Senin, 29 April 2019

WELAS


Mukadimah Poci Maiyah Mei 2019 
Oleh: Khairul Fahmi


"Nol, satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas....,"

Rahman dan Rahim jika di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia adalah Pengasih dan Penyayang. Jika kita telusuri lagi makna itu melalui kamus besar bahasa indonesia, maka Pengasih artinya yang memberi, dan Penyayang artinya orang yang penuh kasih sayang; yang penuh cinta.

Adapun dalam khazanah maiyah, sering juga dijelaskan secara kontekstual dengan melihat gerak bibir dalam pengucapan kata Rahman dan Rahiim, jika Rahman gerak bibir kita keluar artinya memberikan sesuatu yang bagus, maslahat dan bermanfaat bagi orang lain. Rahman ini lebih umum, baik ke sosial maupun seluruh alam. Begitupun Rahiim, gerak bibir kita kedalam yang artinya bisa memberikan sesuatu yang bagus dan bermanfaat bagi diri kita dan keluarga, makna Rahim rasa-rasanya lebih ke pribadi, ke dalam jauh sesuatu di lubuk hati.

Baik Rahman maupun Rahim, semua butuh pengorbanan yang luar bisa. Kalau kita tadabburi lagi, ada rahasia kenapa di dalam melakukan sesuatu kita disunnahkan membaca Bismillahirrahmaaniraahiim. Nama Allah yang selalu disandingkan di awal perbuatan kita adalah Rahman dan Rahim.

Kemudian apa hubungannya dengan tema bulan Mei ini? yaitu mengusung kata Welas untuk dijadikan tema? kenapa welas? kenapa tidak asih? kenapa juga bukan Welas Asih? kan lebih enak dan lebih familiar.

"Nol, satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas....,"

Difilosofi jawa sendiri hitungan Sewelas sampai Songolas sangat erat kaitannya dengan rasa Welas Asih (belas kasih),  dimana pada masa itu, kita akan mengenal rasa cinta dan kasih terhadap seseorang, lawan jenis, atau dikenal dengan masa remaja. Masa dimana ia dihadapkan dengan rasa gelitik di dada, atau kecewa atas proses pencariannya.

Maka di Jawa penyebutan angka setelah sepuluh, sampai pra dua puluh disebut welas. Atau jangan-jangan ada sudut pandang lain yaitu saat penentuan tema ini, ada Sewelas usulan yang semua usulan itu diusung. Kalau toh semua usulan di usung itu ada sewelas (sebelas-red), maka kalimat Welas ini mewakili semuanya, seperti filosofi jawa tadi, Welas dengan semua yang ingin mengusung tema, toh semua sama-sama niatnya baik.

"Nol, satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas....,"

Atau jangan-jangan kalau kita lihat dari sudut pandang Islam, karena ini ada hubungannya tutup buku bulan kesebelas (sewelas) dalam Islam, dimana setelah ini ada satu bulan yang kita tidak bisa makan di siang hari. Bulan maghfiroh yang Allah wajibkan kepada para pengiman-Nya untuk latihan, untuk mampu menempa diri dan semoga bisa menjalani sebelas bulan berikutnya.

Coba kita tarik dari sudut pandang IT dan Agama, dua sudut pandang itu yang lagi ramai di Indonesia, sewelas kalau kita simbolkan menjadi 11, setelah 11 bulan ada 1 bulan yang sudah disebutkan tadi bulan puasa, terus di akhir bulan puasa kita menjadi 0 kembali.

Bim sala bim, simbol 1 dan 0 ini klo di IT itu bilangan biner. Sebuah algoritma rumit bisa tersusun dari angka-angka tersebut, era digital sekarang juga banyak di pengaruhi oleh angka-angka biner tersebut, bahkan sebuah simbol sederhana seperti huruf "A"  akan cukup panjang jika dituliskan kedalam angka biner.

"Nol, satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas....,"

Ah dari kata welas ini kok jadi banyak maknanya, yang semua makna itu bisa jadi benar. Tapi kalau khazanah makna itu kita pertentangkan, rasa-rasanya menjadi tidak pas juga menjabarkan sedikit makna tentang Welas, malah nanti bisa bertengkar berjilid-jilid kaya di Indonesia sekarang ini.

Kalau dari sudut pandang yang lain, Welas ini juga mempunyai padanan dengan yang disinggung di awal mukaddimah ini yakni Rahman, kalo Asih padanannya Rahim.

Mungkin orang jawa menyadari bahwa minimal kita itu kalau belum bisa memberikan fungsi sosial (Rahman), maka kita bisa melakukan fungsi ke diri pribadi tanpa melupakan fungsi sosial, makanya urutan penyebutannya Welas Asih.

Maksudnya gimana itu?
Ya paling tidak kamu yang sudah menikah sudah beres dulu dengan istri dan anak-anakmu, contohnya mungkin bab nafkah sudah beres. Kalau kamu belum menikah ya paling tidak kamu akur dengan bapak ibumu, yang penting tidak menambah masalah.

Beres disini bukan seperti diartikan orang kebanyakan yang harus punya duit banyak, tapi kalau punya duit sedikit hatimu adem ya itu juga namanya beres, kalau pilihan presiden mu beda dengan pelaku maiyah lain hatimu tetep adem itu juga namanya beres, dan kamu tidak perlu mengajak siapapun untuk beres, cukup kamu keras pada dirimu untuk beres. Baru kalau sudah beres kamu bisa melakukan fungsi sosialmu.

Dengan Maiyahan contohnya; kalau belum beres urusan rumahmu, Maiyahanmu bakal bisa jadi bulan-bulanan istri, bapak, Ibumu atau siapapun nanti, dan lama-lama kamu tersinggung, dan nanti hilang Welas mu. Kalau sudah hilang welasmu, terus kamu ikut maiyahan buat apa? Buat sekedar kabur dari tanggung jawab dunia? Nahlo.