Kamis, 02 November 2017

Tawasul

Kang Kus adalah salah satu santri di pondok pesantren Bahrul Ulum, sebetulnya ia adalah santri yang sangat rajin dan tekun dalam menimba ilmu. Namun sebab kesibukan di dapurlah yang membuat ia hanya memiliki waktu sedikit untuk belajar. Disaat hampir seluruh santri sedang khusu menghafal nadhom al-fiyah, ia harus mempersiapkan makan sore untuk para santri. Dan saat mereka sedang khidmat ngaji kitab kuning di ndalem Kyai Sholeh, Kang Kus masih harus membersihkan beberapa tempat di pesantren ini. Baru setelah jamaah sholat Isya’ Kang Kus sudah mulai bisa bersantai, diwaktu inilah terkadang ia gunakan untuk belajar walau hanya sebentar saja, atau melepas lelahnya dengan bersantai di warung kopi. Inilah sosok Kang Kus, santri ndalem yang tidak memiliki banyak biaya untuk pendidikanya. Namun ia juga dikenal sebagai santri yang sangat tawadhu dan begitu tadzim.

Pesantren memang memiliki banyak kisah, sehingga terkadang mereka tidak menyadari ternyata sudah bertahun-tahun tinggal di pesantren. Begitupun dengan Kang Kus, terhitung sejak tahun 2005 yang lalu Kang Kus kini hampir enam tahun menetap di pesantren ini. Itu artinya ia hanya tinggal beberapa bulan lagi akan menyelesaikan belajarnya di Madrasah Mualimin, dan kemungkinan akan meninggalkan pesantren. Awalnya ia sama sekali tidak memiliki cita-cita untuk meneruskan jenjang pendidikannya ke universitas, ia hanya berharap setelah selesai dari pesantren nanti akan kembali ke kampung halamanya. Sembari mengamalkan ilmu ia juga akan bekerja untuk membantu keuangan Emaknya.
Namun ternyata angan-angan tentang kampung halamannya kini telah pudar, sebab malam tadi saat ngopi bersama Mas Fais di warung pojok pesantren. Kang Kus sangat tertarik dengan cerita Mas Fais terkait program beasiswa kuliah di Maroko yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama. Penguman itu terpampang di meding madrasah sejak dua hari yang lalu.

“Kus, kamu sudah lihat meding di madrasah? ada pengumuman tentang beasiswa lho,” kata Mas Fais sembari menghampiri Kang Kus yang sudah lebih dulu duduk di warung kopi.

“Belum Is, memang ada?” tanya Kang Kus penuh penasaran.

“Ada kus, aku saja sudah melengkapi persyaratan sebagai peserta. Jika lolos seleksi nanti, kita bisa kuliah di Maroko tanpa sedikitpun mengeluarkan biaya.”

Tak lama setelah itu Kang Kus pun melihat pengumuman yang diceritakan oleh Mas Fais waktu di warung kopi tadi. Esok kemudian dengan begitu semangat ia melengkapi berkas atau persyaratan yang telah ditentukan. Sebetulnya ia tidak begitu percaya diri, sebab ia merasa masih banyak teman-temannya yang jauh lebih pintar. Namun baginya yang terpenting adalah berusaha dan berdo’a dengan selalu istiqomah.

***
Semilir angin melambaikan dedaunan dan lantunan suara para penghafal bait-bait nadhom di pessantren membuat mereka para santri sungguh tak menyadari, ternyata waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa kini Kang Kus dan teman-temanya pun sudah berada di ujung batas pintu gerbang pesantren. 

Setelah melewati beberapa bulan selangkah lagi kini mereka akan diwisuda dan meninggalkan pesantren. Kisah sedih saat mereka menjadi santri baru dan canda tawa khas para santri sebentar lagi hanya akan menjadi kenangan. Sebuah kisah yang akan menjadi indah jika diceritakan saat bertemu kembali setelah beberapa tahun kemudian. Disela-sela waktu inilah Kang Kus memberanikan diri untuk sowan ke ndalem Kyai Sholeh, meminta restu dan mengharapkan barokah do’a dari beliau. 

Kyai Sholeh adalah pengasuh pesantren ini, beliau terkenal sebagai Kyai yang kharismatik. Banyak orang dari luar kota yang sengaja sowan kepada beliau. Bahkan hampir setiap Presiden yang terpilih di Negeri ini pun selalu berkunjung ke ndalem beliau. Singkat cerita, kini Kang Kus pun sudah berada di ndalem Kyai Sholeh. Dengan wajah yang masih menunduk, lazim bagi santri maupun alumni pesantren sebagai adat tadzim kepada Kyai, Kang Kus dengan nada yang lirih mengutarakan maksud hatinya.

“Begini Kyai, maksud kedatangan saya kesini ialah ingin meminta do’a restu. Insyaallah minggu depan, dua hari setelah wisuda madrasah saya akan mengikuti tes peserta program beasiswa dari Nahdhotul Ulama.” 

Kyai Sholeh terdiam sejenak, sesekali beliau memejamkan matanya dan memandang wajah Kang Kus. Sementara itu Kang Kus masih saja menundukan wajahnya.

“Sebentar ya cung, tunggu di sini,” kata Kyai Sholeh  sembari berjalan menuju almari kitab dan buku-buku beliau.
Tak lama setelah itu Kyai Sholeh pun kembali menghampiri Kang Kus.

“Ini untuk kamu, buku ini kamu pelajari yah,” beliau menyodorkan buku berwarna hijau bertuliskan album foto pengurus Nahdlatul Ulama.

Kang Kus pun menerima album foto itu dengan sangat bahagia. Baginya album foto ini adalah sebuah kenang-kenangan terindah dari Kyai Sholeh yang harus ia simpan baik-baik dan menjaganya. Meskipun sebetulnya Kang Kus sendiri masih bingung dengan album foto itu. Bagaimana cara mempelajari sebuah album foto, lalu ilmu apa yang akan ia peroleh untuk bekal tes program beasiswa nanti. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari dalam hatinya, namun ia tak berani menanyakan langsung kepada Kyai Sholeh. Ia asal mengangguk saja, sebagai tanda bahwa ia akan siap mempelajarinya. Setelah Kyai Sholeh melantunkan do’a, Kang Kus pun pamit untuk kembali ke bilik pesantren.

Hampir setiap waktu album foto yang berisi tokoh-tokoh dan ulama NU itu berada didekapan tangan Kang Kus. Namun sampai saat ini juga Kang Kus masih penuh tanda tanya, bagaimana cara mempelajarinya. Sesuai apa yang telah diperintahkan oleh Kyai Sholeh saat sowan tempo hari. Setengah putus asa, sembari menyandarkan tubuhnya di dinding tembok kamar Kang Kus kembali membuka album foto itu. Namun kali ini berbeda, entah bagaimana mulanya. Tiba-tiba ia berinisiatif untuk membaca surat fatihah disetiap foto-foto ulama yang ia lihat. Ia kembali membukanya dari awal, dihalaman pertama hingga tujuh halaman berikutnya berisi tentang kumpulan foto sang pendiri Nahdhotul Ulama yakni KH. Hasyim As’ary. 

Sebelum meneruskan ke halaman selanjutnya Kang Kus berhenti sejenak, ia mulai memejamkan kedua bola matanya sembari membaca surat fatihah yang dikhususkan untuk KH. Hasyim As’ary. Dihalaman berikutnya ada beberapa foto KH. Wahab Chasbulloh dan keluarganya. Beliau terkenal sebagai inisiator Nahdhotul Ulama, lahir pada tanggal 31 Maret 1888 di Tambakberas Jombang. Beliau adalah salahsatu putra dari pasangan KH. Chasbulloh Sa’id dan Nyai. Latifah. Kang Kus pun kembali memejamkan kedua bola matanya dan membacakan surat fatihah. Begitu seterusnya, selalu melakukan hal sama setiap melihat foto ulama yang berada di dalam album foto pemberian Kyai Sholeh.

***
Pintu gerbang pesantren kini sudah benar-benar berada di depan dua bola mata para santri kelas akhir. Pagelaran prosesi wisuda madrasah telah selesai diselenggarakan. Beberapa santri yang telah diwisuda sudah mulai bergantian sowan ke ndalem Kyai Sholeh. Meminta do’a sekaligus berpamitan untuk meninggalkan pesantren. Sementara itu Kang Kus dan Mas Fais pun harus mempersiapkan diri, sebab nanti pagi mereka harus sudah berada di gedung NU Surabaya. Di sanalah nanti mereka akan bertemu dengan seluruh santri se-Jawa Timur, yang telah mendaftar sebagai calon mahasiswa program beasiswa yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama itu.

Tepat setelah jamaah sholat subuh Kang Kus dan Mas Fais berangkat ke Surabaya, bus Sumber Kencono melaju dengan kencang. Pukul 09.30 WIB Kang Kus dan Mas Fais pun sudah berada di dalam gedung NU Surabaya, bersama dengan peserta dari berbagai pondok pesantren yang lain. Tak lama setelah itu panitia pun mempersilahkan para peserta tes untuk masuk ke sebuah ruangan yang terletak disebelah pojok gedung. Satu persatu peserta dipersilahkan untuk duduk dan memperoleh soal-soal yang nanti harus dikerjakan. Beberapa saat sebelum mulai mengerjakan lembaran soal tersebut, tiba-tiba Kang Kus teringat akan senyum dan wajah teduh Kyai Sholeh serta beberapa foto para Kyai dan Ulama NU. Seperti pada waktu yang lalu, Kang Kus kembali memejamkan dua matanya sembari membaca surat fatihah untuk beliau-beliau.

“Ila hadroti KH. Hasym Asary, KH. Wahab Chasbulloh, KH. Bisry Syamsuri. Syai-u lillahi lahumul fatihah.” Dengan nada lirih Kang Kus pun mulai membaca sural al-fatihah.

***
Ujian tes sebagai mahasiswa di Maroko yang diadakan oleh Nahdlatul Ulama telah telewati. Sembari menunggu hasil pengumuman Kang Kus pun kembali ke pesantren, dan kembali menjalankan aktivitasnya sebagai santri abdi dalem. Sementara itu entah ada khajat apa, Mas Fais melanjutkan perjalanannya ke Jakarta. Kang Kus pun tak menyangka ternyata ia akan berpisah dengan Mas Fais di terminal Surabaya.

Hari yang ditunggu telah tiba, pengumuman hasil tes sebagai calon penerima beasiswa pun sudah bisa dilihat di website resmi Nahdlatul Ulama. Sesuai dengan pamflet yang terpampang di meding madrasah, bahwa program beasiswa ini hanya diberikan kepada lima peserta dengan jumlah nilai tertinggi. Saat ini kabar baik mungkin memang belum menjadi milik Kang Kus dan Mas Fais. Kang Kus berada diurutan atau rengking ke tujuh, tepat dibawah nama Mas Fais. Itu artinya tidak ada satu pun dari mereka berdua yang lolos.

Kang Kus sedikit kecewa, namun ia juga menyadari betul bahwa secara ke ilmuan Kang Kus memang belum terlalu siap menjadi mahasiswa di Maroko. Akan tetapi ia juga sangat mensyukuri akan hal ini, paling tidak sebab proses inilah ia memperoleh satu album foto yang berisi fofo-foto para Kyai Nahdlatul Ulama pemberian dari Kyai Sholeh.

Musim kemarau bulan yang lalu telah terlewati, awan gelap dan rintik hujan bergantian datang membasahi pesantren ini. Pagi tadi hujan lebat pun menyapa, namun perlahan mulai reda. Langit diatas pesantren ini pun kembali tampak begitu cerah. Secerah harapan para pencari ilmu di bumi pesantren. Kang Kus kembali memulai aktivitasnya dengan menyapu halaman rumah Kyai Sholeh. Setalah itu, siang nanti ia berencana akan sowan ke Kyai Sholeh untuk berpaminatan pulang ke kampung halamannya. Belum selesai Kang Kus menyapu, tiba-tiba salah satu pengurus pondok menghampirinya.

“Kang Kus, ada telepon untuk sampeyan,” kata pengurus pondok itu.

“Dari siapa Mas,” tanya Kang Kus.

“Dari panitia program beasiswa katanya, sini biar aku yang menggantikan sampeyan nyapu Kang.”

Kang Kus bergegas pergi ke kantor pondok, menerima telepon dari panitia program beasiswa yang diadakan oleh Nahdlatul Ulama. Melalui percakapan via telepon itu Kang Kus diminta untuk membuka email yang telah dikirim. Kang Kus pun secepatnya pergi ke warnet yang jaraknya tidak begitu jauh dari pondok. Kang Kus sangat terkejut saat membuka dan membaca isi email dari patitia progaram beasiswa. Melalui musyawaroh dan kesepakatan bersama, Kang Kus dinyatakan lolos dan berhak menerima beasiswa sebagai mahasiswa di Negeri Maroko. Ia dinyatakan lolos setelah ada konfirmasi pengunduran diri dari wali santri salah satu peserta program beasiswa. Putranya yang dinyatakan lolos itu telah meninggal dunia sebab kecelakaan.

Sebelum menghubungi Kang Kus, panitia program beasiswa pun sudah menghubungi peserta dengan rengking ke enam, tak lain ia adalah Mas Fais. Namun Mas Fais pun ternyata tidak bisa menyanggupinya. Entah sebab alasan apa ia menolok beasiswa yang seharusnya sudah menjadi miliknya. Maka beasiswa itu pun ditawarkan kepada peserta reking ke tujuh, atas nama Kusnanto bin almarhum Bapak. Jalil atau yang akrab dipanggil dengan Kang Kus. Seketika itu ia pun mengurus dan mengirimkan surat kesanggupan sebagai penerima beasiswa yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama.

***
Santri abdi dalem itu hingga saat ini pun masih tinggal di Maroko, ia habiskan waktunya untuk mengabdi dan tanpa udzur dalam berjuang bersama Nahdlatul Ulama. Bahkan ia juga sempat menjabat sebagai ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko.  Selain itu, keistiqomahanya membaca surat fatihah saat melihat foto dan teringat wajah para ulama pun masih tetap ia lakukan hingga saat ini. Begitulah akhir kisah perjalanan Kang Kus hingga sampai ke Negeri Maroko. Penolakan beasiswa yang seharusnya menjadi milik Mas Fais pun hingga saat ini masih menjadi sebuah misteri.

Saat terdengar suara adzan Isya’ dari masjid induk pesantren, Gus Qoyum pun mengakhiri cerita tentang kisah Kang Kus tersebut. Gus Qoyum adalah putra pertama Kyai Sholeh. Kami para santri yang dari tadi mendengar cerita Gus Qoyum tentang Kisah Kang Kus pun masih khusu dan terdiam. Namun tiba-tiba Gus Qoyum mengahirinya dengan bacaan salam.
“Assalamual’aikum warohmatullohhi wabarokatuh.”