Mukadimah Poci Maiyah Oktotber 2019
Oleh : Rizki Eka Kurniawan
“Jadi
apakah waktu itu? Jika tak seorangpun mengajukan pertanyaan itu aku tahu, jika
seseorang mengajukan pertanyaan itu dan aku mau memberi penjelasan, aku tidak
tahu lagi”
- Agustinus -
Kehidupan
ini dipenuhi banyak pertanyaan yang terkadang sulit untuk kita jawab, sehingga
kita hanya bisa menerka-nerka, atau dalam bahasa tegalnya sering kita sebut
dengan badekan.
Mulai
dari kecil manusia sudah sering ditanya, berawal dari pertanyaan orang tuanya“kalo udah gede mau jadi apa?” Setelah
sudah gede ditanya “kapan nikah?” Setelah
nikah ditanya “kapan punya anak?” Setelah
punya anak ditanya pasangannya “anak kita
mau kita kasih nama siapa?” bahkan sampe kamu matipun, dirimu masih dihantui
pertanyaan dalam kubur oleh malaikat Munkar dan Nakir “siapa Tuhanmu?”, “apa agamamu?”, “siapa nabimu?”, “apa kitabmu?”, ”di mana
kiblatmu?”, “siapa saudaramu?”. Dan ini hanya beberapa pertanyaan yang umum
belum yang lain-lain, yang njlimet-njlimet, kemrusungi, atau bahkan ngeneki.
Ada
beberapa juta pertanyaan yang akan mendatangimu nanti bahkan mungkin kita bisa mem-badek
pertanyaan-pertanyaan orang tua, teman, pasangan, guru, dan lain sebagainya
saat kita masih hidup, tapi jika ditanya malaikat saat sudah meninggal, apa
bisa kita badekan dengannya? tentu tidak. Akan lebih baik jika kita
memiliki blueprint atau proposal yang sudah kita siapkan melalui pengalaman
untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut. Seperti ilmu Nabi Khidir yang di tangan
kirinya menggengam masa lalu dan di tangan kanannya mengusap-usap jendela masa
depan, keduanya dipadukan untuk melakukan sesuatu di masa kini. Akan tetapi
dari banyaknya pertanyaan yang datang orang bijak sering berkata dengan
mudahnya; “nanti waktu yang akan menjawab”
Berulang-ulang
kali aku bertanya pada waktu untuk menjawab pertanyaan dalam hidupku dan waktu
yang menghabisi pertanyaanku. Waktu memang menjawab semua pertanyaanku, tetapi
waktu tidak mampu untuk aku tanya; “apa itu waktu?” tak pernah terjawabkan
karena waktu membutuhkan seorang peran untuk mejawab pertanyaan, tapi siapa
yang bisa memerankan itu? Seluruh manusia tak akan mampu untuk menjawab apa itu
waktu. Meskipun seringkali kita selalu
menjawab dengan mudahnya, waktu adalah detik, menit, jam, dan di dalamnya ada
masa lalu dan masa depan. Ya tetapi manusia sering lupa masa sekarang, dirinya
terlalu melampaui masa depan dengan pikiran dan mengarungi masa lalu dengan
pengalaman, tetapi terlupa dengan masa sekarang. Seakan-akan mereka tidak sadar
menjalani kehidupan.
Kahlil
Gibran pernah menuliskan cerita tentang seorang astronom yang berkata pada
gurunya “apa itu waktu?” dan sang guru menjwab “kau ingin mengukur waktu yang
tiada ukuran dan tanpa ukuran?”. Ya, sekali lagi pertanyaan akan waktu tak memiliki
jawaban, dan ketidak sadaran manusia akan masa sekarang telah aku alami dan
saksikan sendiri.
Pada
waktu subuh ada seorang ibu datang kerumahku dengan wajah pucat penuh
kekhawatiran, meminta untuk menelfon anaknya, spontan aku menjawab.
“Lha
memangnya anaknya kemana?”
“Kerja
tapi sampe jam segini belum pulang” jawab ibu itu dengan khawatir
“Biasanya
pulang jam berapa?” tanyaku penasaran
“Tadi
sudah di WA lewat lilik katanya jam dua belas malam bakal pulang, tapi sampe
sekarang dia belum pulang, khawatir nantinya ada apa-apa sama anakku”.
Ibu
itu memiliki prasangka sangat buruk terhadap apa yang akan terjadi pada
anaknya, dan setelah kutelfon, ternyata anknya tidur dirumah temannya dengan
keadaan baik-baik saja. Alasannya karena sudah terlarut malam, dia tidak enak
untuk pulang, takut menganggu orang tuanya tidur. Tetapi kenyataannya yang
terjadi adalah orang tuanya tidak tidur semalaman karena kekhawatirannya pada
anaknya yang tak biasanya tidak pulang ke rumah. Dari sinilah manusia
seringkali tidak sadar, terlalu sibuk dengan pikiran buruknya akan masa depan
yang belum tentu, dan sekali lagi waktu yang menjawab pertanyaan ibu itu.
Dalam
filsafat barat meyakini bahwa manusia hanya bisa fokus pada satu pikiran, jika
terdapat banyak pikiran maka yang terjadi adalah kerancuan, seperti apa yang
dialami ibu tersebut yang rancu akan bayak pikiran tentang anaknya sehingga
kehidupannya merasa tidak tenang dan dipenuhi kekhawatiran. Seandainya waktu
itu, ketika jam dua belas malam ibu itu fokus pada satu pikiran (untuk segera menelfon
anaknya), pastilah hal tersebut tidak terjadi.
Dalam
tradisi timur ada suatu metode berbeda untuk peyadaran tentang masa sekarang
agar pikiran seorang bisa tenang, jernih, dan maksimal, metode tersebut
seringkali dikenal dengan nama meditasi, yaitu melihat sebenar-benarnya
kenyataan tanpa menggunakan analisis (konsep dan penilaian), semuanya bertujuan
untuk mengembalikan ke masa sekarang (das
ewigejetzt). Barangkali masa sekarang (masa yang sedang kita alami)
sebenarnya adalah waktu, karena bisa jadi waktu yang kita bicarakan di masa
kini telah menjadi masa lalu atau waktu yang akan kita bicarakan di masa kini
termasuk masa depan. Tapi benarkah yang akan kita bicarakan adalah masa depan?
Sedangkan saat kita bicarakan masa depan itu menjadi masa sekarang? Apa mungkin
masa depan hanya terjadi dalam pikiran? dengan kemampuan manusia untuk
berimajinasi, membayang-bayangkan masa yang akan datang, lalu setelah bayangan
tentang masa depan itu terjadi maka akan menjadi masa sekarang yang kita alami?
Mana sebenarnya ilusi? Mana sebenarnya kenyataan? Dan darimanakah waktu itu berasal? Akankah setelah
benda diciptakan dan benda menciptakan waktu? Atau sebelum benda diciptakan dan
waktu menciptakan benda? Untuk kali ini biarlah waktu yang akan menjawabnya,
tapi... apa sih sebenarnya waktu itu? Ayooo badekan....