Minggu, 13 Oktober 2019

Kebenaran dan Kegembiraan dalam Badekan



Reportase Poci Maiyah Oktober 2019

Badekan (ayok tebak), semut yang berbicara dengan Nabi Sulaiman itu jantan atau betina?
Oleh : Tim Reportase Poci Maiyah

Seperti biasa gelaran sinau bareng poci maiyah diawali dengan tawasul dan pembacaan kalimat thoyyibah dipimpin Kang Luth dan Kang Mustofa Ups. Setiap Jumat pertama malam hari, tiap bulan sinau bareng poci maiyah berlangsung. Forum tempat belajar bersama, mengasah intelektualitas, spiritualitas dan memperbaharui kegembiraan-kegembiraan yang telah usang, menjadi lebih kuat, lebih segar dan siap menghadapi perjalanan selanjutnya.


Poci maiyah berlangsung swadaya, tanpa sponsor, tanpa paksaan, siapa saja boleh hadir, dan siapa saja diberikan kesempatan berbicara apa saja. Sebagian mereka menjadi penggiatnya, orang-orang yang mempersiapkan segala macam keperluan selama sinau bareng poci maiyah berlangsung. Mulai dari doa bersama, menyiapkan mic sound, peralatan musik, kopi, air panas, sampai gorengan dan kuaci, dengan kegembiraan yang terus memamcar dari jiwa mereka. Ibarat dapur, kita merasakan nikmat hidangannya, sedangkan mereka pating cemong keringetan dan capek. Itu semua dilakukan demi cinta, pada Tuhan, pada Rasulullah. Seperti yang sering diucapkan Mbah Nun, "Kebenaran itu letaknya di dapur, sedangkan yang kita sajikan di meja makan adalah kebaikan, keindahan," siapa yang menolong-Nya, maka hidupnya akan ditolong oleh-Nya. Intanshurullah yanshurkum, wa yutsabit aqdamakum. (Dia tak butuh pertolongan, dan kita tak harus berpamrih untuk diteguhkan kedudukan kita)


Sebelum tadarus mukodimah, satu nomor Lir Ilir dilanjut sholawat badar dilantunkan.

Mengawali Tema Oktober ini, 'Badekan', Mbah Nahar melempar badekan ke moderator yang sebenarnya juga untuk meramaikan suasana semua yang hadir.
"Binatang yang terkenal di Lampung, apa kang?"
"Gajah,"
"Binatang yang suaranya kecil, ekornya depan belakang, kupingnya lebar, apa kang?"
"Gajah!"
"Salah," kata Mbah Nahar.
"Lho? Ya wis pas bae, seung," balas kang Mus.
"Yang benar, gajah.." kata Mbah Nahar dengan memelankan suara. "Kalau yang pertama tadi pertanyaan, mas," Mbah Nahar menjelaskan. "Tapi Kalau yang kedua ini Badekan," mengawali istilah agar para hadir dapat membedakan, mana pertanyaan dan mana tebak-tebakan yang sebenarnya bukan untuk mendapatkan jawaban yang tepat akurat atau benar, tapi murni untuk kegembiraan, meski kadang rada mikir juga sih.
"Tapi Hidup ini ya Badekan, Mas," lanjut Mbah Nahar. "Seringkali sulit ditemukan jawabannya. Dan jawabannya terkadang gimana Allah, kita nggak bisa protes. Ada yang sudah pacaran 5 tahun, eh nikah sama yang lain. Sudah pacaran lama, mau akad nikah, eh gagal." Semacam menjaga dengan baik dan benar jodoh untuk orang lain (hihi). Ungkapan seperti itu juga disampaikan Mbah Nun dalam Kenduri Cinta edisi 'Manusia Yang Mana Kamu.

“Hidup itu tidak berlangsung seperti apa yang kita rencanakan, tidak taat dengan cara berpikirnya manusia. Manusia lah yang harus mencari bagaimana cara Allah dalam menjalankan hidup ini,” tutur Cak Nun menyapa jamaah. Cak Nun mengajak untuk memerdekakan diri saat mempelajari Alquran. Tidak membatasi diri hanya pada kaidah dan tinjauan akademis. Hal itu karena hidayah dan ilmu Allah sangat lah luas, jauh melebihi dari yang kita harapkan. “Tata kelola nilai atau tata kelola kesadaran Allah tidak seperti di sekolah atau di kampus tempat Anda belajar,” tambah Mbah Nun.

Pertanyaan pertama dari Mas Imam asal Bojong yang menanyakan, "Kapan waktu itu diciptakan?" merespon dari mukodimah edisi Badekan ini.

"Karena waktu itu abstrak, kita tak bisa mengetahui itu mulainya kapan," Mbah Nahar merespon sebagai awalnya.

Respon selanjutnya dari Mas Cabit asal Gumayun, "Seakan-akan kita terikat sekali dengan waktu, sebenarnya tingkatannya itu bagaimana dengan manusia?"

Menambahkan respon dari Kang Moka Balapulang, "Waktu menurut saya adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan sebagai penghitung lamanya kejadian,"

Dalam perbincangan yang mulai menghangat tentang waktu, Kang Lu'ay dan Kang Aan dari Maiyah Kudus bergabung memeriahkan nuansa malam itu.



Respon selanjutnya dari Kang Lu'ay yang mulai mengupas waktu dari sisi prinsip-prinsipnya, "Kalau tadi Kang Moka sudah menjelaskan tentang waktu sebagai penghitung. Prinsip lain dari waktu adalah sebagai penanda, juga sebagai proses pelapukan, jika mendasarkan pada keterangan 'segala sesuatu yang teraliri waktu pasti berubah', meski ada kesalahan juga ketika kita berbicara masa kini, masa lalu dan masa depan, karena depan-belakang adalah konsep ruang bukan waktu, sedang ruang dan waktu itu ada dalam konsep dimensi."

Kegembiraan semakin memancar pada para sedulur sinau bareng Poci Maiyah ketika Kang Lu'ay mengajak semua yang hadir untuk icebreaking, memperagakan Badekan, permainan kecil yang semakin membuat jamaah menyadari bahwa begitu banyak dari bagian diri sendiri yang jarang diamati. Permainan kecepatan tangan dan bahasa lisan yang menjadikan hadirin tidak sadar bahwa posisi tangan mereka tak sama dengan posisi peraga. Satu 'titik buta' manusia, bahwa selalu saja indera itu tak mampu mengamati banyak hal dalam satu waktu. Darisanalah Tuhan dalam auran yang dilisankan oleh sang nabi menugaskan manusia untuk membaca, memperhatikan fil afaaqi wa fil anfusihim, pada semesta dan diri sendiri yang ternyata banyak Badekan, atau yang perlu ditemukan keasyikannya, kebijaksanaannya.

Respon selanjutnya dari Kang Fahmi yang menambahkan, tema kali ini berkaitan dengan tema bulan kemarin : kedewasaan. "Salah satu makna kedewasaan lainnya adalah pengetahuan bahwa kita akan mati. Dan di mukodimah kali ini, kita berbicara tentang waktu. Yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, sedangkan manusia seringnya ingin yang pasti-pasti. Dan kalau mau yang pasti ya tadi, manusia pasti mati,"

Selanjutnya respon dari sedulur yang hadir, dimulai dari Kang Taufik dari Jatinegara, "Kalau menurut saya pas baca mukodimah Badekan ini, lebih ke arah prasangka. Jadi menebak nanti besar jadi apa, ingin ini ingin itu, yang semuanya itu baru prasangka. Tapi ini seperti dalam hadits qudsi, bahwa inni inda dzoni abdi, bahwa Allah bersama prasangka hamba-Nya, makanya dalam doa kita sering berkata 'semoga', karena penuh dengan ketidakpastian,"

Respon dari Kang Taufik ditanggapi oleh Mbah Nahar, "Tengtang Prasangka kan kita sudah belajar, pernah dikupas juga oleh Kang Lu'ay,  sedikit merefresh. Ada yang namanya Syak, dzon, dan wahn. Syak itu kan prasangka yang kemungkinannya 50:50, kalau Dzon itu kemungkinan besar mendekati kebenaran, sedangkan Wahn itu kebalikan dari Dzon.

Dilanjutkan respon dari Kang Lu'ay yang mengatakan bahwa kebanyakan orang indonesia ini memang menganggap mati adalah sebuah akhir, the end, padahal itu adalah perjalanan selanjutnya.

Gelaran sinau bareng akhirnya sampai pada scene yang tepat untuk menyampaikan ijtihad para pegiat poci maiyah, tentang warisan para leluhur bangsa. Tentang bangsa yang sudah lama sekali bertahan dalam ketertindasan. Dipimpin langsung oleh Kang Fahmi, lantunan lagu Indonesia Raya Stanza 2 dan 3 dinyanyikan.

Setelah bersama menghayati lagu Indonesia Raya stanza 2 dan 3, Kang Ali Fatkhan pegiat Gambang Syafaat ikut merespon. "Pegiat itu artinya orang-orang sukarelawan yang berkomitmen. Saya lihat ada yang masak air, nyeduh kopi, merapikan sandal, kita beri tepuk tangan untuk para pegiat poci maiyah," lanjutnya. "Sinau Bareng itu ada varian lainnya. Yang pertama itu Sinau Dewekan, belajar sendiri. Di kamar, ndekem, mager. Yang kedua adalah belajar sendiri tapi bersama-sama, yang belajar banyak, tapi mikir sendiri-sendiri, tidak nampak sharing dan lainnya. Dan yang ketiga ya ini, Sinau Bareng. Ada yang dari Jatinegara, Kalisoka, Balapulang, kita berkumpul membahas satu persoalan yang sama. Tapi ada yang keempat, yaitu datang ke sinau bareng, tapi sibuk sendiri-sendiri, main ML-an, balas sms, ngerumpi sendiri. Nah menurut panjenengan semua, itu yang baik mana?"

Sebagai anti-klimaks dari diskusi tentang waktu dan hal-hal ruwet lainnya, penampilan Stand Up Comedy dari Kang Aan Trianto memecahkan kespanengan pikiran sejenak. Dilanjut dengan dua nomor berjudul 'Demi Waktu' dari Ungu Band dan lagu nasional 'Ibu Pertiwi'.

Sinau bareng dilanjutkan dengan respon dari Kang Moka, "Sedikit menambahkan tadi yang disampaikan Kang Nahar. Tadi Kang Nahar bilang bahwa waktu itu penuh dengan ketidakpastian, padahal di dalam ketidakpastian itu ada kepastian, seperti dalam kata-kata itu, itu saja,"

Dilanjutkan respon dari Kang Faizin asal Harjosari Lor. "Saya ingin menanggapi pertanyaan dari Mas Lu'ay, yang mengatakan bahwa ruang lebih dulu daripada waktu. Menurut saja itu bersamaan, karena ruang itu adalah zat, bentuk, sedangkan waktu adalah yang meliputinya," mungkin yang dimaksud, sebelum waktu ada, tidak ada masa 'sebelum' dan 'sesudah', maka ruang dan waktu ada secara bersamaan.

Tanggapan dari Kang Faizin langsung direpon oleh Kang Lu'ay, "Yang pasti, yang tahu jawaban kebenarannya hanya Allah ya, kita hanya menduga. Seperti misalnya saya menjelaskan ayat quran, itu bukan quran. Karena itu hanya tafsir saya pada quran. Karena tak mungkin yang ditafsiri itu lebih tinggi dari hasil penafsiran,"

Kang Ziki dari Balapulang ikut meramaikan suasana, "Sebenarnya yang tahu waktu itu apa bukan hanya Tuhan," katanya, membuat para hadirin agak hening. "Tapi juga kita yang sedang membahas itu. Terima kasih,"

Selanjutnya dari Kang Rizki penulis mukodimah, yang menjelaskan bagaimana asal muasal isi dari mukodimah tersebut, yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan filsafat tentang fokus manusia yang hanya bisa pada satu titik, atau yang di atas disebut 'blind spot'.

Respon selanjutnya dari Kang Aqif asal Bandasari, "Tema Badekan ini, sebenarnya Rasulullah juga suka dengan Badekan, atau pertanyaan-pertanyaan semacamnya, ini diriwayatkan oleh Ibn Umar, bahwa suatu saat Rasulullah dengan berkumpul dengan para sahabatnya dan bertanya, di antara banyaknya pepohonan ada satu pohon yang daunnya tidak rontok. Ayo Badekan, ada yang tahu pohon apa?" Kang Aqib memulai Badekannya. "Jawabannya kurma. Nah, dari cerita ini para ulama juga suka mengajukan badekan, di antaranya, siapakah rasul yang diutus Allah yang bukan dari golongan Jin dan Manusia apalagi Malaikat? Ada yang tahu?" jamaah hening sejenak. "Dia adalah burung gagak, yang diutus (arsala), jadi jangan hanya memaknai rosul sebagai manusia, tapi juga ada yang lainnya,"

Dua nomor, Sholawat Nariyah dan Ruang Rindu 'Letto'.


Sebagai klosing, Kang Ali Fatkhan menambahkan, "Setidaknya ada empat kemungkinan tentang pengetahuan kita di sinau bareng, pertama adalah kita tahu, orang lain tidak tahu. Kedua, kita tak tahu, orang lain juga tidak tahu. Ketiga adalah kita tahu dan orang lain juga tahu, dan keempat adalah kita tidak tahu, orang lain tahu. Dari satu sampai tiga akan terjadi diskusi, tapi yang keempat sangat mungkin terjadi resistensi, penolakan. Dan darisinilah kita akan terus menerus belajar, tak berhenti, dan itu adalah bekal agar kita tidak tersesat,"

Klosing ditambahkan oleh Kang Lu'ay yang mengibaratkan thoharoh, kebersihan dalam air wudu yang dijadikan sebagai amtsal membersihkan diri. "Suci mensucikan, suci tidak mensucikan, makruh, dan mutanajis. Kita gunakan matrik ini untuk apapun yang kita terima, informasi yang kita dapatkan. Mudah-mudahan menjadi manusia yang dicahayai quran,"

Dari Quran jugalah apa yang disampaikan jamaah tadi yang mengatakan bahwa yang diutus Allah bukan hanya dari golongan manusia, tapi juga di antaranya adalah burung gagak, lebah, burung ababil (wa arsala alaihim thoyron ababil), dan juga semut. Ketika Nabi Sulaiman datang melewati sebuah lembah, kemudian sang semut berkata qola namlatu, pakai ta marbuthoh, bahwa semut yang berbicara memimpin pasukan semut itu adalah sang ratu, yaitu betina (badekan di awal reportase). Dan badekan ini bersumber dari Imam Hanifah, yang ditantang debat dengan seorang filsuf (sok) cerdas, yang seketika itu ia tunduk hormat pada Sang Imam. Wallahu a'lam.