perampokan dan pencurian kekayaan nenek moyang kita terus berlangsung. Dari titik inilah saya bersama teman-teman Poci Maiyah Tegal kembali berkaca pada diri Rosululloh SAW. Peran kita tidak hanya belajar, berdiskusi namun output guna menciptakan ekonomi kreatif masyarakatnya. Bukankah sekitar 96,5% isi Al Qur’an adalah soal muamalah? bukankah Rosululloh telah melakukan kerja nyata ketika beliau di Madinah?

Pembangunan di desa terus merosot sebagaimana di tunjukan oleh beberapa hal. Di antaranya maraknya pabrik tekstil, garmen, dan kimia masuk desa sehingga pencemaran semakin berkembang, rata-rata kepemilikan lahan sawah kian hari semakin menurun yakni 0,3 hektar, merosotnya nilai tukar petani, apalagi tengkulak bermain harga. Kalau yang saya jumpai di pasar  umumnya pedagang yang bermain harga tapi tidak bagi petani, mereka di gencet dengan harga yang semurah-murahnya.
 
Karenanya kini harus ada upaya untuk mbangun desa. Konsep ini harus di terjemahkan dalam arti luas bahwa mbangun desa bukan hanya dari sektor pertanian saja, namun ada skala yang lebih luas. Potensi desa yang luar biasa harus di cari di identifikasi dan dikembangkan.

Ayo Pemuda, buktikan kita juga pengikut Rosululloh yang setia. Kita ketuk pintu Muhammad teladani beliau ketika membangun dan mengembangkan masyarakat kreatif madinah. Islam bukan hanya dalil-dalil beku, namun justru memproduksi kreativitas yang mensejahterakan dan mendekatkan kepada Alloh dan Rosululloh. 

*Miftahul Aziz