Selasa, 28 November 2017

Ndadak, Nduduk, Ndidik, Ndadekna


Bismillaah Ar Rahman Ar Rohiym, Rabb/Pengasuh/Pemelihara/Pendidik Seluruh Alam Semesta. Beserta cinta, kasih, rindu yang menggebu dalam sholawat, senantiasa kami haturkan kepada kekasih tercintaNya Muhammad SollAllahu'alaihiwassalam.

Demi Masa.
 
Adalah sunnatullah, bahwa manusia dibekali semacam keinginan untuk mengetahui, mempelajari, mengerti sesuatu. Dari saat masih di dalam rahim, ketika reseptor gelombang teta mulai mempelajari segala rangsangan pendidikan dari alam diluarnya, atau zaman now menyebutnya sebagai fase "tidur ikan Paus".

Proses pembelajaran telah terpantik saat fase tersebut, sebagai makhluk penuh fitrah, reseptor indra menerima segala info dengan suka cita tanpa saringan apapun. Disinilah rute pendidikan telah tercipta dengan sendirinya, sebagaimana tugas sebuah sel hanya satu; mengalami.  

Manusia sebagai subyek pelaku pembelajaran terbangun-membangun puzle informasi yang ia terima menuju nalar pertama ketamyizannya, dari kandungan-buaian, dari belajar merengek, hingga terbata-bata melafalkan bapak-ayah-abah-abiy-papa, ibu-bunda-ummi-mama-mom terus bergulir sampai akhir jatah hidupnya, sampai kematiannyapun menjadi pelajaran bagi yang hidup. 

Dan di titik-titik terkecil dari semua gugus semesta, tersebutlah sebuah desa bernama Indonesia. Manusia-manusia Indonesia terbangun disuatu keadaan, dimana ketidaktahuan memuncak menjadi rasa penasaran, rasa penasaran menjadi pengetahuan dan puncak pengetahuan adalah ketidaktahuannya akan segala hal, berdiri lemah diambang terjaga (conciusness), tersadar (awareness), atau kembali kedalam kejumudan akal.

Manusia desa Indonesia terjebak diantara kata, diksi, makna, tafsir, gambar, pola, ekspresi. Yang semakin hari justru semakin bias, tidak karuan untuk dipelajari. Tumpang tindih semakin menggeliat antara deret; tahu, faham, mengerti, wawasan, pengetahuan, ilmu, pengajaran, pendidikan yang bahkan lebih kompleks dari bahasa digital atau hitungan binner dalam asma 01000001 01101100 01101100 01100001 01101000. Padahal arus zaman semakin deras menenggelamkan peradaban-peradaban yang memiliki kebijaksanaan tentang sejatinya manusia, dan yang tersisa tinggal sampah atau matreliasme. 

***
Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. 

Dunia Pendidikan mati-matian membuat rumusan masalah, konklusi, solusi. Setiap thesis di anti-thesakan untuk mencari sinthesanya, setiap paradigma di konfigurasikan untuk melahirkan paradigma selanjutnya, setiap metode dimodifikasi agar manusia-manusia terbebas dari kebuntuan cara berfikir,  budaya dan sistem pendidikan yang kacau, namun kenyataan berkata lain dalam prakteknya. Kecintaan akan dunia, menjadikan kematian bukan sebagai nasihat melainkan paranoia-serakah, dan matreliasme telah benar-benar mengakar kuat dalam setiap komponen pendidikan yang ada bahkan di diri kesadaran manusianya itu sendiri. 

Bim sala bim semuanya tumbuh dengan hasad, ananiyah, dan kesombongan di level yang sangat mengerikan. Sedang sebagian lainnya yang masih memlihara kesadaran mental spiritualnya akan jelas bertubrukan dengan yang tidak, dan lagi-lagi dimulailah ronde ke semilyar sekian tentang "perang kebenaran v.s kebenaran". Keduanya hanyut melupakan bahwa mereka adalah satu entitas,  satu esensi, satu kesamaan, sama-sama manusianya. 

*** 
Kecuali bagi orang-orang yang beriman  dan mengerjakan kebaikan.
 
Di Desa Indonesia ada pepatah tentang buah simalakama, jangan bertanya seperti apa wujud buahnya, yang jelas jika bapak makan bapak mati, bapak tidak makan ibu mati, bapak-ibu tidak makan keduanya mati, lho anakya mana? mati.  

Persis seperti kritik terhadap pendidikan yang terjadi di lembaga atau sekolah-sekolah. Sosok Guru tidak mahu tahu bagiamana caranya, diadili oleh para wali murid harus/kudu/musti menjadi malaikat tanpa sungkan dan sadar, bahwa tanpa peran Guru maka niscaya putera-puteri mereka akan jatuh kedalam jahilnya zaman, jangankan memahami hidup, baca-tulis saja mereka akan buta.

Dan di sisi lainnya, para wali terkadang lupa bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab rumah pendidikan, huma keluarga juga merupakan faktor terpenting untuk mengajarkan apa itu adab dan menggali sifat kemanusiaan di dalam peserta didik. 

Jika peserta didik adalah bola kaca kristal, anggaplah ilmu adalah miniatur bangunan kota. Di dalamnya akan ada mobil, gedung-gedung, pohon bahkan salju, hingga ma-nu-si-a. Maka segala hal di dalamnya harus ditangani dengan sangat hati-hati oleh para guru dalam menempatkannya. Berapa luas kapasitas ruangnya, jaraknya, estetikanya, potensinya. Dan menjadi malapetaka ketika bangunan pendidikan yang sudah ditempa sedemkian rupa malah hancur di rumahnya sendiri.  

Guru ajarkan kejujuran, orang tua contohkan membohongi tukang tagih kredit. Guru ajarkan berbagi, orang tua pertontonkan adegan mengusir yang efektif kepada peminta-minta. Guru ajarkan tenggang rasa, keadilan, menjaga martabat, di rumah malah asyik saling meninggikan volume pertengakaran. Maka hancurlah isi bola kaca kristal tersebut dan yang menakutkan pecah sudah kepercayaaannya atas ilmu-ilmu yang ia yakini selama ini. 

Apa yang terjadi kemudian? Bola kaca kristal mulai memerdekakan dirinya, di usia dimana ide dan imajinasi sedang dalam percepatan produksinya, anak-anak desa tersebut mulai menciptakan gagasan liar mereka;

"Merdeka adalah hak segala bangsa dan LOLOS dari itu semua adalah satu-satunya pilihan!"
Karena memang masih dalam usia bocah, trend tersebut harus memiliki nama yang cukup hits, keren, cool. Tidak peduli bagaimana orang dewasa menilainya, tetap akan muncul kebanggan tersendiri bagi bocah-bocah tersebut.
 "Ini menakjubkan, mendebarkan, petualangan ini, tentang lepas dari cengkeraman orang dewasa". 

Jika mereka adalah Peter Pan tokoh karangan J.M Barrie, maka mereka akan mulai mencari Neverlandnya sendiri, dunia tanpa orang dewasa dan bebas berkehendak sesuka hati. Lahirlah budaya BOLOS;  BOcah yang bisa LOloS dari penjara kebingungan menuju kemerdekaan dirinya.

Entah anak-anak tersebut akan berhasil bebas, atau hanya menjebak diri mereka sebagai tokoh fiktif JM. Barrie menuju usia yang semakin tua nanti. Tetap menjadi seorang petualang khayalan yang membenci kehidupan dewasa untuk mengenal tanggung jawab, sembari lambat laun tenggelam dalam syndrhome Peter Pannya masing-masing. 

Ditambah lagi, aturan pendidikan di desa Indonesia yang terus berubah-ubah membuat para Guru menjadi gasing/gangsing, geraknya dituntut lebih cepat, lebih cepat, dipercepat, lagi, lagi dan lagi, sedang hak yang mereka terima tidak sebanding dengan kewajiban yang dibebankan. Padahal para Guru juga memiliki keluarga yang harus dinafakahi. Namun yang paling miris, mereka hanya dibuat berputar-putar bukannya bergerak maju, tapi putarannya saja yang semakin kencang tanpa sedikitpun bergerak meninggalkan titik awal. Bukan semacam pak-pak dor, atau oncor bambu, tapi total menjadi gangsing berwujud ahsani taqwiem

Lantas dengan segala carut marut itu semua apakah kemudian kita tidak berbuat apa-apa? menyerah? berputus asa? atau kita bahkan tidak mampu mencapai tingkat keimanan Semut Ibrohim, atau menjadi terlalu rendahkah harga diri kita padahal Semut Ibrohim terus memperjuangkan kebaikannya meski entah bagaiamana hasilnya? 

***
Dan nasihat menasehati dalam menaati kebenaran, dan nasihat menasehati dalam menetapi kesabaran

Masyarkat Desa Indonesia "ndadak" terbangun dalam sebuah keadaan yang tidak bisa mereka pahami, sebagaiamana semua manusia akan selalu mengalami gegar budaya atas realita yang dialaminya, mengalami kegelisahan eksistensial akan peran hidup mereka, dan masih misteri bahwa tidak semua manusia siap memanggul betapa beratnya sebuah kebenaran dan kenyataan dihadapan hidup mereka.

Satu persatu kebenaran mulai terungkap bagi mereka yang berani menihilkan dirinya, keterjagaan mulai terbangun. Namun butuh fase panjang menuju titik sadar. Sedang setiap satu per sekian dari kebenaran terlalu mengerikan untuk bahkan diterima oleh akal mereka. Perasaan mulai menunjukan rantai reaksi. Dari detak jantung yang memacu lebih cepat menuju mulut yang menganga, berpindah lutut tiba-tiba lemas, tubuh kehilangan keseimbangan, dan pikiran blank entah kemana. 

Satu nilai kebenaran seperti mendapati kenyataan bahwa rumah yang ia bangun belasan tahun harus terbakar dalam satu malam, atau cicilan sepeda motor, yang khusyu' ia tabungkan dalam jerih payahnya selama tiga tahun mendadak diketahui bahwa baru saja cicilan itu lunas hari kemarin tapi hari ini motornya hilang dicolong maling. Satu motornya sekaligus, bukan spionnya terlebih dahulu, atau jok, atau ban, atau slebor, tapi langsung seketika satu motornya sekaligus hilang. Atau impian-impian seorang bapak tentang syahdunya membangun keluarga sakinah, dengan program cita-citanya atas putri yang sedang istrinya kandung untuk ia didik menjadi seorang khafidzoh di pesantren pengkolan lebaksiu, harus padam atas kecelakaan yang membuat kedua kaki dan tangannya diamputasi. 

Ndadak menempa manusia dengan entah kenapa harus se-setres, senyeri, sesakit itu menuju fase tersadar, yang kemudian mulai menuntunnya untuk Nduduk. "Nduduk"/menggali lebih dalam, tentang kebenaran-kebenaran, tentang hikmah, tentang realitas hidupnya, lingkungannya, desa Indonesianya. Sehingga ia mulai merasa sudah sedikit bisa meraba-raba sangkan paran dumadi,  empan papan, pranotomongso, atau sepetik mikul dhuwur mendem jero atau juga nrimo ing pandhum agar mampu melihat rantai-rangkai sejarah masa silam demi melepaskan cengkeraman kepanikan-ketakutan Ndadaknya di masa sekarang dan siap menyulam masa depan. 

Era Pendidikanpun dimulai, bukan dari siapa-siapa, melainkan langsung oleh hakikat Tarbiyatul Robb (Pendidikan oleh Maha Pendidik), untuk memamah, mengunyah lembut dan mencerna pelan-pelan tentang tadris, tafhim, ta'rif, ta'dhib. Tentang ta'lim wa muta'alim, tentang akhlak, tentang  adab dan ketawadhuan namun tetap trengginas dalam berikhtiar. 

Nduduk menelaah, bahwa siswa sama sekali tidak sama dengan murid. Murid muncul dari serapan kata aroda/kemauan/keinginan/kehendak sehingga koordinat dimana ia berdiri telah jelas eksistensialnya untuk bekal menuju "Ndidik". 

Kebenaran sedikit demi sedikit mengungkap wajah sebenarnya, bahwa wujud asli kebenaran adalah kebijaksanaan itu sendiri, dan kebijaksanaan pasti mebuahkan kebaikan. Maka tidak ada diantara sederet manusia yang mampu di bandingkan sebagai Guru diantara Semua Guru, Guru terbaik dari semua peradaban, Guru terbaik masih memikirkan orang lain ketimbang dirinya ketika ajal menjemput. Ialah Kanjeng Nabi Muhammad sebagai basyarun lakal basyar.
 
Yang sekali lagi ditengah keterjerembaban semak belukar zaman, manusia pemegang teguh kebenaran tidak bisa tidak, harus melewati Pintu Muhammad agar mampu mengakumulasi Segitiga Cinta dirinya, Allah dan Rosulullah sebagai pijakan utama Ndidik. 

Agar dalam prosesnya meniti, mengistikomahi,  menirakati jalan ikhtiarnya melesat menuju satu wejangan :
"Bahkan jikapun esok hari adalah kiamat, namun ada satu benih yang bisa kau tanam pada hari ini digenggamanmu, MAKA TANAMLAH"
Hingga Insya Allah maiyah akan benar-benar menjadi sejatinya Maiyah, yang bertemu, berkumpul,  melingkar tidak lebih karena persaudaraan yang saling mencintai dan rasa cintanya kepada Allah. Sebagai pemenuhan undangan atas seruan hakiki "Ya Mutahabbina Fillah, Ya Mutahabbina Fillah" dengan tawa bahagia dimuka namun hati terus merunduk mengharap hidayah. 

Sampai bila saatnya nanti,
Adalah rahasia Allah tentang klimaks "Ndadekna" dalam muara akhir ikhtiar pendidikan, yang terus mengemban kebenaran dan diikat kencang dengan kesabaran (watawashoubil haqqi watwasoubis shobri). 

Dengan Pengharapan-pengharapan diijabahinya hal ini, sebagai maksud Ndadekna tidak lebih adalah kesadaran, kesungguhan serta tawakal atas pertemuan antara ikhtiar, do'a dan irodah Allahu 'ala Kulli Syai'un Qodiyr.

Wallahu'alam bishowab.
Maha Benar Allah dengan Segala Kesempurnaan-Nya dan Maha Sempurna Manusia dengan segala kekurangannya. 


*Muhammad Fatkhul Barry