Reportase Poci Maiyah Mei 2019
Oleh : Lingkar Gagang Poci
Gelaran Sinau Bareng Poci Maiyah
Bulan Mei ini mengambil tema 'WELAS'. Berangkat dari titik koordinat bissmillahirahmanirrahim, Kang Fachrudin
mengawalinya dengan bertawasul, mengirim alfatihah untuk para yang diwelasi Allah. Alfatihah untuk
semua ulama di seluruh semesta, untuk mengharap perkenanan Allah mengalirkan
welas pada mereka agar sampai pada kita semua.
Kemudian dilanjutkan dengan tahlil
yang dipandu oleh Kang Fahmi, disambung dengan menyanyikan lagu Indonesia raya
sebagai shodaqoh rasa welas rakyat Indonesia pada negeri kaya yang diperebutkan
para gundul pacul yang gembelengan.
Momen selanjutnya adalah
mendendangkan syair shohibu bayti, salah
satu lagu rindu pada Rasulullah shollu alaihi.
Masuk ke acara selanjutnya saling
kenal, dimulai dari Kang Mustofa Ups yang mempersilahkan Kang Fachruddin asal
Krandon Margadana Kota Tegal, yang menemani Kang Mustofa Ups dan Kang Fahmi
membuka acara. Kemudian sebelum memutar saling berkenalan antar sedulur yang
hadir malam itu, satu sholawat alfassalam dilantunkan.
Sebelum perkenalan para sedulur, Kang
Mustofa mengawalinya dengan pengalaman salah satu penggiat Suluk Pesisiran,
Pekalongan. "Dia dimintai tolong untuk mengobati tetanggangnya yang
kesurupan. Karena bingung, akhirnya dia mengirim sms ke Mbah Nun, meminta
nasehat/saran. Disuruhnya untuk mengambil air, lalu dibacakan doa ini, itu, dan
ternyata alhamdulillah sembuh," cerita Kang Mustofa. "Dari sana, ada
nasehat yang beliau sampaikan, yang saya pahami, kalau misalnya ada orang yang
minta tolong, tolonglah semampu kita, sebisa kita, dengan tetap mengingat
Allah-lah yang sebenarnya akan menyelesaikan itu semua. Manusia hanya
berikhtiar saja."
Para penggiat Maiyah pastinya juga
belajar, untuk selalu merenungkan kembali apa yang didapatnya dari Maiyah, dari
Mbah Nun, dari sinau barenga. Nasehat Kang Mustofa seirama dengan apa yang
ditulis Mbah Nun dalam Daur II. 117 :
Kecuali Aku Memberimu Makan. Tentang hadits qudsy betapa Allah ada di
setiap permintaan tolong manusia, hewan, bahkan semesta. Fa ainama tuwalu fatsama wajhullah, kemanapun engkau menghadap
disanalah wajah Allah. Agar kita tidak berpaling dari panggilan alam, permintaan tolong semesta, karena disanalah Allah
juga ada. Ya ayyuhannas ma ghoroka
birobbikal karim?
Perkenalan pertama dari Kang Aziz dari
Kalialang perbatasan Tegal-Brebes yang sedang berlibur dari menjemput rezeki
Allah di Cikarang. Mikropon pun bergeser, kali ini dari Kang Rifki asal
Pengarasan, Kab. Tegal yang saat ini menimba ilmu di pesantren assalafiyah.
Datang ke Poci Maiyah sebagai pengalaman perdana ikut melingkar bersama tiga
sahabatnya (Kang Rendy dari Bojong dan Kang Mirza dari Kedauwan, Talang) yang senang juga bermaiyah apalagi dengan
nasehat-nasehat dari Mbah Nun.
Selanjutnya Kang Wisnu Maarif dari
Krandon, Margadana Kota Tegal. Kenal Poci Maiyah justru saat di Jogja, dan dari
sana mulai untuk merapat di maiyah kampung halamannya, Tegal. Disambung Kang
Fathir dari Jalan Rambutan Tegal. Kenal maiyah dari seorang kawan kuliah dari
Jogja yang di tahun 2016 mengajaknya menonton maiyah dari media sosial.
Kemudian di sebelahnya adalah Mbak Wiwin dari Kota Tegal yang menanyakan sudah
berapa lama Poci Maiyah berjalan, yang langsung dijawab Kang Mustofa sebagai
moderator, 3 tahun dan malam itu adalah pertemuan ke-28. Mbak Wiwin ini
mengenal maiyah dari grup wa yang sering mengirim video mbah nun, dan ikut Poci
Maiyah sekalian pulang kerja. Dilanjut Kang Fahmi dari Banjaranyar, kenal
Maiyah dari Kang Isal penggiat dari Balapulang dan ikut Poci Maiyah dari Tema
'Segitiga Cinta'. Sesi perkenalan itu diakhiri dengan satu nomor 'Bismillah'
untuk sejenak menyegarkan suasana malam itu.
Setelah satu nomor tersebut, Kang
Mustofa membuka sinau bareng dengan membacakan mukadimmah 'welas'. Selepas
bergilir membacakan mukadimmah, Kang Oki sebagai perancang poster dipersilahkan
untuk mengupas sekaligus mengawali sinau bareng bertema 'WELAS' malam itu.
"Pembahasan poster kali ini saya
nggak akan bicara banyak-banyak, karena ujung-ujungnya di reportase ditulis
cuma sedikit," Kang Oki mengawali, disambut tawa para sedulur Poci Maiyah.
"Saya akan fokus pada gambar anak yang meminta uang di poster tersebut.
Sebelumnya, saya mendapat cerita dari Pak Fahmi dan Mbah Nahar, bahwa kalo kita
punya uang, sejatinya itu ada hak milik orang lain. Dan kalaupun kita bagikan
pada orang lain, itu akan berubah dan tergantikan secara langsung dalam bentuk
rejeki yang lain. Cerita lain dari Pakde Teguh, tentang perumpamaan pagar rumah
orang dulu. Bahwa keberpemilikan orang dulu itu akan mengabarkan nikmat dan
membiarkan orang lain juga menikmati itu selama dalam batas-batas yang
wajar."
Dilanjutkan oleh Yi Fahmi (ada Kang
Fahmi dari Krandon, agar mudah membedakannya) yang mengupas mukodimmah. "Perlu
kami sampaikan bahwa kami yang berbicara di depan ini hanya mengawali saja, dan
nanti kita akan bareng-bareng belajar, mudah-mudahan bermanfaat untuk
sedulur-sedulur semua," Yi Fami mengawali. "Sebelum tema 'WELAS' ini
diputuskan, sebenarnya ada belasan tema yang lain. Tapi akhirnya kami ambil
tema ini, bukan cuma bisa dikaitkan dengan basmalah, tetapi juga karena tema
yang belasan tadi, di jawa kita punya filosofi 'belas' ata 'welas' : sewelas,
telulas, dsb,. Itu adalah filosofi jawa yang dari welas itu dimaknakan sebagai,
anak-anak berumur belasan sampai 20 tahun, itu memang saat-saatnya tenggelam
dalam asmara, cinta, rasa, dsb." lanjut Yi Fahmi. Sedangkan filosofi
'likur' sendiri orang jawa memaknainya sebagai 'linggih kursi', saat ketika
orang-orang mulai bekerja, menduduki jabatan dunia, dari yang remeh sampai yang
rumit. Sedangkan 'selawe', orang jawa memaknainya sebagai 'seneng-senenge
lanang lan wedok', saat ketika seseorang memang sudah saatnya menikah, sebelum
atau setelah bekerja. Itu mengapa 'selawe' ada di tengah 'likur', menikah boleh
sebelum dan sesudah bekerja, berarti menikah dua kali ya? Orang jawa menyebut lima puluh (50)
tahun dengan 'seket', itu dimaknai sebagai 'senenge kethu'an' (peci-nan), saat
ketika seseorang sudah seharusnya banyak-banyak beribadah. Dan enam puluh
sebagai 'sawidak' dimaknai dengan 'saate wis tumindak', bahwa usia itu sudah
seharusnya bersiap untuk hijrah ke sisi Tuhan yang lebih dekat.
"Kalau kita lihat di mukodimmah,
kita punya sebelas tema," lanjut Yi Fahmi. "Ada tema an'amta alaihim,
islammu kok angel, tadabbur kok haram, menemukan kembali maiyah, ahlan wa
sahlan ashabul maiyah, aku rido aku ikhlas, sakarep-Mu ya Allah, awagan, dan
lain sebagainya. Dan akhirnya kita ambil tema welas, kasih. Seperti kata kang
Fachruddin, kalau urusan rumahmu belum beres, maka bisa jadi maiyahanmu akan
menjadi bulan-bulanan istri, orangtua, dan keluargamu." Sambungnya.
"Di jawa kan kita punya filosofi welas asih, sayang dan kasih, sedangkan
dalam Islam rahman rahim, kasih dan sayang. Ini kita maknai sebagai dinamisasi
bahwa itu bisa dimulai dari mana saja. Seperti di mukodimah tadi saya katakan,
kalau urusan dalam diri kita sudah beres, maka mengurusi dunia di luar diri
kita pun akan lebih mudah," sambung Yi Fahmi lagi. Ada yang bilang, jika
urusan hatimu telah mampu kau damaikan, maka urusan dunia di luar dirimu pun
dapat kau tenangkan. Jikapun dunia memang tak dapat kau kendalikan, maka
setidaknya hatimu selalu dalam ketenangan. Alaa
bi dzikrillahi tathma'inul qulb.
Selanjutnya dari mbah Nahar, "Jenengan
boleh ndak sepakat dengan kami, atau bahkan semua yang datang disini. Kita
sinau bareng, belajar bersama, dari ketidaksepakatan itu nanti dapat direspon,
dan mudah-mudahan dari itu Allah berkenan menurunkan hidayahnya pada kita
semua," katanya mengawali. "Kalau kita bicara welas, maka kita bicara
juga rahman dan rahim. Kalau rahman itu cinta yang menyeluruh, universal, maka
rahim adalah cinta yang mendalam. Kalau rahman itu cinta yang inklusif, kalau
rahim itu cinta yang eksklusif. Rahman itu rasa welas pada siapapun, siapa
saja, sedangkan rahim keintiman cinta hanya pada satu titik kordinat, menurut
saya.". "Ada kisah begini. Suatu saat Nabi Musa bertanya pada Allah
siapa tetanggaku di surga nanti. Allah menjawab si fulan, rumahnya di 'sana'.
Akhirnya nabi Musa mendatanginya. Tapi setelah bertamu, setiap menemui Nabi
Musa di ruang tamu itu tuan rumah membawa hewan babi. Nabi Musa bertanya, tuan
agamanya apa? Jawabnya, tauhid. Tapi mengapa memelihara babi? Tanya Musa lagi.
Wahai Tuan, babi ini adalah orangtuaku yang mendapat azab dari Allah."
"Dari cerita ini kita pahami
bahwa berbakti pada orangtua, yang diwujudkan pada hewan babi, dengan rasa
welas itu memang harus, dan itu kebaikan." Sambung Mbah Nahar lagi.
Setelah penyampaian membuka sinau
bareng, Kang Edi dari Tembok Luwung Kab. Tegal bertanya, "Merespon dari Yi
Fahmi tadi, bahwa sebelum kita mengurusi masalah di luar diri kita sendiri,
diri kita sendiri harus beres lebih dahulu. Pertanyaannya, adakah barometer
atau ukurannya kalau diri kita ini sudah beres? Dan apakah itu sebuah sesuatu
yang baku, yang bisa digunakan siapa saja dan kapan saja? Terima kasih,"
Respon selanjutnya dari Kang Muji
dari Pagerbarang, "Hidup ini memang harus ber-rahman dan rahim pada semua
orang. Lalu, yang terpenting adalah kesungguhan, temenanan, sungguh-sungguh.
Udah itu saja, terima kasih..."
Respon selanjutnya dari kang Aziz,
"Ibarat bunga, sebelum mekar, aromanya masih berada di dalam dirinya
sendiri. Baru ketika mekar, aroma itu bermanfaat untuk sekelilingnya,"
Kang Aziz mengawali. "Jadi kalau bunga itu keluar di dalam," dari
kata-kata ini jamaah tergelak, karena suasana malam dan imajinasi yang
kemana-mana mendengar kata keluar di
dalam. "Maksudnya, aroma, aroma yang keluar itu kan pelan-pelan, dan
itu saya artikan sebagai proses untuk bermanfaat atau rahman rahim kita pada
orang lain."
Respon selanjutnya dari Kang Bima
dari Kalisapu, "Merespon dari yang disampaikan Yi Fahmi, bahwa sebelum
keluar diri kita sudah beres dulu, itu menurut saya secara personal. Karena
kalau kita melihat keadaan, bisa jadi itu bentrok dengan niat seseorang yang
membutuhkan kita. Lalu tentang barometer tadi, dalam maiyah kan Mbah Nun sering
berkata bahwa kebenaran itu letaknya di dapur, sedang kebaikan itulah yang kita
keluarkan. Seperti yang terjadi saat-saat ini, banyak orang merasa benar dan
mengeluarkan perasaan benar itu pada orang lain, bukan kebaikannya. Yang
terjadi malah pembenaran."
Respon selanjutnya dari Kang Riski
asal Kalisoka, "Saya jadi ingat perkataannya Kang Moka waktu tema
'MENCINTAIMU'. Cinta itu adalah kasih sayang yang didasari keikhlasan. Jadi
menurut saya yang menjadi barometernya adalah keikhlasan. Karena kebaikan tanpa
keikhlasan adalah keegoisan. Ada penyair yang berkata, 'Siapa yang mencintai
kekasihnya karena dirinya sendiri, dia tak mencintai kekasihnya itu. Tapi siapa
yang mencintai dirinya karena kekasihnya, maka ia benar-benar cinta."
Selanjutnya dari Mbak Bela asal
Jatibarang, "Cerita sedikit tentang pekerjaan berkaitan dengan tema kasih
sayang ini. Ada seorang teman yang meminta tolong, tapi kita tahu bahwa
permintaan tolong yang diminta itu adalah sebuah keburukan. Dan kalau kita
tolak, dia akan memusuhi kita, BBM katanya, bala
bala musuh (teman tapi musuh), itu bagaimana menyikapinya?"
Respon selanjutnya dari Yi Fahmi,
"Sebelumnya saya mau bercerita tentang maiyah, sebelum merespon tadi
tentang barometer/parameter. Bahwa menjadi penggiat maiyah itu berat, apalagi
harus beres di rumah tangga dulu, bermaiyahan sampai pagi. Menolong itu kan
bukan berarti mengikuti, karena kalau yang ditolong ternyata adalah berniat
keburukan berati hakekatnya nggak menolong. Atau seperti yang sering Mbah Nun
sampaikan, tentang pilih mana pemimpin kafir tapi adil, atau beriman tapi
dholim. Ini kan keliru, karena kalau beriman pasti tak akan berbuat kedholiman.
Karena islam itu kan asal katanya salam, selamat, menyelamatkan."
Satu nomor 'PERMINTAAN HATI'
dinyanyikan sejenak untuk menyegarkan intelektualitas dan spiritualitas para
jamaah.
Pertanyaan selanjutnya dari Kang Zani
dari Kalisoka, "Pertanyaan ini dari teman saya yang menganggap dirinya
ateis, tentang terorisme yang terjadi di new zaeland. Mengapa Tuhan begitu tega
membiarkan umaatnya dibunuh ketika sedang beribadah?"
Lanjut pertanyaan dari Kang Doni,
"Saya baca bukunya gusdur, dan disana menjelaskan tentang hablum minannas
dan hablum minallah. Sebenarnya lebih utama mana dari dua hal itu?"
Respon pertama dari Yi Fahmi,
"Tentang cinta kan nggak bisa selesai kita bahas ya, tapi kalo
mencintaimu, itukan nggak semanis memberi bunga pada perempuan. Seorang bapak
yang menarik becak untuk menafkahi anak istrinya itu juga bukti cinta. Kembali
lagi ke rahman, fungsi sosial dari cinta. Lanjut tentang pertanyaan Kang Zani,
mengapa neraka diciptakan. Mas Sabrang pernah memberikan ilustrasi yang
sederhana begini, kalau kita ketahuan nonton video dewasa di kamar, oleh bapak
misalnya. Kita kan malu ya? Sangat malu. Kita pilih mana, dihajar lalu bapak
lupa dengan kejadian itu, atau dibiarkan saja tapi bapak terus ingat? Neraka
itu bisa jadi diciptakan seperti itu, untuk menjadikan kita suci dan seakan
Allah lupa dengan dosa-dosa kita," "selanjutnya tentang pembantaian
di masjid new zaeland." Lanjut Yi Fahmi. "Di Maiyah kita mengenal,
kalah-menang kita itu bukan sekedar dalam hal materialisme. Misalnya ada orang
jualan, dia jual nasi 10 ribu, ada yang nawar 7 ribu. Tapi pedagangnya bilang :
bapak bayar 7 ribu, tapi harganya tetap 10 ribu ya? Nanti biar 3000-nya saya
nabung di akhirat. Orientasi kita kan bukan dunia, seperti dalam quran, jangan
kau kira orang yang mati di jalan Allah itu mati, sedang sebenarnya mereka
hidup."
Respon selanjutnya dari Mbah Nahar,
"Tentang hablum minallah dan hablum minan nas, bukan mana yang lebih dulu,
tapi itu adalah harmonisasi. Seperti kaki melangkah, kan nggak mungkin
lompat-lompat. Ada fungsi tersendiri dalam masing-masing kordinat."
Respon selanjutnya dari Kang Doni
menanggapi respon dari Mbah Nahar, "Maksud saya bertanya itu gini kang,
misalnya ibadah kita bagus, lalu misalnya pas kita naik motor, kita lihat
ibu-ibu tetangga kita jalan kaki dari pasar. Apa kita lantas membiarkannya
saja? Kalo Gusdur kan pernah bilang begini, 'Saya lebih memilih dianggap
liberal, karena saya lebih takut pada manusia daripada pada Tuhan. Bahwa hablum minan nas itu lebih utama
daripada hablum minan nas."
Respon selanjutnya dari kang Ali,
"Saya sepakat itu. Bahwa jika orang ibadahnya baik, harusnya ibadah
sosialnya juga baik. Dan tentang mengapa neraka diciptakan tadi, ada kisah dari
Nabi Musa ketika beliau juga bertanya serupa itu. Akhirnya Tuhan menyuruh Musa
bertanam. Setelah panen, singkat cerita, hasil panennya dijual. Allah bertanya
: yang dijual kamu yang baik-baik saja atau yang buruk juga? Musa menjawab :
yang baik-baik, Tuhanku. Nah, neraka itu pengibaratannya mungkin seperti itu,
ada orang-orang yang memang mengambil jalan keburukan, fa alhamaha fujuroha wa
taqwaha."
Respon selanjutnya dari Kang Anis
asal Debong, "Tentang cinta tadi, kalo menurut saya ini tentang
keikhlasan. Ketika kita beribadah pada Tuhan tanpa mengharap apa-apa
lagi."
Respon dilanjutkan oleh Yi Fahmi,
"Hablum minan nas kalau dasarnya adalah Allah maha pengampun, karena kalau
memohon ampun pada Allah kan mudah, tapi kalu kita punya salah pasa manusia,
susah kita kalau harus dipastikan dimaafkan."
Rehat sejenak, satu nomor dengan sholawat
nariyah dilantunkan. Dilanjutkan puisi dari Kang Rizki, bertema WELAS KASIH.
Pertanyaan selanjutnya dari Kang Aryo
asal Slawi, "Kalo kita lihat di paragraf-paragraf pertama mukodimah, ada
kalimat kasih sayang dengan penuh cinta, banyak yang menjelaskan tentang cinta
tapi sebenanrnya belum tentu kita memahami artinya. Makna penuh cinta dalam
tema welas ini apa?"
Kang Rizal dari Jatibarang juga
menambah pertanyaan, "Tentang cinta ini, kalau suami-istri sudah menikah,
terus yang laki-laki berkata pada teman-temannya, 'Aku masih bujang ini,'
meskipun sebenarnya sudah tidak, dan suami istri itu berkumpul (jimak), itu
hukumnya bagaimana?"
Respon pertama dari Mbah Nahar,
"Kalau menurut dasar pernikahan, menikah itu kan harus jujur. Adapun
persoalan Jimaknya itu haram atau tidak, saya nggak kupas itu dulu ya, tapi
memang dasar pernikahan itu harus jujur," kemudian disambung,
"Misalnya kita ambil contoh puasa arofah, atau sholat di masjidil haram
yang pahalanya berkali-kali lipat, berarti kita nggak apa-apa berbuat doa? Kan
pahala kita banyak? Rasul bilang sholat berjamaah itu pahalanya 27 derajat, kok
ya angel (susah), 27 derajat, kenapa nggak 90 atau 45 derajat yang mudah? Ini
simbol kalo kita mematerikan pahala, kita nggak akan bisa,"
Pertanyaan selanjutnya dari Kang
Aray, "Pertanyaan saya sekaligus merespon tentang halal haram tadi yah.
Sebenarnya takaran atau ukuran tidak perjaka itu yang bagaimana? Ketika sudah
menikah, atau bermain dengan sabun?
Kalau yg kedua itu kan, semua yang laki-laki disini juga mungkin pernah,"
jamaah pun auto-melek mendengar pertanyaan Kang Aray ini.
Respon selanjutnya dari Kang Aqif
dari Bandasari, "Saya hanya mau menambahkan dari sisi teks hadits tentang
hablum minan nas, bahwa hablum minannas dan hablum minallajh itu tak bisa
dipisahkan. Semisal hadits lain, tidak beriman siapa saja yang belum mencintai
saudara se-imannya seperti menceintai dirinya sendiri. Atau maqolah, man arofa
nafsahu, faqod arofa robbahu, siapa mengenal dirinya (dan sekaligus diri
manusia sesamanya), ia akan mengenal Tuhannya. Saya juga menanggapi tadi bahwa
quran itu bukan yang berupa kitab, karena tetap saja, quran itu ada yang
kauniyah dan qouliyah,"
Respon selanjutnya dari Kang Ali yang
menanggapi tentang takaran perjaka, "Ada yang mengatakan, kita sudah tidak
perjaka karena sudah jimak, bergaul dengan istri, ada juga yang lain. Tapi kita
pakai takaran yang umum saja-lah, karena kita masing-masing mungkin memiliki
takaran yang berbeda-beda," yang penting tetap damai, aja takaran sesama manusia.
Respon selanjutnya dari Mbah Nahar,
"Menanggapi yang baca quran tadi ya. Ada kisah tentang seorang anak yang
disuruh mengambil air dengan keranjang sampah. Bolak balik beberapa kali ke
sungai, air tak dapat. Akhirnya bapaknya bilang, membaca quran itu ibarat ini.
Airnya (ilmunya) mungkin nggak dapat, tapi keranjang (jiwa) itu makin
bersih," lanjutnya.
Untuk menyegarkan jiwa dan menegakan
semangat nasionalisme, satu nomor dari lagu syukur didendangkan bersama.
Pertanyaan selanjutnya dari Kang
Siswandi dari tembokluwung, "Dari apa yang dijelaskan tadi, tentang welas,
apakah kita punya pilihan untuk berwelas asih dalam kebaikan ataupun keburukan?
Misalnya membantu teman mengerjakan ujian, memberikan contekan, itukan hasilnya
keburukan," sambungnya. "Sebenarnya dalam mengamalkan asma Allah
welas tadi, kita sudah menjalankan namun mungkin belum menyadari saja. Karena
ketika kita berhablum minanas, itu sekaligus berhablum minallah. Misalnya
tentang bergaul dengan istri tadi, secara jasadiyah itu hablum minanas, tapi itu
kan ibadah, dan ibadah adalah hablum minallah,"
Respon selanjutnya dari Yi Fahmi yang
mengupas tentang pendidikan dari pertanyaan Kang Siswandi, "Kita tarik ke
belakang, bahwa sistem pendidikan kita ini kan bukan dari kita sendiri.
Kebetulan kemarin tanggal 2 mei, hari pendidikan. Kita tahu bapak
pendidikan itu ki hajar dewantara. Kita
mematerikan beliau, kita menghargai namanya, tapi tidak dengan karyanya. Apa
karya beliau? Taman siswa. Mengapa sekarang namanya sekolah? Pendidikan kita
itu dari penjajah," jelasnya.
Melanjutkan sistem pendidikan dari Politik Balas Budi Van Deventer.
Menghancurkan sistem taman siswa yang sekarang dipakai sekolah warisan
Rabindranath Tagore di India, dan menepati perjanjian hutang internasional
dengan syarat sistem pendidikan kita ditawan.
"Di Kyai Kanjeng sendiri ada
alumni taman siswa, seperti pak jijit dan Pak Joko, kita tahu almarhum benjamin
itu lulusan taman siswa. Kita ini diseragamkan dengan sistem pendidikan kita.
Seperti yang dikatakan Mbah Nun, padi, jagung, kacang, itu kan macam-macam cara
tanamnya, tidak bisa diseragamkan.
Sampai di akhir acara, seperti biasa
di akhiri doa yang dipimpin Mbah Nahar, melantunkan hasbunallah, dan ditutup
bersalam-salaman sebagai penutup yang membuktikan bahwa kami di awal atau di
akhir dan selamanya, akan belajar untuk terus berwelas asih pada semesta. Amin.