Jumat, 31 Januari 2020

Rumah Paling Ramah



Rumah ini pilihan Ibu. Dipilih karena batu-batu rindu. Disapu oleh berbagai waktu. Karena Ibu, lalu rumah ini juga pilihan Ayah. Dibangun dengan payah.  Lahirlah aku: Kemala Dewandaru. Kau pasti sudah bisa menebak siapa ayahku, bukan? Ya, Dewandaru. Lengkapnya, Ahmad Dewandaru.


Tapi aku tak mau bercerita perihal Ayah. Karena kata Ibu, Ayah sedang melukis senyum di awan. Tak bisa diganggu. Sekedar menceritakannya pun tak boleh kata Ibu. Ku anggukan kepalaku, tiap kali tangan Ibu lembut membelai kepalaku.

"Nak, kamu ndak apa-apa ndak berangkat sekolah. Asal tetep giat belajar, yah..." tuturnya lembut.
"Kenapa begitu, Bu?"
"Sebab sekolah hanya satu tempat belajar. Kehidupan adalah tempat kamu belajar sesungguhnya. Agar... "
"Agar punya jiwa yang lembut. Tak hanya akal yang cerdas!" ucapku ceria.
"Hafal, yah?"

Aku masih ingat, pagi ini Ibu mengucapkannya ke dua ratus tujuh puluh  dua kali. Ya, aku menyebut itu karena aku selalu menuliskannya di buku diary.

**

Tiga hari lagi ulang tahun Ibu. Aku tak memberi apapun sebagai hadiah untuknya. Sebab ia pun tak suka merayakannya. Bukan sebab halal haram yang dikatakan agama. Ibuku jarang sekali melarang dan memerintahkan sesuatu padaku, langsung menyebut "Ini haram! Itu halal!" Meskipun dengan begitu pun sah-sah saja. Namun ia berbeda. Ia selalu menjelaskannya begitu ramah, lembut, dan bersahaja.

"Bu, Kemala ijin pergi ke rumah temen,"
"Mau ada apa, Nak?"
"Dia minta bantuan Kemala ngerjain tugas,"
"Kenapa nggak temennya aja yang kesini?"
"Kendarannya lagi mogok. Ndak tega kalau suruh ngangkot. Biar Kemala aja kesana. Sekalian main,"
"Kemala ndak berangkat sekolah. Tapi belajar ke rumah temen?"
"Kan kata Ibu kehidupan adalah tempat belajar yang sesungguhnya," ucapku seraya menirukan gaya Ibu saat mengucapkannya. Tersenyum lembut. Candaku.

Aku pun pergi membawa senyuman. Tanpa perlu ku ambil dulu dari awan. Ataupun susah-susah ku lukis dulu seperti pekerjaan Ayah. Entahlah. Aku tak mau mengingatnya. Yang ku ingat: aku mau kasih hadiah ke Ibu. Apapun itu.

**
Pagi ini temanku mengabari. Agar aku segera berangkat karena jadwal presentasi. Aku tak begitu bersemangat diri. Ibu mendekatiku.
"Kenapa belum berangkat, Nak?"
"Males, Bu. Dosennya gak enak. Sering gak masuk. Kalau presentasi, juga gitu-gitu aja yang dengerin. Kayak ndak antusias," keluhku.
"Niat Kemala kuliah apa?"
"Ya belajar, Bu,"
"Nah, tidak ada yang sia-sia dari orang yang menempuh perjalanan menuntut ilmu. Belajar. Bahkah ikan di lautan pun turut mendoakan spesial untuk mereka. Masa ndak mau dido'akan?"
"Meski Ibu selalu nasehatin Kemala belajar ndak harus di kelas, sekolah, dsb. Tapi bukan berarti jadi males. Yah?"
"Iya, Bu. Nak, kamu ndapapa ndak berangkat sekolah. Asal tetep giat belajar, yah..." aku mengulang gaya Ibu saat menasihatiku. Dengan senyum lembutnya. Senyum paling ramah.
"Sebab sekolah hanya satu tempat belajar. Kehidupan adalah tempat kamu belajar sesungguhnya. Agar... " aku masih menirukan gayanya.
"Agar punya jiwa yang lembut. Tak hanya akal yang cerdas!" ucap Ibu melanjutkan intonasiku.
"Kemala sayang Ibu," ku peluk ia dan bersegara berangkat ke kampus.

**
"Kue spesial untuk Ibu. Perempuan teramah sepanjang rumah,"
"Lho, kok hanya sepanjang rumah?"
"Karena rumah tak pernah terukur luasnya. Tapi di sana kita bisa rasain kedalamannya. Mana rumah yang penuh ramah. Dan mana rumah yang penuh jengah."
"Hah?"
"Iya. Itulah rumah hati. Ibulah rumah terrraamaah," ku peluk ia penuh kasih.
"Nak, terimakasih, ya. Kamu satu-satunya anak Ibu yang lembut dan penuh kasih,"
"Kan emang anak Ibu cuma satu, kan?"
"Kamu tuh ya... " ia memelukku penuh kasih.
Ku lihat matanya mulai gerimis. Menitikkan air sedih dan bahagia. Bahagia dan sedih. Namun, tak kan kubiarkan menjadi hujan deras.

"Ibu, jangan sedih,"
"Ibu bahagia, Nak,"
"Ibu pengin apa dari Kemala?"
"Ibu tak punya keinginan... "
"Harapan? Setidaknya apa yang harus Kemala lakukan buat Ibu?"
"Ibu hanya berharap bisa memesan awan untuk menjagamu, kala Ibu tak lagi bisa bersamamu, Nak."
"Ibu bicara apa, Bu? Maafin Kemala kalau menyakiti hati Ibu," kupeluk ia erat. Dan ekor matanya makin menderas. Tak bisa kutebas.
"Nak, Ibu juga punya hadiah untukmu. Lupa Ibu ambil. Sudah Ibu taruh di meja samping kamar Ibu. Tapi Ibu agak pusing, Nak."
"Ibu istirahat dulu aja. Kan besok nanti bisa Kemala ambil sendiri. Ini masih terlalu dini hari. Ibu istirahat aja, ya."

**

Aku membuka sebuah kotak kecil di bekas kamar Ibu. Yang berdindingkan kesunyian. Beratapkan kesabaran. Sebuah kotak persegi berlapiskan warna hitam. Dan bermotifkan bunga matahari yang di atasnya ada awan. Ku buka pelan sepotong surat di dalamnya. Digulung manis, berpita suci.

Untuk anakku, Kemala Dewandaru
 
Maafkan Ibu yang selalu tak membolehkan bertanya tentang Ayah.
Bahkan sekedar menceritakannya.
"Ia sedang melukis senyuman di awan"
Begitu kataku kepadamu, selalu.
Entah, bagaimana kamu memahaminya, Nak.
Ibu hanya takut, kamu membenci Ayah.
Atau mengandung luka dengan payah.
Saat kau mengenal kata Ayah.
Tapi mungkin ada saatnya kau pun akan mengetahuinya, Nak. Maka Ibu menuliskannya. Dengan tinta segala kepasrahan diri.
"Ayahmu bersama bunga yang lain. Meninggalkanmu saat batu-batu rindu rumah: berdiri gagah."
Tapi jangan khawatir, Nak. Ibu akan selalu memesan awan untuk menjagamu. Di saat mata terbuka. Maupun terlelapku. Entah bagaimanapun Ayahmu, Ibu harap tak ada kebencian yang tumbuh setelah kau membaca surat ini, Nak.
 
Dari Ibumu yang semoga selalu memiliki jiwa yang ramah sepanjang rumah; seperti katamu.
 
Kinasih.


Ibu, kenapa pergi secepat ini? Tangis batinku.


ANA