“Badekan
(ayok tebak), semut yang berbicara dengan Nabi Sulaiman itu jantan atau betina?”
Oleh
: Tim Reportase Poci Maiyah
Seperti biasa gelaran sinau bareng poci
maiyah diawali dengan tawasul dan pembacaan kalimat thoyyibah dipimpin Kang Luth
dan Kang Mustofa Ups. Setiap Jumat pertama malam
hari, tiap bulan sinau bareng poci maiyah berlangsung. Forum tempat belajar
bersama, mengasah
intelektualitas, spiritualitas dan memperbaharui
kegembiraan-kegembiraan yang
telah usang, menjadi
lebih kuat, lebih segar dan siap menghadapi perjalanan selanjutnya.
Poci maiyah berlangsung swadaya, tanpa sponsor,
tanpa paksaan, siapa saja boleh hadir, dan siapa saja diberikan kesempatan
berbicara apa saja. Sebagian mereka menjadi penggiatnya, orang-orang
yang mempersiapkan segala macam keperluan selama sinau bareng poci maiyah
berlangsung. Mulai dari do’a
bersama, menyiapkan mic sound, peralatan musik, kopi, air panas, sampai
gorengan dan kuaci, dengan kegembiraan yang terus memamcar dari jiwa mereka.
Ibarat dapur, kita merasakan nikmat hidangannya, sedangkan mereka pating cemong
keringetan dan capek. Itu semua dilakukan demi cinta, pada Tuhan, pada
Rasulullah. Seperti yang sering diucapkan Mbah Nun, "Kebenaran itu
letaknya di dapur, sedangkan yang kita sajikan di meja makan adalah kebaikan,
keindahan," siapa yang menolong-Nya, maka hidupnya akan ditolong oleh-Nya.
Intanshurullah yanshurkum, wa yutsabit
aqdamakum. (Dia tak butuh pertolongan, dan kita tak harus berpamrih untuk
diteguhkan kedudukan kita)
Sebelum tadarus mukodimah, satu nomor
Lir Ilir dilanjut sholawat badar dilantunkan.
Mengawali Tema Oktober ini, 'Badekan',
Mbah Nahar melempar badekan ke
moderator yang sebenarnya juga untuk meramaikan suasana semua yang hadir.
"Binatang yang terkenal di Lampung,
apa kang?"
"Gajah,"
"Binatang yang suaranya kecil,
ekornya depan belakang, kupingnya lebar, apa kang?"
"Gajah!"
"Salah," kata Mbah Nahar.
"Lho? Ya wis pas bae, seung,"
balas kang Mus.
"Yang
benar, gajah.." kata Mbah Nahar dengan memelankan suara. "Kalau yang
pertama tadi pertanyaan, mas," Mbah Nahar menjelaskan. "Tapi Kalau
yang kedua ini Badekan," mengawali istilah agar para hadir dapat membedakan,
mana pertanyaan dan mana tebak-tebakan yang sebenarnya bukan untuk mendapatkan
jawaban yang tepat akurat atau benar, tapi murni untuk kegembiraan, meski
kadang rada mikir juga sih.
"Tapi Hidup
ini ya Badekan, Mas," lanjut Mbah Nahar. "Seringkali sulit ditemukan
jawabannya. Dan jawabannya terkadang gimana Allah, kita nggak bisa protes. Ada
yang sudah pacaran 5 tahun, eh nikah sama yang lain. Sudah pacaran lama, mau
akad nikah, eh gagal." Semacam menjaga dengan baik dan benar jodoh untuk
orang lain (hihi). Ungkapan seperti itu juga disampaikan Mbah Nun dalam Kenduri
Cinta edisi 'Manusia Yang Mana Kamu”.
“Hidup itu tidak berlangsung seperti apa yang kita rencanakan, tidak taat dengan cara berpikirnya manusia. Manusia lah yang harus mencari bagaimana cara Allah dalam menjalankan hidup ini,” tutur Cak Nun menyapa jamaah. Cak Nun mengajak untuk memerdekakan diri saat mempelajari Alquran. Tidak membatasi diri hanya pada kaidah dan tinjauan akademis. Hal itu karena hidayah dan ilmu Allah sangat lah luas, jauh melebihi dari yang kita harapkan. “Tata kelola nilai atau tata kelola kesadaran Allah tidak seperti di sekolah atau di kampus tempat Anda belajar,” tambah Mbah Nun.
Pertanyaan pertama dari Mas Imam asal Bojong yang menanyakan,
"Kapan waktu itu
diciptakan?" merespon dari mukodimah edisi Badekan ini.
"Karena waktu itu abstrak, kita tak bisa mengetahui itu
mulainya kapan," Mbah Nahar merespon sebagai awalnya.
Respon selanjutnya dari Mas Cabit asal Gumayun,
"Seakan-akan kita terikat sekali dengan waktu, sebenarnya tingkatannya itu
bagaimana dengan manusia?"
Menambahkan
respon dari Kang Moka Balapulang, "Waktu menurut saya adalah salah satu
makhluk Allah yang diciptakan sebagai penghitung lamanya kejadian,"
Dalam
perbincangan yang mulai menghangat tentang waktu, Kang Lu'ay dan Kang Aan dari
Maiyah Kudus bergabung memeriahkan nuansa malam itu.
Respon
selanjutnya dari Kang Lu'ay yang mulai mengupas waktu dari sisi
prinsip-prinsipnya, "Kalau tadi Kang Moka sudah menjelaskan tentang waktu
sebagai penghitung. Prinsip lain dari waktu adalah sebagai penanda, juga
sebagai proses pelapukan, jika mendasarkan pada keterangan 'segala sesuatu yang
teraliri waktu pasti berubah', meski ada kesalahan juga ketika kita berbicara
masa kini, masa lalu dan masa depan, karena depan-belakang adalah konsep ruang
bukan waktu, sedang ruang dan waktu itu ada dalam konsep dimensi."
Kegembiraan
semakin memancar pada para sedulur sinau bareng Poci Maiyah ketika Kang Lu'ay
mengajak semua yang hadir untuk icebreaking,
memperagakan Badekan, permainan kecil yang semakin membuat jamaah menyadari
bahwa begitu banyak dari bagian diri sendiri yang jarang diamati. Permainan
kecepatan tangan dan bahasa lisan yang menjadikan hadirin tidak sadar bahwa
posisi tangan mereka tak sama dengan posisi peraga. Satu 'titik buta' manusia,
bahwa selalu saja indera itu tak mampu mengamati banyak hal dalam satu waktu.
Darisanalah Tuhan dalam auran yang dilisankan oleh sang nabi menugaskan manusia
untuk membaca, memperhatikan fil afaaqi
wa fil anfusihim, pada semesta dan diri sendiri yang ternyata banyak
Badekan, atau yang perlu ditemukan keasyikannya, kebijaksanaannya.
Respon
selanjutnya dari Kang Fahmi yang menambahkan, tema kali ini berkaitan dengan
tema bulan kemarin : kedewasaan. "Salah satu makna kedewasaan lainnya
adalah pengetahuan bahwa kita akan mati. Dan di mukodimah kali ini, kita
berbicara tentang waktu. Yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa hidup ini
penuh dengan ketidakpastian, sedangkan manusia seringnya ingin yang
pasti-pasti. Dan kalau mau yang pasti ya tadi, manusia pasti mati,"
Selanjutnya
respon dari sedulur yang hadir, dimulai dari Kang Taufik dari Jatinegara,
"Kalau menurut saya pas baca mukodimah Badekan ini, lebih ke arah
prasangka. Jadi menebak nanti besar jadi apa, ingin ini ingin itu, yang
semuanya itu baru prasangka. Tapi ini seperti dalam hadits qudsi, bahwa inni inda dzoni abdi, bahwa Allah
bersama prasangka hamba-Nya, makanya dalam doa kita sering berkata 'semoga',
karena penuh dengan ketidakpastian,"
Respon dari Kang
Taufik ditanggapi oleh Mbah Nahar, "Tengtang Prasangka kan kita sudah
belajar, pernah dikupas juga oleh Kang Lu'ay,
sedikit merefresh. Ada yang namanya Syak,
dzon, dan wahn. Syak itu kan prasangka yang kemungkinannya 50:50, kalau
Dzon itu kemungkinan besar mendekati kebenaran, sedangkan Wahn itu kebalikan
dari Dzon.
Dilanjutkan
respon dari Kang Lu'ay yang mengatakan bahwa kebanyakan orang indonesia ini
memang menganggap mati adalah sebuah akhir, the end, padahal itu adalah
perjalanan selanjutnya.
Gelaran sinau
bareng akhirnya sampai pada scene yang tepat untuk menyampaikan ijtihad para
pegiat poci maiyah, tentang warisan para leluhur bangsa. Tentang bangsa yang
sudah lama sekali bertahan dalam ketertindasan. Dipimpin langsung oleh Kang
Fahmi, lantunan lagu Indonesia Raya Stanza 2 dan 3 dinyanyikan.
Setelah bersama
menghayati lagu Indonesia Raya stanza 2 dan 3, Kang Ali Fatkhan pegiat Gambang Syafaat
ikut merespon. "Pegiat itu artinya orang-orang sukarelawan yang
berkomitmen. Saya lihat ada yang masak air, nyeduh kopi, merapikan sandal, kita
beri tepuk tangan untuk para pegiat poci maiyah," lanjutnya. "Sinau
Bareng itu ada varian lainnya. Yang pertama itu Sinau Dewekan, belajar sendiri.
Di kamar, ndekem, mager. Yang kedua
adalah belajar sendiri tapi bersama-sama, yang belajar banyak, tapi mikir
sendiri-sendiri, tidak nampak sharing dan lainnya. Dan yang ketiga ya ini,
Sinau Bareng. Ada yang dari Jatinegara, Kalisoka, Balapulang, kita berkumpul
membahas satu persoalan yang sama. Tapi ada yang keempat, yaitu datang ke sinau
bareng, tapi sibuk sendiri-sendiri, main ML-an, balas sms, ngerumpi sendiri.
Nah menurut panjenengan semua, itu yang baik mana?"
Sebagai anti-klimaks
dari diskusi tentang waktu dan hal-hal ruwet lainnya, penampilan Stand Up
Comedy dari Kang Aan Trianto memecahkan kespanengan pikiran sejenak. Dilanjut
dengan dua nomor berjudul 'Demi Waktu' dari Ungu Band dan lagu nasional 'Ibu
Pertiwi'.
Sinau bareng
dilanjutkan dengan respon dari Kang Moka, "Sedikit menambahkan tadi yang
disampaikan Kang Nahar. Tadi Kang Nahar bilang bahwa waktu itu penuh dengan
ketidakpastian, padahal di dalam ketidakpastian itu ada kepastian, seperti
dalam kata-kata itu, itu saja,"
Dilanjutkan
respon dari Kang Faizin asal Harjosari Lor. "Saya ingin menanggapi
pertanyaan dari Mas Lu'ay, yang mengatakan bahwa ruang lebih dulu daripada
waktu. Menurut saja itu bersamaan, karena ruang itu adalah zat, bentuk,
sedangkan waktu adalah yang meliputinya," mungkin yang dimaksud, sebelum
waktu ada, tidak ada masa 'sebelum' dan 'sesudah', maka ruang dan waktu ada
secara bersamaan.
Tanggapan dari
Kang Faizin langsung direpon oleh Kang Lu'ay, "Yang pasti, yang tahu
jawaban kebenarannya hanya Allah ya, kita hanya menduga. Seperti misalnya saya
menjelaskan ayat quran, itu bukan quran. Karena itu hanya tafsir saya pada
quran. Karena tak mungkin yang ditafsiri itu lebih tinggi dari hasil
penafsiran,"
Kang Ziki dari
Balapulang ikut meramaikan suasana, "Sebenarnya yang tahu waktu itu apa
bukan hanya Tuhan," katanya, membuat para hadirin agak hening. "Tapi
juga kita yang sedang membahas itu. Terima kasih,"
Selanjutnya dari
Kang Rizki penulis mukodimah, yang menjelaskan bagaimana asal muasal isi dari
mukodimah tersebut, yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan filsafat
tentang fokus manusia yang hanya bisa pada satu titik, atau yang di atas
disebut 'blind spot'.
Respon
selanjutnya dari Kang Aqif asal Bandasari, "Tema Badekan ini, sebenarnya
Rasulullah juga suka dengan Badekan, atau pertanyaan-pertanyaan semacamnya, ini
diriwayatkan oleh Ibn Umar, bahwa suatu saat Rasulullah dengan berkumpul dengan
para sahabatnya dan bertanya, di antara banyaknya pepohonan ada satu pohon yang
daunnya tidak rontok. Ayo Badekan, ada yang tahu pohon apa?" Kang Aqib memulai Badekannya.
"Jawabannya kurma. Nah, dari cerita ini para ulama juga suka mengajukan
badekan, di antaranya, siapakah rasul yang diutus Allah yang bukan dari
golongan Jin dan Manusia apalagi Malaikat? Ada yang tahu?" jamaah hening
sejenak. "Dia adalah burung gagak, yang diutus (arsala), jadi jangan hanya
memaknai rosul sebagai manusia, tapi juga ada yang lainnya,"
Sebagai klosing,
Kang Ali Fatkhan
menambahkan, "Setidaknya ada empat kemungkinan tentang pengetahuan kita di
sinau bareng, pertama adalah kita tahu, orang lain tidak tahu. Kedua, kita tak
tahu, orang lain juga tidak tahu. Ketiga adalah kita tahu dan orang lain juga
tahu, dan keempat adalah kita tidak tahu, orang lain tahu. Dari satu sampai
tiga akan terjadi diskusi, tapi yang keempat sangat mungkin terjadi resistensi,
penolakan. Dan darisinilah kita akan terus menerus belajar, tak berhenti, dan
itu adalah bekal agar kita tidak tersesat,"
Klosing
ditambahkan oleh Kang Lu'ay yang mengibaratkan thoharoh, kebersihan dalam air
wudu yang dijadikan sebagai amtsal membersihkan diri. "Suci mensucikan,
suci tidak mensucikan, makruh, dan mutanajis. Kita gunakan matrik ini untuk
apapun yang kita terima, informasi yang kita dapatkan. Mudah-mudahan menjadi
manusia yang dicahayai quran,"
Dari Qur’an jugalah apa yang
disampaikan jamaah tadi yang mengatakan bahwa yang diutus Allah bukan hanya
dari golongan manusia, tapi juga di antaranya adalah burung gagak, lebah,
burung ababil (wa arsala alaihim thoyron
ababil), dan juga semut. Ketika Nabi Sulaiman datang melewati sebuah
lembah, kemudian sang semut berkata qola
namlatu, pakai ta marbuthoh,
bahwa semut yang berbicara memimpin pasukan semut itu adalah sang ratu, yaitu
betina (badekan di awal reportase). Dan badekan ini bersumber dari Imam
Hanifah, yang ditantang debat dengan seorang filsuf (sok) cerdas, yang seketika
itu ia tunduk hormat pada Sang Imam. Wallahu
a'lam.