Sabtu, 03 April 2021

Seorang Nenek yang Tak Bisa Melihat Putih di Rambutnya.



Aku tak tahu setiap kata dari tulisan ini akan menjadi apa. Sederhananya, ya akan jadi cerita. Sedikit banyaknya, mungkin hanya bingkai cerita. Bukan tentang aku, kamu, tapi dia dan nenek rahasia. Seorang nenek yang diperjalankan-Nya terus mengetuk memori. Padahal saat itu, tak berkenaan menulis apapun. Namun, semakin keinginan untuk tak menulis, ia bahkan hadir dalam bentuk lain. Ingatan yang diam-diam mengetuk di penghujung kantuk. Pun, mimpi-mimpi yang tak sama sekali diminta dan ingini. Ya, mungkin sebab itu cerita ini dituliskan. Meskipun, memang harus ada sebab sebuah cerita harus dituliskan?

Pertengahan bulan paling tabahnya Sapardi, seorang perempuan berkerudung navy bertemu dengan nenek rahasia. Ya, sebut saja nenek rahasia. Karena ia tak sengaja melihatnya. Seorang nenek bertubuh kurus dengan mata yang selalu membaca tanah. Ia berjalan menundukkan kepalanya seakan mencari-cari sesuatu. Meskipun yang ia tebak sebagai mencari, belum tentu dicari. Setidaknya, itulah kesan pertama perempuan berkerudung navy itu.

Dari kendaraan yang berlalu lalang, ia pelankan laju sepeda motornya. Mencoba menebak apa yang sebenarnya ditebak seorang nenek dengan mata yang selalu membaca tanah itu. Iaberjalan, persis gerakan ruku dalam sholat. Semakin laju motornya mendekat pelan, ia malah mendapat sebuah teriakan.

"Tolong...!!" teriak nenek itu.

Segera ia parkirkan sepeda motornya di tepian jalan sana. Nenek yang berjalan membungkuk dengan mata yang melihat ketanah itu, tiba-tiba menangis sedu.

"Nak... kamu ini siapa? Putriku yang jauh itu? Kamu sudah pulang, Nak?" Nenek itu mengusap kerudung navy yang membalutnya. Ia berusaha menunduk, agar nenek itu tak kesulitan mengusapnya. Ia diamkan dengan penuh penyerahan.

"Nak... kenapa diam saja? Ibu kangen. Ibu kangen kamu nyabutin uban di rambut Ibu. Tapi sekarang Ibu tak bisa melihat apakah ubannya bertambah atau pergi," ucapnya lirih.

"Yang Ibu tahu, Ibu harus senantiasa pergi mencarimu, Nak. Meskipun Ibu tak bisa melihat putih di rambutku sendiri," lanjutnya dengan bulir mata bercucur dengan sendirinya.

"Kamu kemana saja, Nak? Kamu tak ingin puasa Ramadan bersama Ibu di rumah? Ibu kangen suara kecewamu, saat kesal dengan diri sendiri, karena telat bangun sahur. Apa kamu tak kangen itu, Nak?"

"Kamu dimana? Kenapa kamu tak pulang lima tahun ini, Nak?"

"Apakah Ibu terlalu cerewet yang selalu mengingatkan sarapan tepat waktu? Atau... kamu terlalu kesal karena selalu disuruh mengecek putih di rambut Ibu?"

"Kamu kenapa, Nak?"

Untaian segala lirih, nenek itu ucapkan percuma. Sebelum beberapa saat kemudian, ambruk di depan perempuan berkerudung navy. Kini, Ia ucapkan kata yang menariknya untuk membaca nenek ini.

"Tolooong!!"

Tak berapa saat, beberapa kendaraan dan orang yang mendengar, mendekatinya. Mereka sibuk bertanya ada apa, kenapa, dan kenapa.

"Ayo, Mbak. Dibawa kerumah sakit Ibunya. Kasihan." Ucap salah seorang yang datang.

"Ouh... jadi ini Ibunya, Mbak? Saya sering melihat nenek ini. Beberapa kali saya ajak duduk istirahat di emperan toko. Saya ndak tega lihatnya terus berjalan di tepian jalan telanjang kaki seperti ini." Ucap salah seorang lainnya.

Perempuan berkerudung navy dengan mata peduli itu hanya mengulas senyum dan segera menjawab. "Iya, tolong carikan mobil atau apapun yang bisa bawain kerumah sakit terdekat. Tolong!"

"Baik. Baik, Mbak. Sebentar." Kerumunan orang itu segera menghentikan sebuah angkutan umum yang kebetulan melintas. Nenek yang selalu membaca tanah dan selalu ingat putih di rambutnya ini sekarang di hadapannya. Yang bahkan ia tak tahu siapa nenek itu sebenarnya.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya sampai. Perempuan berkerudung navy dengan mata peduli itu tetap menunggu. Ia menunggu dengan segala khawatir yang tak bisa ditebak dari mana datangnya. Memang, segala perasaan yang muncul begitu saja, perlu ditebak dari mana?

Langkahnya berjalan mondar-mandir di depan ruangan. Sesekali menggigit kuku dan kawatir yang dipangkas satu per satu. Meski kian tumbuh lebih darisatu. Mungkin benar, ada bagian dari indahnya semesta yang tak perlu kita protesi kenapa. Yang adaya terimasaja.

"Gimana, Dok? Gimana kabar Ibu saya?" refleks, perempuan berkerudung navy dengan mata peduli itu menyebut nenek itu sebagai Ibunya.

"Ouh, Mbak ini benar, anaknya? Syukurlah. Nenek ini sebelumnya memang pernah dirawat di sini. Gangguan penglihatannya sudah semakin parah. Ditambah kelainan tulang belakang, yang membuatnya berjalan membungkuk seperti orang ruku dalam sholat. Mbak yang sabar, ya."

"Baik, Dok. Maaf sebelumnya apa saya sudah bisa menengoknya sekarang?"

"Tentu. Silakan, Mbak."

Perempuan itu masuk dengan kekhawatiran yang bertumbuh begitusaja. Yang cabangnya ia potong di tiap sisi, tapi kian tumbuh lagi. Akhirnya, ia taruh saja gunting pemotong kawatir itu. Dan sekarangia tepat berada di hadapan nenek yang entah siapa.

Nenek yang tak bisa melihat putih di rambutnya itu duduk dengan tenangnya. Tubuhnya seperti terlihat lebih membungkuk. Sementara matanya masih mencari-cari sesuatu yang mengusik hari tuanya.

"Bu..." panggil perempuan berkerdung navy dengan mata peduli itu.

"Nak... jangan panggil Ibu, ya. Maafkan nenek yang keterlaluan menyebutmu sebagai anakku. Sekarang semakinjelas, kamu bukan anakku. Terimakasih sudah membantu nenek saat pingsan di jalan, Nak." Tutur lembut suaranya.

"Nek... boleh tahu di mana sebenarnya anak nenek? Siapa tahu saya bisa membantu mencarinya."

"Kabar lima tahun yang lalu, dia merantau jauh ke negeri tetangga, Nak. M-a-l-a-y-s-i-a." Nenek itu mengeja kata terakhirnya.

"Ya, di Malaysia, Nak. Tapi sebenarnya Ibu sendiri tak tahu dimana itu."

"Apa selama lima tahun ini, anak nenek tak pulang sama sekali? Atau berkabar lewat telepon?"

Nenek itu terdiam beberapa saat. Seperti berusaha menggelar kembali kain memorinya. Entah apa yang ingin disembunyikan dan dituang dalam ceritanya kali ini.

"Nak... kamutak perlu lagi ikut mencemaskannya, ya. Nenek sudah sedikit lebih lega. Bahkan, sangat lega."

"Nek? Nenek kenapa? Apaada yang membuat nenek sakit?"

"Tidak, Nak. Nenek hanya bahagia. Tenang. Karena baru saja nenek melihat putri nenek satu-satunya bergaun putih sedang asyik bermain di sebuah taman bunga yang luas. Dia tampak senang sekali. Rasanya, nenek tak sabar menyusulnya."

"Nek? Nenek tidak apa-apa?"

Nenek itu menggerakkan tangan kanannya. Kembali, dengan tubuh membungkuk seperti orang ruku, menaruh tangannya di kepala perempuan berkerudung navy dengan mata peduliitu.

"Nak... siapapun kamu, kamu pasti tak jauh dari putriku. Dia selalu berbakti padaku. Hatinya begitu peka dengan penderitaan orang lain. Meskipun sering kesal saat kuminta mengecek uban di kepalaku. Gemas sekali melihatnya kesal begitu."

"Rasanya, rindu sudah tak tertahankan lagi. Lihatlah... putri nenek menghadap kepadaku. Mengulurkan tangannya. Lihatlah."

"Nek... nek, janganpergi, Nek!!"

"Dokter!! Tolong!!"

 

 - ANA -