Selasa, 03 September 2019

Kedewasaan


Mukadimmah Poci Maiyah September 2019
Oleh : Abdullah Farid

Bissmillah...

Guyonan orang jawa bilang, Dewasa itu, Gede, Dawa, Rosa. Apanya yang gede, dawa, dan rosa?

Tiga hal itu adalah sifat, watak, karakter. Besar, panjang, dan kuat. Bukan selalu tentang usia, atau jasadiyah, karena ketika Yusuf alaihissalam mendapatkan hikmah dan ilmu, ia belum sampai usia tua. Walamma balagho asyuddah ataynahu hukmaw wa ilma. Ia mendapatkan hikmah lebih dulu sebelum ilmu, ketika ia masih muda, namun mungkin sudah sampai pada tiga karakter dewasa tadi di atas: besar jiwanya, panjang cakrawala berpikirnya, dan kuat mentalnya. Di maiyah ada formula yang serupa dengan ayat tersebut, bahwa sebelum berbicara tentang kebenaran, bahkan kebaikan, kebijaksanaan lebih dulu diutamakan. Dan bijaksana, menunggu saat yang tepat hanya mampu diterima oleh orang-orang yang sudah matang jiwanya. Jika ada anak muda atau bahkan orang tua yang grusa-grusu dalam melihat suatu fenomena kehidupan, maka kedewasaan belum turun ke dalam jiwanya. Dipakai kata diterima dan turun, karena al kalimatul hikmah dlollatul mu'min, fa haitsu wa jadaha fa huwa ahaqu biha. Hikmah itu barang berharga yang hilang dari orang beriman, maka hanya orang yang berhak saja yang akan mendapatkannya. Bukan tentang usia, tapi seperti Yusuf alaihissalam, sudah memiliki kebesaran jiwa, panjang cara berpikirnya, dan kuat mentalnya. Dan hikmah tidak dimiliki manusia beriman kecuali diturunkan oleh Allah dari Sisi-Nya.

Fa'altuhu an 'amri, seperti kata Khidir pada Musa. Bukan tentang perbandingan ilmu Musa dan Khidir, tapi tentang hikmah dari Sisi-Nya, pada siapa itu turun lebih dulu. Karena tidak ada yang lebih pandai, yang ada hanyalah orang yang tahu lebih dulu. Bahwa apa yang dilakukan Khidir ketika menegakkan bangunan yang hendak roboh, juga dua hal lainnya yang tak masuk akal, itu bukan atas keinginan personal Khidir. Melainkan fa-altuhu an 'amri, itu bukan urusannya, Khidir melakukan urusan-Nya, kehendak-Nya. Bahwa di bawah tanah bangunan itu, ada harta pusaka yang kelak bisa digunakan anak-anak yatim pewarisnya saat mereka dewasa. Pertama, dewasa itu tentang kebijaksanaan, ilmu, lalu dari kisah Khidir ini tentang amanah pusaka, warisan, harta benda. Hanya pada orang-orang berpredikat dewasa saja, sebuah amanah dapat diberikan. Kemudian bahwa dewasa dalam konteks Khidir, adalah nuansa kejiwaan yang sudah meletakan keinginan diri sendiri di belakang kehendak Tuhan. Tentang rute hidup keinginan dan kebutuhan diri itu diletakan di belakang cinta dan ketaatan pada Tuhannya.

Maka jelas kedewasaan bukanlah tentang usia, meski tak harus juga mempertontonkan kedewasaan di depan orang yang lebih tua. Terkadang bijak juga ditunjukan dengan kerendahan hati pada mereka baik yang lebih muda atau pun tua, dengan kesantunan bermasyarakat. Seperti seorang ayah yang mempersilahkan anaknya memimpin doa makan bersama keluarga, atau seorang mursyid yang mempersilahkan muridnya untuk mengimami sholat berjamaah. Namun meski tak tergantung usia, hatta idza balagho asyuddahu wa balagho arba'ina sanah tetap saja ada usia keumuman bahwa di usia 40 tahun sewajarnya seseorang sudah mulai menjalani rute-rute tadi di atas: kebijaksanaan, kebaikan, kebenaran. Atau juga meletakan keinginan dan kebutuhan pribadi di belakang kepentingan keluarga, masyarakat, peradaban, atau bahkan Tuhan. Dan di usia 40 tahun itu juga wahyu pertama turun pada Rasululllah sholallah 'alaihi wassalam. Dan di usia 40 tahun itu juga umatnya diajarkan berdoa:
Robbi awzi'ni an-asykuri ni'mataka alati an'amta alayya wa 'ala walidayya...." 
Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.

Sekali lagi tentang kebesaran jiwa, panjangnya cakrawala berpikir (hingga kehidupan anak-cucu), dan kekuatan mental untuk mampu melakukan rasa syukur tersebut. Alhamdulillah.