Mukadimah
Poci Maiyah Februari 2020
Oleh:
Lingkar Gagang Poci
Saya munafik, Anda pasti bukan. Saya hampir tidak pernah melakukan suatu perbuatan apa pun yang saya maksudkan benar-benar untuk perbuatan itu sendiri. Hati saya penuh pamrih tersembunyi pikiran saya sarat strategi penipuan-tak hanya kepada orang lain, melainkan juga kepada diri saya sendiri. Kalau saya shalat, bukan saya benar-benar shalat. Saya ngakali Tuhan. Shalat saya hanya alat untuk mencari kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu yang saya simpan. Anda tak boleh tahu. Misalnya, shalat saya bertujuan agar cita-cita saya tercapai di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito. Tapi, apa aslinya pamrih saya, Anda tak akan tahu. Sebab Anda terlalu meremehkan atau under estimate terhadap tingkat kejahatan dan keserakahan saya.
Tulisan di atas dari buku Mbah Nun yang berjudul,
'Jejak Tinju Pak Kyai : Burung Pilkada'. Sesuai tema kali ini, kita akan
mensimulasikan strategi setan dalam diskusi sinau bareng malam ini.
Apa itu munafik? Em, bukankah definisi nantinya akan
subyektif? Baiklah, kita kecup salim lengan Rasulullah, menggunakan dasar yang beliau sampaikan.
Tanda munafik ada tiga - di riwayat lain ada empat. Pertama, dusta menjadi
karakter dirinya. Kedua, ingkar janji itu semudah meludah. Ketiga, jika
diberikan amanah, dia menyepelekan dan tak mau menyelesaikan. Keempat, curang,
atau tak mau mengakui kekalahan ketika berdebat, atau menggunakan cara curang
untuk membalas orang yang merasa mengalahkannya.
Sebelum dilanjut, apa hukum orang menuduh orang lain
munafik? Mengapa tanda munafik sesulit itu? Akan susah mengukur ketepatan,
misal, dusta menjadi karakter, mudah mengumbar janji seumur hidup, dan sebagainya. How if - bagaimana jika, Rasulullah menentukan tanda itu memang agar umatnya
kelak tak mudah menilai, atau bahkan menuduh orang lain munafik? Seperti syarat
orang beriman terhukumi zina: harus melihat langsung ketika 'tiang' masuk ke
'liang', disaksikan live (langsung) 4 orang yang melihat itu, dan atas dasar
kerelaan bukan perkosaan agar jelas mana yang akan dihukumi cambuk, 80
kali, 100
kali, atau bahkan rajam
sampai mati. Agar umatnya kelak tak mudah mempersangkai atau bahkan menuduh
perempuan beriman berzina. Bahwa orang-orang beriman, tak dikehendaki rasulullah
untuk saling menuduh munafik satu sama lain.
Lalu, bagaimana mangatasi virus tersebut untuk diri
sendiri, dan orang lain?
Misalnya dusta yang mengkarakter. Apakah peringatan fa bi ayyi-ala-i robbiku ma tukadziban,
kadzib, kadzaba, termasuk itu? Orang yang mendustakan tiap rahmat yang
Allah berikan, sampai harus diingatkan 31 kali. Dan apakah ayat itu bisa menjadi formula, agar kita
berhati-hati pada dusta, yang sebenarnya itu lebih pada kufur nikmat? Lalu
kepura-puraan, bagaimana mengukurnya, itu benar kamuflase atau justru
ketulusan? Manusia akan kebingungan untuk memastikan ini. Karena wilayah hati,
sepenuhnya adalah urusan-Nya.
Bagaimana dengan ungkapan, bermuka dua, srigala berbulu
domba? Uang koin kita bermuka dua, berarti itu tanda munafik? Em, ini
melenceng jauh. Bagaimana dengan srigala dan domba yang dibawa-bawa? Tidak ada
binatang sebuas sekaligus semalas manusia. Tidak ada binatang kejam, hewan
malas, apalagi srigala dan domba, bukankah baik buruk itu hanya untuk manusia
yang memang diberikan dua jalan itu? Srigala tak bisa disebut kejam ketika dia
menghabisi rusa. Hanya manusia yang bisa disebut kejam karena membiarkan
manusia lain tertindas, sedang sebenarnya ia mampu untuk menolongnya.
Sekalipun, misalnya hanya dengan ketulusan doa.
Apakah sama munafik di depan manusia, di depan Kanjeng
Nabi, dan di Hadapan Allah?
Jika kita belajar jejak hidup Kanjeng Nabi, hanya Allah yang mengetahui ukuran seseorang itu
munafik. Lalu diturunkannya ayat yang menjelaskan kemunafikan orang-orang
tersebut. Banyak contoh dalam perjanjian hudaibiyah,
perang uhud, perang khondak, Abdullah bin Ubay saat mau disholati, dsb.
Apakah, karena memang di jaman itu Rasulullah, sebagai simbol kebenaran masih hidup,
sehingga yang berpura-pura beriman disebut munafik? Kubunya jelas: Rasulullah sang kebenaran, yang pura-pura disebut munafik,
dan yang menolak disebut kafir. Lalu, bagaimana sekarang, tidak ada satu manusia pun jaman ini
yang kebenarannya se-legitimate (sah,
kuat) Rasulullah? Bagaimana dengan yang terjadi di jaman ini,
ketika sesama orang beriman saling menuduh munafik, tanpa benar-benar paham
kemunafikan itu apa. Tak paham presisinya, komprehensi (kemenyeluruhan) arah
pandangnya, sebab sosio-psikologisnya, pangkal dan ujungnya mengapa seseorang
itu berdusta, ingkar janji, khianat, atau bahkan curang.
How
if, bagaimana jika, itu
(kemunafikan) memang adalah strategi jenius setan yang dilempar seperti dadu,
di tengah-tengah orang beriman agar mereka satu sama lain tak dapat saling
(di)percaya, tak mampu saling memahami : tahsabuhum
jami'an wa qulubuhum syatta?