Bismillaah Ar Rahman Ar Rohiym,
Rabb/Pengasuh/Pemelihara/Pendidik Seluruh Alam Semesta. Beserta cinta, kasih, rindu yang menggebu dalam sholawat, senantiasa kami haturkan kepada
kekasih tercintaNya Muhammad SollAllahu'alaihiwassalam.
Demi
Masa.
Adalah sunnatullah, bahwa manusia dibekali semacam keinginan
untuk mengetahui, mempelajari, mengerti sesuatu. Dari saat masih di dalam
rahim, ketika reseptor gelombang teta mulai mempelajari segala rangsangan
pendidikan dari alam diluarnya, atau zaman now menyebutnya sebagai fase
"tidur ikan Paus".
Proses pembelajaran telah terpantik saat
fase tersebut, sebagai makhluk penuh
fitrah, reseptor indra menerima segala info dengan suka cita tanpa saringan
apapun. Disinilah rute pendidikan telah tercipta dengan sendirinya, sebagaimana
tugas sebuah sel hanya satu;
mengalami.
Manusia sebagai subyek pelaku pembelajaran
terbangun-membangun puzle informasi yang ia terima menuju nalar pertama
ketamyizannya, dari kandungan-buaian, dari belajar merengek, hingga terbata-bata melafalkan
bapak-ayah-abah-abiy-papa, ibu-bunda-ummi-mama-mom terus bergulir sampai akhir jatah hidupnya, sampai kematiannyapun menjadi pelajaran bagi
yang hidup.
Dan di titik-titik terkecil dari semua
gugus semesta, tersebutlah sebuah desa bernama
Indonesia. Manusia-manusia Indonesia terbangun disuatu keadaan, dimana
ketidaktahuan memuncak menjadi rasa penasaran, rasa penasaran menjadi pengetahuan dan puncak pengetahuan adalah ketidaktahuannya akan segala hal, berdiri lemah diambang terjaga (conciusness), tersadar (awareness), atau kembali kedalam kejumudan akal.
Manusia desa Indonesia terjebak diantara
kata, diksi, makna,
tafsir, gambar, pola, ekspresi. Yang semakin hari justru semakin bias, tidak karuan untuk
dipelajari. Tumpang tindih semakin
menggeliat antara deret; tahu, faham, mengerti, wawasan, pengetahuan, ilmu, pengajaran, pendidikan yang
bahkan lebih kompleks dari bahasa digital atau hitungan binner dalam asma
01000001 01101100 01101100 01100001 01101000. Padahal arus zaman semakin deras
menenggelamkan peradaban-peradaban yang memiliki kebijaksanaan tentang
sejatinya manusia, dan yang tersisa tinggal sampah atau matreliasme.
***
Sesungguhnya
manusia dalam keadaan merugi.
Dunia Pendidikan mati-matian membuat
rumusan masalah, konklusi, solusi.
Setiap thesis di anti-thesakan untuk mencari sinthesanya, setiap paradigma di konfigurasikan untuk
melahirkan paradigma selanjutnya, setiap
metode dimodifikasi agar manusia-manusia terbebas dari kebuntuan cara
berfikir, budaya dan sistem pendidikan
yang kacau, namun kenyataan berkata lain dalam prakteknya. Kecintaan akan
dunia, menjadikan kematian bukan sebagai nasihat melainkan
paranoia-serakah, dan matreliasme telah
benar-benar mengakar kuat dalam setiap komponen pendidikan yang ada bahkan
di diri kesadaran manusianya itu sendiri.
Bim sala bim semuanya tumbuh dengan
hasad, ananiyah, dan kesombongan di level yang sangat
mengerikan. Sedang sebagian lainnya yang masih memlihara kesadaran mental
spiritualnya akan jelas bertubrukan dengan yang tidak, dan lagi-lagi dimulailah
ronde ke semilyar sekian tentang "perang kebenaran v.s kebenaran".
Keduanya hanyut melupakan bahwa mereka adalah satu entitas, satu esensi, satu kesamaan, sama-sama manusianya.
***
Kecuali
bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebaikan.
Di Desa Indonesia ada pepatah tentang buah
simalakama, jangan bertanya seperti apa
wujud buahnya, yang jelas jika bapak makan bapak mati, bapak tidak makan ibu
mati, bapak-ibu tidak makan keduanya
mati, lho anakya mana? mati.
Persis seperti kritik terhadap pendidikan
yang terjadi di lembaga atau sekolah-sekolah. Sosok Guru tidak mahu tahu bagiamana caranya, diadili oleh para wali murid harus/kudu/musti
menjadi malaikat tanpa sungkan dan sadar, bahwa tanpa peran Guru maka niscaya
putera-puteri mereka akan jatuh kedalam jahilnya zaman, jangankan memahami hidup, baca-tulis saja mereka akan buta.
Dan di sisi lainnya, para wali
terkadang lupa bahwa pendidikan bukan
hanya tanggung jawab rumah pendidikan, huma keluarga juga merupakan faktor terpenting untuk mengajarkan apa itu
adab dan menggali sifat kemanusiaan di dalam peserta didik.
Jika peserta didik adalah bola kaca
kristal, anggaplah ilmu adalah miniatur
bangunan kota. Di dalamnya akan ada mobil, gedung-gedung, pohon bahkan salju, hingga ma-nu-si-a. Maka segala hal
di dalamnya harus ditangani dengan sangat hati-hati oleh para guru dalam
menempatkannya. Berapa luas kapasitas ruangnya,
jaraknya, estetikanya,
potensinya. Dan menjadi malapetaka
ketika bangunan pendidikan yang sudah ditempa sedemkian rupa malah hancur di
rumahnya sendiri.
Guru ajarkan kejujuran, orang tua contohkan membohongi tukang tagih
kredit. Guru ajarkan berbagi, orang tua
pertontonkan adegan mengusir yang efektif kepada peminta-minta. Guru ajarkan
tenggang rasa, keadilan, menjaga martabat, di rumah malah asyik saling meninggikan
volume pertengakaran. Maka hancurlah isi bola kaca kristal tersebut dan yang
menakutkan pecah sudah kepercayaaannya atas ilmu-ilmu yang ia yakini selama ini.
Apa yang terjadi kemudian? Bola kaca kristal mulai memerdekakan
dirinya, di usia dimana ide dan imajinasi
sedang dalam percepatan produksinya,
anak-anak desa tersebut mulai menciptakan gagasan liar mereka;
"Merdeka adalah hak segala bangsa dan LOLOS dari itu semua adalah satu-satunya pilihan!"
Karena memang masih dalam usia bocah, trend tersebut harus memiliki nama yang cukup
hits, keren, cool. Tidak peduli
bagaimana orang dewasa menilainya, tetap akan muncul kebanggan tersendiri bagi
bocah-bocah tersebut.
"Ini menakjubkan, mendebarkan, petualangan ini, tentang lepas dari cengkeraman orang dewasa".
Jika mereka adalah Peter Pan tokoh karangan
J.M Barrie, maka mereka akan mulai mencari Neverlandnya sendiri, dunia tanpa
orang dewasa dan bebas berkehendak sesuka hati. Lahirlah budaya BOLOS; BOcah yang bisa LOloS dari penjara
kebingungan menuju kemerdekaan dirinya.
Entah anak-anak tersebut akan berhasil
bebas, atau hanya menjebak diri mereka sebagai tokoh fiktif JM. Barrie menuju
usia yang semakin tua nanti. Tetap menjadi seorang petualang khayalan yang
membenci kehidupan dewasa untuk mengenal tanggung jawab, sembari lambat laun tenggelam dalam syndrhome
Peter Pannya masing-masing.
Ditambah lagi, aturan pendidikan di desa
Indonesia yang terus berubah-ubah membuat para Guru menjadi
gasing/gangsing, geraknya dituntut lebih
cepat, lebih cepat, dipercepat, lagi, lagi dan lagi, sedang hak
yang mereka terima tidak sebanding dengan kewajiban yang dibebankan. Padahal
para Guru juga memiliki keluarga yang harus dinafakahi. Namun yang paling
miris, mereka hanya dibuat berputar-putar bukannya bergerak maju, tapi putarannya saja yang semakin kencang tanpa
sedikitpun bergerak meninggalkan titik awal. Bukan semacam pak-pak dor, atau oncor bambu, tapi total menjadi gangsing berwujud ahsani
taqwiem.
Lantas dengan segala carut marut itu
semua apakah kemudian kita tidak berbuat
apa-apa? menyerah? berputus asa? atau kita bahkan tidak mampu mencapai tingkat
keimanan Semut Ibrohim, atau menjadi terlalu rendahkah harga diri kita padahal Semut Ibrohim terus memperjuangkan kebaikannya meski entah bagaiamana hasilnya?
***
Dan
nasihat menasehati dalam menaati kebenaran, dan nasihat menasehati dalam
menetapi kesabaran.
Masyarkat Desa Indonesia "ndadak"
terbangun dalam sebuah keadaan yang tidak bisa mereka pahami, sebagaiamana
semua manusia akan selalu mengalami gegar budaya atas realita yang dialaminya,
mengalami kegelisahan eksistensial akan peran hidup mereka, dan masih misteri
bahwa tidak semua manusia siap memanggul betapa beratnya sebuah kebenaran dan
kenyataan dihadapan hidup mereka.
Satu persatu kebenaran mulai terungkap bagi
mereka yang berani menihilkan dirinya,
keterjagaan mulai terbangun. Namun butuh fase panjang menuju titik
sadar. Sedang setiap satu per sekian dari kebenaran terlalu mengerikan untuk
bahkan diterima oleh akal mereka. Perasaan mulai menunjukan rantai reaksi. Dari detak jantung yang memacu lebih cepat
menuju mulut yang menganga, berpindah lutut tiba-tiba lemas, tubuh kehilangan keseimbangan, dan pikiran
blank entah kemana.
Satu nilai kebenaran seperti mendapati
kenyataan bahwa rumah yang ia bangun belasan tahun harus terbakar dalam satu
malam, atau cicilan sepeda motor, yang
khusyu' ia tabungkan dalam jerih payahnya selama tiga tahun mendadak diketahui
bahwa baru saja cicilan itu lunas hari kemarin tapi hari ini motornya hilang
dicolong maling. Satu motornya sekaligus, bukan spionnya terlebih dahulu, atau jok, atau ban, atau slebor, tapi langsung seketika satu motornya
sekaligus hilang. Atau impian-impian seorang bapak tentang syahdunya membangun
keluarga sakinah, dengan program
cita-citanya atas putri yang sedang istrinya kandung untuk ia didik menjadi
seorang khafidzoh di pesantren pengkolan lebaksiu, harus padam atas kecelakaan yang membuat
kedua kaki dan tangannya diamputasi.
Ndadak menempa manusia dengan entah kenapa
harus se-setres, senyeri, sesakit itu
menuju fase tersadar, yang kemudian mulai menuntunnya untuk Nduduk.
"Nduduk"/menggali lebih dalam, tentang kebenaran-kebenaran, tentang
hikmah, tentang realitas hidupnya, lingkungannya, desa
Indonesianya. Sehingga ia mulai merasa
sudah sedikit bisa meraba-raba sangkan paran dumadi, empan papan, pranotomongso, atau sepetik mikul dhuwur mendem jero atau juga nrimo ing
pandhum agar mampu melihat rantai-rangkai sejarah masa silam demi melepaskan
cengkeraman kepanikan-ketakutan Ndadaknya di masa sekarang dan siap menyulam
masa depan.
Era Pendidikanpun dimulai, bukan dari siapa-siapa, melainkan langsung
oleh hakikat Tarbiyatul Robb (Pendidikan oleh Maha Pendidik), untuk
memamah, mengunyah lembut dan mencerna
pelan-pelan tentang tadris, tafhim, ta'rif,
ta'dhib. Tentang ta'lim wa muta'alim, tentang akhlak, tentang adab dan ketawadhuan namun tetap trengginas
dalam berikhtiar.
Nduduk menelaah, bahwa siswa sama sekali
tidak sama dengan murid. Murid muncul dari serapan kata
aroda/kemauan/keinginan/kehendak sehingga koordinat dimana ia berdiri telah
jelas eksistensialnya untuk bekal menuju "Ndidik".
Kebenaran sedikit demi sedikit mengungkap
wajah sebenarnya, bahwa wujud asli
kebenaran adalah kebijaksanaan itu sendiri, dan kebijaksanaan pasti mebuahkan
kebaikan. Maka tidak ada diantara sederet manusia
yang mampu di bandingkan sebagai Guru diantara Semua Guru, Guru terbaik dari
semua peradaban, Guru terbaik masih memikirkan orang lain ketimbang dirinya
ketika ajal menjemput. Ialah Kanjeng Nabi Muhammad sebagai basyarun lakal
basyar.
Yang sekali lagi ditengah keterjerembaban
semak belukar zaman, manusia pemegang
teguh kebenaran tidak bisa tidak, harus melewati Pintu Muhammad agar mampu
mengakumulasi Segitiga Cinta dirinya, Allah dan Rosulullah sebagai pijakan
utama Ndidik.
Agar dalam prosesnya meniti,
mengistikomahi, menirakati jalan
ikhtiarnya melesat menuju satu wejangan :
"Bahkan jikapun esok hari adalah kiamat, namun ada satu benih yang bisa kau tanam pada hari ini digenggamanmu, MAKA TANAMLAH"
Hingga Insya Allah maiyah akan benar-benar
menjadi sejatinya Maiyah, yang bertemu, berkumpul, melingkar tidak lebih karena persaudaraan
yang saling mencintai dan rasa cintanya kepada Allah. Sebagai pemenuhan
undangan atas seruan hakiki "Ya Mutahabbina Fillah, Ya Mutahabbina Fillah" dengan tawa
bahagia dimuka namun hati terus merunduk mengharap hidayah.
Sampai bila saatnya nanti,
Adalah rahasia Allah tentang klimaks
"Ndadekna" dalam muara akhir ikhtiar pendidikan, yang terus mengemban kebenaran dan diikat
kencang dengan kesabaran (watawashoubil haqqi watwasoubis shobri).
Dengan Pengharapan-pengharapan diijabahinya
hal ini, sebagai maksud Ndadekna tidak
lebih adalah kesadaran, kesungguhan serta tawakal atas pertemuan antara
ikhtiar, do'a dan irodah Allahu 'ala Kulli Syai'un Qodiyr.
Wallahu'alam bishowab.
Maha Benar Allah dengan Segala
Kesempurnaan-Nya dan Maha Sempurna Manusia dengan segala kekurangannya.
*Muhammad Fatkhul Barry